Judulnya: Ekonomi Digital di Asia Tenggara: Surga atau Jerat Modern?
Apakah janji ekonomi digital benar-benar membebaskan dan inklusif, atau malah diam-diam memperkuat bentuk eksploitasi baru yang terselubung di balik algoritma dan kemudahan? Pertanyaan ini semakin mendesak, terutama ketika jutaan pekerja gig di Asia Tenggara, khususnya pengemudi ojek online di Indonesia dan Vietnam, mulai menyuarakan keluhan terhadap platform yang katanya memberdayakan mereka. Jangan-jangan, kemudahan memesan makanan atau transportasi itu ada harganya, dan yang bayar bukan cuma kita.
Asia Tenggara adalah salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Investasi di bidang teknologi melonjak pesat, menciptakan ekosistem di mana perusahaan seperti Gojek dan Grab mendominasi. Namun, di balik aplikasi yang user-friendly itu, tersembunyi model bisnis yang mentransfer risiko ke pekerja, sementara keuntungan dan kekuasaan terkonsentrasi di puncak. Kebebasan yang ditawarkan seringkali hanyalah ilusi.
Salah satu masalah utamanya adalah status pekerja gig. Dianggap sebagai "mitra" atau "kontraktor independen," mereka dikecualikan dari perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan sebagai karyawan formal. Akibatnya, mereka tidak memiliki upah minimum, jaminan sosial, atau cuti berbayar. Penghasilan mereka sepenuhnya bergantung pada algoritma yang dikendalikan oleh platform, yang menentukan tarif, bonus, dan order tanpa transparansi. "Fleksibilitas" yang dijanjikan seringkali menjadi jebakan.
Algoritma: Sahabat atau Algo-ritma?
Banyak pengemudi merasa tertekan untuk terus online demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka seperti terperangkap dalam algoritma yang tidak pernah tidur. Algoritma inilah yang sebenarnya menjadi "bos" mereka, mengatur jam kerja, menentukan penghasilan, dan bahkan memantau kinerja mereka. Padahal, algoritma itu sendiri seringkali tidak transparan dan sulit dimengerti oleh para pengemudi.
Komisi yang dikenakan oleh platform juga menjadi sorotan. Beberapa platform bahkan mengambil komisi hingga 30-50%, jauh di atas batas yang direkomendasikan pemerintah. Hal ini tentu saja mengurangi pendapatan pengemudi secara signifikan. Ibaratnya, mereka yang bekerja keras di jalan, tapi sebagian besar hasilnya justru dinikmati oleh perusahaan. Ironis, bukan?
Kesenjangan Digital: Yang Kaya Makin Digital, Yang Miskin Makin Tertinggal?
Namun, masalahnya tidak hanya sebatas eksploitasi tenaga kerja. Impian inklusi digital juga masih jauh dari kenyataan. Layanan Gojek dan Grab umumnya hanya menjangkau wilayah perkotaan, meninggalkan daerah pedesaan dengan akses terbatas karena infrastruktur yang buruk dan potensi keuntungan yang rendah. Kesenjangan geografis ini semakin memperlebar jurang antara kota dan desa.
Dominasi sistem pembayaran digital juga mengecualikan mereka yang tidak memiliki akses ke layanan perbankan. Jutaan orang yang unbanked, terutama di komunitas terpencil atau berpenghasilan rendah, tidak dapat berpartisipasi penuh dalam ekonomi digital karena kurangnya infrastruktur, perangkat, atau literasi keuangan. Padahal, digitalisasi seharusnya meratakan lapangan, bukan malah memperlebarnya.
Data: Aset Berharga yang Kurang Dihargai
Ekonomi digital sangat bergantung pada data. Namun, manfaatnya tidak selalu dinikmati oleh mereka yang menghasilkannya. Negara-negara berkembang seringkali tidak mendapatkan keuntungan dari nilai yang diciptakan oleh data yang dikumpulkan di dalam batas wilayah mereka. Data yang diekstrak dari pengguna dan pekerja di Indonesia atau Vietnam seringkali disimpan dan dimonetisasi di tempat lain, di luar jangkauan peraturan nasional. Data menjadi komoditas, tetapi yang menikmati keuntungannya bukan yang menghasilkan.
Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), tetapi penegakannya masih lemah, terutama terkait aliran data lintas batas dan akuntabilitas platform multinasional. Status hukum pekerja gig juga masih ambigu. Negara belum mengeluarkan kebijakan komprehensif yang mengakui pekerja gig sebagai bagian dari pasar tenaga kerja formal. Kita perlu UU yang lebih "gigit" soal data, bukan cuma "gigit jari".
Solusi: Membangun Ekonomi Digital yang Berkeadilan
Untuk membangun masa depan digital yang lebih adil, Indonesia perlu melakukan reformasi yang melampaui target pertumbuhan ekonomi. Pemerintah harus secara resmi mengakui pekerja gig sebagai karyawan, dengan hak atas upah minimum, perlindungan sosial, dan representasi. Tata kelola data juga harus diorientasikan kembali pada kedaulatan digital, yaitu hak masyarakat dan pemerintah untuk mengendalikan bagaimana data mereka dikumpulkan, disimpan, dan digunakan.
Negara-negara Asia Tenggara juga perlu bekerja sama melalui ASEAN untuk menyelaraskan standar etika dan hukum di seluruh wilayah. Kerangka kerja bersama tentang perlindungan tenaga kerja, tata kelola data, dan transparansi algoritma dapat menjadi tulang punggung ekonomi digital yang memberdayakan, bukan mengeksploitasi. Kerja sama ASEAN ini penting agar kita tidak hanya menjadi "pasar" digital, tetapi juga "pemain" digital.
Jangan Sampai Digitalisasi Jadi Dijitalisasi
Kebangkitan ekonomi digital seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan keadilan sosial. Jika tidak diatur, ledakan digital tidak akan mengurangi ketidaksetaraan. Ia hanya akan mereproduksinya dalam bentuk digital. Transformasi digital seharusnya inklusif, memberdayakan semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir orang.
Ekonomi digital menawarkan potensi besar untuk kemajuan dan kesejahteraan. Namun, potensi itu hanya akan terwujud jika kita berani menghadapi tantangan dan ketidakadilan yang menyertainya. Kita harus memastikan bahwa teknologi digunakan untuk membangun dunia yang lebih adil, transparan, dan berpusat pada manusia—bukan hanya algoritma. Intinya, jangan sampai kita dijitalisasi oleh digitalisasi itu sendiri!