Siapa bilang hukum itu buta? Kadang, rasanya hukum malah juling sebelah mata, terutama kalau kita lihat kasus sandal Hermes versus korupsi triliunan. Ini bukan sinetron azab, tapi realita hukum di Indonesia yang bikin kita garuk-garuk kepala sambil mikir, “Seriusan ini?”
Ketimpangan Hukum: Sandal Hermes Lebih Mahal dari Harga Diri?
Kasus pencurian sepasang sandal Hermes senilai Rp 15 juta oleh seorang pria di Sumatera Utara baru-baru ini memicu gelombang protes dari warganet. Bagaimana tidak, Nefri Zaldi, seorang warga Deli Serdang, divonis 1,5 tahun penjara karena perbuatannya. Vonis ini dianggap jauh tidak sebanding dengan hukuman yang seringkali diterima oleh para koruptor yang menjarah uang negara dalam jumlah yang fantastis. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah sistem hukum kita adil?
Kita semua tahu, Indonesia itu negara hukum. Tapi, kadang implementasinya terasa seperti rollercoaster, naik turun nggak jelas. Di satu sisi, kita bangga punya aturan yang jelas, tapi di sisi lain, aturan itu seringkali tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus Nefri ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kasus yang menunjukkan betapa lebarnya jurang antara idealisme hukum dan realita yang terjadi di lapangan.
Kronologi Kasus: Dari Sandal Hilang Hingga Vonis Penjara
Singkat cerita, Nefri bersama temannya, Andika Gumtom, berkunjung ke rumah mantan bosnya, Siwaji Raja, pada 28 Desember 2024. Saat pulang, Nefri mengambil sepasang sandal Hermes dari rak sepatu. Andika melihat kejadian itu dan beberapa hari kemudian, ia memberi tahu Ravindra bahwa ia melihat Nefri mengambil sandal tersebut. Siwaji, yang merasa kehilangan sandal mewahnya, melapor ke polisi. Nefri kemudian ditangkap pada 21 Maret dan persidangan dimulai pada 24 Juni. Hasilnya? Vonis 1,5 tahun penjara.
Kejadian ini memicu perbandingan pedas di media sosial. Netizen ramai-ramai membandingkan vonis Nefri dengan kasus-kasus korupsi besar, di mana para pelaku seringkali mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan, bahkan beberapa di antaranya bisa “healing” di luar penjara. Ini jelas menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat. Masyarakat bertanya-tanya, apakah nilai sebuah sandal Hermes lebih tinggi daripada kerugian yang diakibatkan oleh korupsi yang merugikan negara dan rakyat banyak? Pertanyaan yang sangat valid, bukan?
Keadilan yang Berat Sebelah: Refleksi Sistem Hukum Kita
Kasus Nefri adalah simbol dari ketidakadilan yang masih mengakar dalam sistem hukum kita. Sulit untuk tidak merasa geram ketika melihat seorang pencuri sandal dihukum lebih berat daripada seorang koruptor yang mencuri uang rakyat. Ketimpangan ini bukan hanya masalah angka, tapi juga masalah kepercayaan. Masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem hukum yang seharusnya menjadi pilar keadilan.
Ironisnya, kasus ini justru terjadi di tengah upaya pemerintah untuk memberantas korupsi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah bekerja keras, tetapi rasanya masih banyak “lubang” yang perlu ditambal. Hukuman yang ringan bagi koruptor, birokrasi yang berbelit-belit, dan interpretasi hukum yang seringkali subjektif menjadi beberapa faktor yang menyebabkan korupsi masih merajalela.
Lebih Dalam dari Pencurian Sandal: Akar Masalah Ketidakadilan
Mungkin kita berpikir, “Ah, cuma sandal.” Tapi, ini bukan sekadar soal sandal. Ini soal persepsi keadilan. Masyarakat merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Ketika hukum lebih berat sebelah, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum akan semakin tergerus.
- Kurangnya Transparansi: Proses hukum seringkali tidak transparan, sehingga sulit bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja penegak hukum.
- Intervensi Politik: Intervensi politik dalam proses hukum masih menjadi masalah serius, yang dapat mempengaruhi independensi hakim dan jaksa.
- Penegakan Hukum yang Diskriminatif: Hukum seringkali ditegakkan secara diskriminatif, di mana kelompok-kelompok marginal dan miskin menjadi korban.
Hermes-nya Ke Mana?: Efek Jera dan Reformasi Hukum
Lalu, apa solusinya? Tentu saja, tidak ada solusi instan. Tapi, beberapa langkah konkret bisa diambil untuk memperbaiki sistem hukum kita. Pertama, penegakan hukum harus lebih tegas dan konsisten. Koruptor harus dihukum seberat-beratnya, tanpa pandang bulu. Kedua, perlu ada reformasi birokrasi di lembaga penegak hukum. Birokrasi yang efisien dan transparan akan meminimalisir praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ketiga, pendidikan hukum harus ditingkatkan. Masyarakat harus lebih sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Selain itu, penting untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku kejahatan, termasuk korupsi. Hukuman yang ringan hanya akan membuat mereka merasa aman dan terus melakukan perbuatannya. Hukuman yang berat, di sisi lain, akan menjadi peringatan keras bagi orang lain yang berniat melakukan hal serupa. Mungkin, kalau para koruptor dipaksa untuk mengembalikan semua uang yang mereka curi dan mengenakan rompi oranye sambil membersihkan jalanan, efek jeranya akan lebih terasa. Setidaknya, mereka jadi tahu rasanya jadi rakyat kecil.
Kasus sandal Hermes ini adalah wake-up call bagi kita semua. Ini adalah pengingat bahwa sistem hukum kita masih jauh dari sempurna. Kita harus terus berjuang untuk mewujudkan keadilan yang sesungguhnya, keadilan yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bukan hanya soal hukum yang sama rata, tetapi juga kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.
Intinya, keadilan itu bukan cuma soal sandal atau uang, tapi soal rasa aman dan percaya pada sistem yang seharusnya melindungi kita semua. Kalau rasa aman itu hilang, lalu apa bedanya kita dengan negara wakanda?