Dark Mode Light Mode

Hiloi: Identitas dan Tradisi Suku Sentani

Di setiap rumah masyarakat adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, tersimpan sebuah benda sederhana namun bermakna: hiloi. Benda ini bukan sekadar perkakas makan, melainkan simbol warisan budaya yang menyatukan keluarga dan menandai identitas suku Sentani. Bayangkan saja, sebelum ada sendok dan garpu produksi pabrik, leluhur kita sudah menikmati papeda dengan alat yang dibuat dengan cinta dan kearifan lokal.

Hiloi: Lebih dari Sekadar Garpu Kayu, Ini Identitas Sentani

Hiloi adalah garpu kayu tradisional yang digunakan untuk menyantap papeda, makanan pokok masyarakat Papua yang terbuat dari sagu. Lebih dari sekadar alat makan, hiloi adalah representasi filosofi hidup suku Sentani: kebersamaan, kesabaran, dan penghormatan terhadap leluhur. Suku Sentani sendiri adalah kelompok etnis yang mendiami wilayah sekitar Danau Sentani dan sebagian Kota Jayapura, dengan populasi sekitar 30 ribu jiwa. Mereka tersebar di tiga wilayah geografis: barat (Pulau Yonokom), timur (Pulau Asei), dan tengah (Pulau Ifar).

Dalam budaya kuliner suku Sentani, hiloi selalu ditemani dengan wadah papeda yang terbuat dari tanah liat atau gerabah, disebut helai dalam bahasa Sentani, dan piring tanah liat untuk lauk pauk, yang dikenal sebagai hote. Ketiga benda ini membentuk sistem penyajian makanan tradisional yang estetis dan kaya akan nilai spiritual dan ekologis. Bayangkan betapa nikmatnya menyantap papeda hangat dari helai, ditemani lauk lezat di hote, menggunakan hiloi yang diukir dengan penuh cinta.

Pembuatan hiloi pun tidak sembarangan. Kayu yang digunakan biasanya berasal dari pohon tertentu seperti matoa (Pometia pinnata), yang dipilih karena kekuatannya dan seratnya yang halus. Prosesnya dilakukan secara manual oleh pengrajin yang mewarisi keterampilan dari generasi sebelumnya. Ini bukan sekadar membuat perkakas makan, tapi melestarikan kearifan lokal dan tradisi turun-temurun.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jayapura, Fredrik Modouw, menjelaskan bahwa hiloi adalah bagian penting dari ekosistem budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Suku Sentani memiliki hubungan emosional dengan hiloi. Alat makan ini hadir di acara makan keluarga, upacara adat, bahkan acara gereja. Ketika seseorang meninggal, keluarga akan menyajikan papeda dengan hiloi sebagai simbol perpisahan yang penuh hormat.

Sayangnya, di tengah gempuran budaya asing, hiloi menjadi salah satu simbol budaya yang terancam ditinggalkan. Banyak anak muda Papua, terutama yang berada di perkotaan, yang kurang familiar dengan fungsi dan makna hiloi. Padahal, hiloi adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu, dengan leluhur, dan dengan identitas kita sebagai orang Sentani.

Oleh karena itu, Festival Sejuta Hiloi hadir sebagai upaya revitalisasi budaya yang sangat penting. Melalui pendekatan partisipatif, festival ini berusaha memastikan bahwa generasi muda terlibat tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dan pewaris budaya. Ini bukan sekadar nostalgia, tapi investasi untuk masa depan.

Sejuta Hiloi Cultural Festival: Merayakan Warisan, Menyambut Masa Depan

Sebagai bagian dari upaya melestarikan warisan budaya tak benda dan memperkuat identitas lokal suku Sentani, Kabupaten Jayapura akan menyelenggarakan Sejuta Hiloi Cultural Festival pada Juni 2025. Festival ini akan diadakan di Kampung Ebungfa, Distrik Ebungfauw, sebuah kampung yang masih memegang teguh tradisi. Ebungfa menjadi model regenerasi budaya organik, desa yang tidak terputus dari akar tradisinya.

Festival ini bukan sekadar tontonan, tapi ajang interaktif yang mengajak masyarakat untuk terlibat langsung. Akan ada lokakarya pembuatan hiloi, atraksi tradisional, dan pameran kuliner lokal. Pertemuan koordinasi yang diadakan pada akhir April 2025 telah membahas aspek teknis pelaksanaan festival, pembentukan panitia, dan pembagian peran untuk setiap pihak. Intinya, semua pihak dilibatkan untuk memastikan kesuksesan acara ini.

