Dark Mode Light Mode
BNPB Luncurkan Aplikasi: Laporkan Kerusakan Lingkungan, Cegah Bencana
Hong Kong Larang Gim Video dengan UU Keamanan Nasional: Ancaman bagi Kebebasan Berekspresi
Empat Garda Depan Grunge di Luar Amerika

Hong Kong Larang Gim Video dengan UU Keamanan Nasional: Ancaman bagi Kebebasan Berekspresi

Hai generasi Z dan Millennials! Pernah dengar soal game yang dilarang gara-gara dianggap "terlalu berani"? Nah, kali ini bukan soal kekerasan atau konten dewasa, tapi soal politik. Penasaran kan? Yuk, kita bahas lebih lanjut!

Dari Taiwan ke Daftar Hitam: Kisah Reversed Front: Bonfire

Dunia gaming memang seru dan penuh kejutan. Kadang, game bisa jadi lebih dari sekadar hiburan; mereka bisa jadi statement. Tapi, kadang juga, statement itu bisa bikin heboh, bahkan sampai dicekal. Inilah yang terjadi pada Reversed Front: Bonfire.

Game buatan ESC Taiwan ini mendadak jadi perbincangan hangat (atau lebih tepatnya, panas). Kenapa? Karena Reversed Front: Bonfire dianggap mengadvokasi revolusi bersenjata dan menyebarkan agenda separatis seperti kemerdekaan Taiwan dan Hong Kong. Bayangkan, main game bisa dituduh makar!

Ini bukan sekadar game over biasa. Pemerintah Hong Kong sampai mengeluarkan peringatan resmi kepada warganya untuk tidak mengunduh game ini. Mereka bahkan mengancam siapapun yang menyebarkan atau merekomendasikan game ini di internet. Serius banget, kan?

Alasannya? Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan di Hong Kong. Undang-undang ini, yang disahkan oleh Beijing dan diperkuat oleh hukum keamanan lokal pada tahun 2024, bertujuan untuk mengatasi ancaman keamanan yang dirasakan.

Sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana undang-undang ini digunakan untuk memblokir akses ke lagu protes "Glory to Hong Kong". Sekarang, giliran video game yang kena getahnya. Ini pertama kalinya Hong Kong menggunakan undang-undang ini untuk melarang sebuah video game.

ESC Taiwan sendiri dikenal sebagai kritikus vokal terhadap Partai Komunis Tiongkok. Reversed Front: Bonfire seolah menjadi platform bagi mereka untuk menyampaikan pandangan politiknya. Dan seperti yang bisa diduga, ini tidak disambut baik oleh pemerintah Hong Kong.

Ketika Game Jadi Alat Propaganda (Atau Justru Jadi Korban?)

Reversed Front: Bonfire menggunakan ilustrasi bergaya anime. Pemain bisa memilih untuk berperan sebagai "propagandis, pelindung, mata-mata, atau gerilyawan" dari Hong Kong, Taiwan, Tibet, Mongolia, dan Xinjiang. Atau, jika mau, bisa juga jadi tentara pemerintah. Lengkap, kan?

Game ini menawarkan narrative yang kuat dan provokatif. Bayangkan, kamu bisa bermain sebagai pejuang kemerdekaan atau sebagai penegak hukum. Pilihan ada di tanganmu. Tapi ingat, pilihan itu bisa berkonsekuensi (di dunia nyata).

Polisi Hong Kong menegaskan bahwa siapa pun yang berbagi atau merekomendasikan game ini di internet bisa melakukan beberapa pelanggaran, termasuk "penghasutan untuk memisahkan diri," "penghasutan untuk subversi," dan "pelanggaran sehubungan dengan niat hasutan." Berat banget!

Pemerintah bahkan memperingatkan bahwa siapa pun yang telah mengunduh game ini akan dianggap "memiliki publikasi yang memiliki niat hasutan," dan siapa pun yang memberikan bantuan keuangan kepadanya akan melanggar undang-undang keamanan nasional. Chill, cuma game kok…

Sensor dan Konsekuensi: Apa Artinya Bagi Kebebasan Berekspresi?

Kasus Reversed Front: Bonfire memunculkan pertanyaan penting tentang kebebasan berekspresi dan sensor di era digital. Apakah pemerintah berhak melarang video game hanya karena dianggap mengancam keamanan nasional?

Di satu sisi, pemerintah berhak melindungi negara dan warganya dari ancaman. Di sisi lain, kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dilindungi. Mencari keseimbangan antara keduanya adalah tantangan yang tidak mudah.

Penghapusan Reversed Front: Bonfire dari App Store dan Play Store adalah contoh nyata bagaimana sensor dapat membatasi akses informasi dan kebebasan berekspresi. Tentu saja, Google sudah menghapus game tersebut dari Play Store pada bulan Mei, karena pemain menggunakan ujaran kebencian sebagai bagian dari nama pengguna mereka.

Efek Streisand: Ketika Larangan Justru Meningkatkan Popularitas

Ironisnya, larangan Reversed Front: Bonfire justru meningkatkan popularitas game ini. ESC Taiwan bahkan berterima kasih kepada pemerintah Hong Kong atas publisitas gratisnya. "Terima kasih, pemerintah, karena sudah membuat game kami semakin terkenal!" kata mereka di Facebook.

Ini adalah contoh klasik dari Efek Streisand: upaya untuk menyembunyikan atau menekan informasi justru membuatnya semakin tersebar luas dan dikenal publik. Buktinya, pencarian Google untuk Reversed Front: Bonfire melonjak tajam setelah peringatan dikeluarkan.

Jadi, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kasus ini? Bahwa dalam era digital, mencoba membungkam kebebasan berekspresi seringkali berujung kontraproduktif. Informasi akan selalu menemukan jalannya, dan kadang, larangan justru menjadi katalisator penyebarannya.

Intinya, Reversed Front: Bonfire adalah pengingat bahwa video game bisa menjadi lebih dari sekadar hiburan. Mereka bisa menjadi platform untuk menyampaikan pandangan politik, memicu diskusi, dan bahkan menantang kekuasaan. Tapi ingat, kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Jangan sampai game jadi alat untuk menyebarkan kebencian atau menghasut kekerasan.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

BNPB Luncurkan Aplikasi: Laporkan Kerusakan Lingkungan, Cegah Bencana

Next Post

Empat Garda Depan Grunge di Luar Amerika