Hubungan Australia-Indonesia: Nostalgia atau Realitas Baru?
Dulu, Perdana Menteri Paul Keating dengan percaya diri menyatakan bahwa "tidak ada negara yang lebih penting bagi Australia selain Indonesia." Kini, beberapa dekade kemudian, penerusnya, Anthony Albanese, mengulangi sentimen serupa. Apakah ini sekadar pengulangan sejarah, atau ada dinamika baru yang perlu diperhatikan? Perjalanan Albanese ke Jakarta baru-baru ini mengindikasikan pentingnya hubungan bilateral ini, tetapi apakah benar-benar sepenting yang kita klaim?
Keinginan untuk mempererat hubungan Australia-Indonesia bukanlah hal baru. Sejak era Keating, kedua negara telah berupaya meningkatkan kerja sama di berbagai bidang, mulai dari ekonomi hingga keamanan. Albanese pun menekankan bahwa Indonesia sentral dalam pertumbuhan ekonomi tercepat dalam sejarah manusia. Tetapi, apakah ambisi ini sejalan dengan realitas di lapangan?
Penting untuk diingat bahwa upaya Keating untuk menjalin kemitraan keamanan dengan Indonesia pada tahun 1996 kandas akibat ketegangan di Timor Timur pada tahun 1999. Albanese tampaknya lebih berhati-hati, meskipun saat ini hubungan diplomatik bilateral lebih stabil. Ini mungkin mencerminkan harapan yang pupus dan pelajaran pahit dari era Keating.
Hubungan ekonomi terus menjadi fokus utama. Dulu, Keating dengan antusias mempromosikan peningkatan kontak ekonomi. Sekarang, Albanese memperingatkan perlunya engagement dan ambisi yang lebih besar untuk mengubah potensi luar biasa menjadi kemajuan konkret. Perubahan retorika ini mungkin mencerminkan realitas bahwa Indonesia kini memiliki lebih banyak mitra potensial seiring dengan meningkatnya posisinya di liga ekonomi global.
Indonesia telah melampaui Australia dalam ukuran PDB paritas daya beli beberapa tahun lalu, dan sekarang semakin dekat menjadi lebih besar dalam istilah pasar juga. Ini akan menandai titik balik simbolis bagi Australia di Asia. Indonesia berupaya menjalin hubungan baik dengan banyak negara, yang dapat memengaruhi prioritas dan pendekatan Australia.
Australia harus menyesuaikan diri dengan aspirasi Indonesia. Misalnya, Indonesia tetap menjaga hubungan dengan Rusia meskipun ada kritik dari Australia. Dalam bidang ekonomi, Australia mendukung keanggotaan Indonesia di OECD, tetapi Indonesia justru bergabung dengan BRICS, sebuah kelompok yang secara teoritis anti-Barat.
Lalu, bagaimana dengan dukungan Australia terhadap keanggotaan Indonesia di CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership)? Awalnya, Albanese terkesan hati-hati, tetapi kemudian secara antusias mendukung keanggotaan Indonesia. Dukungan ini tidak tercantum dalam komunike bersama para pemimpin, yang menimbulkan pertanyaan tentang komitmen yang sebenarnya.
Semua untuk Satu, atau Satu untuk Semua?
Indonesia berkembang pesat, dan dengan pertumbuhan itu datanglah kekuatan ekonomi dan pengaruh politik yang lebih besar. Negara ini mencari tempat di meja global, dan Australia perlu menyesuaikan diri dengan dinamika yang berubah ini. Namun, dukungan Australia untuk keanggotaan Indonesia di OECD dan CPTPP menunjukkan keinginan untuk menjaga hubungan tetap erat.
Kerja sama dalam rantai pasokan baterai dan mobil listrik, yang dulu menjadi fokus utama, tampaknya meredup. Ambisi Indonesia untuk mendapatkan akses istimewa ke litium Australia bersinggungan dengan ambisi Australia sendiri untuk memproses mineral kritis dan memproduksi baterai. Intervensi pasar nikel Indonesia membuat kerja sama semakin sulit.
Mineral kritis menjadi pusat bagaimana Indonesia membayangkan keterlibatan ekonomi di masa depan antara kedua negara. Pernyataan bersama dari para pemimpin menunjukkan bahwa kemajuan masih sangat sederhana setelah beberapa tahun hype di kedua sisi.
Dana pensiun industri yang berafiliasi dengan Partai Buruh, yang memainkan peran penting dalam menanggung investasi Australia di Indonesia, tampaknya telah dikesampingkan demi inisiatif hubungan masyarakat ekonomi alternatif untuk menarik pemerintahan Trump.
Dalam demonstrasi lain bahwa Indonesia benar-benar penentu harga dalam hubungan ini, pemerintah Australia telah beralih untuk menyelaraskan diri dengan hubungan baru Indonesia dengan dana kekayaan negara.
Meskipun ada perubahan ini, terobosan pendidikan tinggi beberapa tahun terakhir – yang dilambangkan oleh kampus Universitas Monash di Jakarta – dengan cepat dibayangi oleh usaha perawatan kesehatan. Dan jadi, pernyataan tersebut mencatat usaha rumah sakit Australia di Kalimantan dan Bali sebagai kontribusi untuk agenda transformasi kesehatan Indonesia, yang telah dijadikan milik Prabowo.
Perguruan tinggi Australia melangkah maju di tengah tantangan di sektor lain. Ekspansi usaha rumah sakit Australia di Kalimantan dan Bali menandakan babak baru dalam kolaborasi bilateral. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada pasang surut dalam bidang ekonomi dan politik, masih ada peluang signifikan untuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Bahasa Keating yang menggugah tentang "logika yang meyakinkan dari geografi dan perkembangan ekonomi kita" yang terus "membuka semakin banyak bidang untuk kerja sama" terdengar lebih benar dari sebelumnya saat ini.
Namun, lika-liku dalam kerja sama itu selama pemerintahan singkat Albanese menggarisbawahi kebijaksanaan pengamatan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang hubungan baik negaranya dengan Islandia: “Kami sangat jauh, kami tidak memiliki kesamaan dan karena itu hubungan kami sempurna.”
Hubungan Australia-Indonesia: Kemitraan yang Berkelanjutan?
Terlepas dari tantangan dan perubahan prioritas, kemitraan Australia-Indonesia tetap penting. Kedua negara memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas dan kemakmuran kawasan. Ke depannya, kedua negara perlu mengatasi kompleksitas hubungan ini dengan pendekatan yang fleksibel dan realistis.
Akhirnya, apakah hubungan Australia-Indonesia sepenting yang kita klaim? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kedua negara untuk beradaptasi dengan dinamika yang berubah dan menemukan cara baru untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan global.