Dalam festival ini, masyarakat tidak hanya diajak menonton pertunjukan budaya, tetapi juga berpartisipasi dalam lokakarya pembuatan hiloi, atraksi tradisional, dan pameran kuliner lokal. Rangkaian kegiatan akan mencakup atraksi budaya dan upacara adat, seperti prosesi makan papeda bersama menggunakan hiloi dan pertunjukan seni tradisional, seperti tari yosim pancar dan lagu-lagu daerah.

Kompetisi tradisional seperti lomba makan papeda cepat, pembuatan hiloi, dan bercerita legenda Sentani, serta lokakarya interaktif tentang teknik mengukir hiloi dan membentuk helai dan hote juga akan diadakan. Dijamin seru dan edukatif! Selain itu, akan ada pameran UMKM dan produk kuliner lokal, menampilkan produk kerajinan, makanan berbahan dasar sagu dan ikan, serta hasil hutan bukan kayu.

Regenerasi Budaya: Menghidupkan Kembali Tradisi di Era Modern

Sejuta Hiloi Cultural Festival diharapkan menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali tradisi ini. Untuk itu, panitia festival akan melibatkan siswa dari berbagai sekolah di Distrik Ebungfauw dan sekitarnya, memungkinkan mereka untuk belajar dari para pengrajin, tampil di panggung budaya, dan berpartisipasi dalam kompetisi. Ini adalah cara yang efektif untuk menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap budaya sendiri.

"Anak-anak zaman sekarang harus tahu bahwa sebelum ada sendok dan garpu dari pabrik, orang tua kita hidup selaras dengan alat makan buatan sendiri. Mereka tidak hanya makan tetapi merasakan kehadiran leluhur mereka melalui hiloi," ujar Orgenes Monim, tokoh adat suku Sentani. Pesan yang sangat dalam, bukan? Hiloi bukan sekadar alat makan, tapi simbol koneksi dengan masa lalu.

Festival ini lebih dari sekadar upaya pelestarian budaya, tetapi juga diarahkan sebagai bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya di Kabupaten Jayapura. Potensi pariwisata budaya di sekitar Danau Sentani sangat besar, tetapi belum dioptimalkan. Dengan memperkenalkan hiloi sebagai simbol budaya Sentani, kita juga menciptakan unique selling point yang menarik wisatawan.

Hiloi untuk Pariwisata: Menjadikan Budaya sebagai Daya Tarik Wisata

"Dengan memperkenalkan hiloi sebagai simbol budaya Sentani, kita juga menciptakan unique local brand. Turis datang tidak hanya untuk melihat danau tetapi juga untuk merasakan tradisi makan papeda langsung dari dapur masyarakat adat," tambah Modouw. Ide brilian! Bayangkan, turis bisa belajar membuat hiloi, merasakan sensasi makan papeda dengan cara tradisional, dan membawa pulang hiloi sebagai oleh-oleh khas Sentani.

Sejuta Hiloi Cultural Festival diharapkan menjadi agenda tahunan yang dapat dimasukkan dalam kalender acara budaya Papua. Selain memperkuat identitas masyarakat, festival ini akan membuka peluang ekonomi baru bagi pengrajin, petani sagu, nelayan tradisional, dan UMKM lokal. Win-win solution! Budaya dilestarikan, ekonomi pun meningkat.

Bagi masyarakat Ebungfa, festival ini bukan hanya sebuah perayaan, tetapi juga tanggung jawab untuk menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Papua tidak hilang, punah, atau usang. Sebaliknya, ia hidup dalam keheningan dapur, dalam berbagi papeda, dan di tangan-tangan yang dengan penuh kasih membuat hiloi. Festival ini adalah momen untuk membuktikan bahwa budaya Papua tetap relevan dan membanggakan.

Hiloi membawa pesan mendalam bahwa budaya adalah warisan bersama yang harus dipelihara, dihargai, dan diwariskan. Melalui Sejuta Hiloi Festival, masyarakat Kabupaten Jayapura menulis ulang narasi budaya mereka, bukan sebagai masa lalu yang terlupakan, tetapi sebagai warisan yang dibawa ke masa depan. Mari kita jadikan hiloi sebagai simbol kebanggaan dan identitas kita!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Josh Freese Mengklaim Foo Fighters Memecatnya Lewat Telepon Tanpa Alasan Jelas

Next Post

<p><strong>TerraBuilder: KSC v2 MSFS Siap Diluncurkan, Efek Roket Dahsyat dalam Bahasa Indonesia</strong></p>