Bayangkan, sebuah teka-teki sejarah yang terpecahkan bukan dengan artefak purba, melainkan dengan nyanyian kuno dan kerinduan keluarga yang melintasi lautan. Kisah ini bukan tentang harta karun terpendam, tetapi tentang hubungan manusia yang terjalin erat, menghubungkan Sulawesi dan Australia, melalui perdagangan teripang dan jejak seorang pelaut bernama Husaing Daeng Rangka. Siap-siap, ini bukan cerita biasa!
Jejak Teripang: Kisah Cinta dan Keluarga yang Terpisahkan
Hubungan antara pedagang teripang dari Makassar dan masyarakat First Nations di Australia bukanlah sekadar transaksi bisnis semata. Lebih dari itu, terjadi pertukaran budaya dan bahasa yang mendalam, meninggalkan jejak yang terasa hingga kini. Namun, di balik gemerlap perdagangan, tersimpan kisah pilu tentang keluarga yang terpisah oleh kebijakan imigrasi dan jarak geografis.
Kisah ini berpusat pada sosok Husaing Daeng Rangka, seorang pelaut Makassar yang berani mengarungi lautan dan menjalin hubungan dengan masyarakat Yolngu di Australia. Beliau, yang juga dikenal sebagai Yuching oleh masyarakat Yolngu, memiliki dua istri di Makassar dan dua di Australia. Bisa dibayangkan rumitnya logistik mudik zaman dulu?
Namun, takdir berkata lain. Setelah undang-undang imigrasi baru diberlakukan pada tahun 1906, Husaing tidak dapat kembali ke Australia, memisahkan dirinya dari keluarganya di sana. Bayangkan bagaimana rasanya terpisah dari anak dan istri karena aturan birokrasi. Sungguh menyayat hati!
Upaya untuk menelusuri jejak Husaing didukung oleh catatan arsip pemerintah Australia. Namun, yang lebih penting, penelusuran ini dibantu oleh “songlines” atau nyanyian tradisional suku Yolngu. Nyanyian ini menyimpan kisah dan ingatan tentang para pelaut Makassar yang berinteraksi dengan mereka berabad-abad lalu. Songlines ini bagaikan Google Maps-nya masyarakat adat.
Berbeda dengan Australia, di Makassar tidak ada catatan tertulis yang serupa. Namun, kisah yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi menjadi kunci. Sebuah tim yang terdiri dari seniman dan akademisi berhasil mengidentifikasi keturunan kelima Husaing Daeng Rangka, baik dari pihak Makassar maupun Yolngu.
Pertemuan bersejarah pun diatur di tepi Sungai Jeneberang, Makassar, sebuah lokasi penting karena merupakan pusat peradaban Kerajaan Gowa. Lokasi yang tepat untuk menyatukan kembali keluarga yang telah lama terpisah.
Dari Makassar ke Arnhem Land: Ritual Penyambutan Keluarga
Pertemuan ini bukan sekadar reuni keluarga biasa. Lebih dari itu, ini adalah ritual sakral yang dihadiri oleh keturunan Husaing dari Makassar, keturunan suku Yolngu, dan beberapa tetua adat dari Australia Selatan. Mereka datang bukan hanya untuk bertemu, tetapi juga untuk menghormati leluhur dan merajut kembali hubungan yang sempat terputus.
Memori Kolektif: Nyanyian dan Tarian Lintas Budaya
Upacara penyambutan dimeriahkan dengan musik dan tarian klasik Makassar, serta nyanyian tradisional Yolngu. Kedua tradisi ini mengukuhkan memori kolektif kedua belah pihak, mengingatkan mereka akan sejarah dan budaya yang saling terkait. Sungguh momen yang mengharukan dan penuh makna.
Kisah ini bukan hanya tentang reuni keluarga, tetapi juga tentang pengakuan terhadap narasi masyarakat adat yang seringkali terlupakan dalam kurikulum pendidikan nasional. Kita seringkali terlalu fokus pada sejarah yang ditulis oleh para penguasa, dan mengabaikan kisah-kisah dari mereka yang kurang beruntung.
Mengabadikan Sejarah: Seni Sebagai Jembatan Penghubung
Daeng Abdi Karya berharap agar kisah-kisah seperti ini terus digali dan diabadikan melalui seni. Dengan demikian, sejarah akan menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat luas dan memperkuat hubungan antara Indonesia dan Australia. Seni adalah bahasa universal yang dapat menembus batas budaya dan bahasa.
Kisah ini juga menegaskan bahwa sejarah tidak hanya terdapat dalam catatan formal, tetapi juga hidup dalam cerita rakyat dan tradisi lisan. Kita perlu belajar untuk menghargai dan mendengarkan kisah-kisah dari berbagai sumber, agar mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang masa lalu.
Sejarah adalah milik semua orang, bukan hanya milik para sejarawan dan akademisi. Setiap orang memiliki peran untuk melestarikan dan mewariskan sejarah kepada generasi mendatang.
Reuni ini mengajarkan kita bahwa batas negara tidak dapat menghapus ikatan keluarga dan persahabatan. Meskipun terpisah oleh jarak dan perbedaan budaya, hati tetap terhubung.
Pada akhirnya, kisah ini adalah pengingat bahwa persatuan dan kesatuan dapat dibangun di atas dasar saling menghormati dan memahami perbedaan. Mari kita terus merajut hubungan baik antara Indonesia dan Australia, demi masa depan yang lebih baik.
Kisah Husaing Daeng Rangka adalah bukti nyata bahwa hubungan antarmanusia lebih kuat dari sekadar angka dan data. Ini adalah pesan universal tentang cinta, keluarga, dan persatuan yang patut kita renungkan.