Wah, lagi rame nih! Kabar dugaan korupsi pengadaan laptop di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2020-2022 senilai Rp9,9 triliun lagi panas-panasnya. Bahkan, kabarnya Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah mulai bergerak. Siap-siap begadang mantengin berita terbaru!
Kasus ini, yang disorot tajam oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), memang menyimpan banyak tanda tanya besar. Mulai dari kejanggalan proses pengadaan hingga spesifikasi laptop yang dianggap kurang cocok untuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Mari kita kupas tuntas satu per satu!
Mengapa Pengadaan Laptop di Tengah Pandemi Dipertanyakan?
ICW dan KOPEL menyoroti bahwa pengadaan Chromebook ini dilakukan saat awal pandemi COVID-19, sebuah masa darurat yang seharusnya memprioritaskan hal-hal krusial. Pertanyaannya, seberapa urgent pengadaan laptop saat itu? Apakah memang menjadi prioritas utama dibandingkan, misalnya, pengadaan alat kesehatan atau bantuan sosial? Ketidakjelasan ini memicu kecurigaan adanya praktik-praktik yang kurang sehat.
Selain itu, muncul dugaan bahwa pengadaan ini melanggar peraturan yang berlaku. Dana yang digunakan sebagian berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk infrastruktur fisik, yang seharusnya didasarkan pada usulan dari pemerintah daerah. Namun, kenyataannya Kemendikbudristek justru menetapkan program ini sebagai prioritas nasional secara langsung. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku?
Transparansi yang Minim, Potensi Masalah yang Besar
Informasi mengenai pengadaan ini juga sulit ditemukan di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Padahal, SiRUP seharusnya menjadi etalase bagi publik untuk memantau proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ketidaktersediaan informasi ini tentu saja menghambat pengawasan publik dan membuka celah bagi praktik korupsi. Bisa dibilang, ini seperti main petak umpet, tapi bukan sama anak kecil, melainkan sama anggaran negara.
Spesifikasi laptop yang dipilih pun menuai kritik. Pemerintah memilih menggunakan sistem operasi Chrome OS, yang dianggap kurang ideal untuk daerah 3T karena keterbatasan akses internet. Bayangkan, sudah susah payah dapat laptop, eh, internetnya malah ngadat. Jadi, manfaatnya kurang optimal, kan?
TKDN dan Persaingan yang Terbatas: Aroma Monopoli Tercium?
Masalah berikutnya adalah terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan spesifikasi teknis yang dinilai membatasi persaingan antar penyedia. Hanya enam perusahaan yang dianggap memenuhi syarat, termasuk PT Zyrexindo Mandiri Buana, PT Supertone, dan Acer Manufacturing Indonesia. ICW menilai hal ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jangan-jangan, ada deal-deal khusus di balik layar?
Siapa yang Bertanggung Jawab? Bukan Cuma Stafsus!
ICW juga menyoroti peran staf khusus (stafsus) menteri yang disebut-sebut dalam penyidikan Kejagung. Mereka menegaskan bahwa stafsus tidak memiliki kewenangan dalam proses pengadaan. Yang bertanggung jawab adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pengguna anggaran, dan kuasa pengguna anggaran, yaitu Menteri. Jangan sampai kambing hitam dicari, sementara dalang di belakang layar lolos begitu saja.
Apalagi, spesifikasi laptop Chromebook tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2021 yang ditandatangani oleh Nadiem Makarim. Jadi, wajar jika publik menuntut kejelasan dan akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga masalah tanggung jawab moral.
Evaluasi Program Digital: Perlu atau Tidak?
ICW dan KOPEL mendesak Kejagung untuk mengklarifikasi informasi mengenai penyidikan, termasuk dugaan korupsi dan perkiraan kerugian negara. Selain itu, mereka juga mendorong Kemendikbudristek, di bawah kepemimpinan menteri yang baru, untuk mengevaluasi program pendidikan digital periode 2019-2024 dan mempublikasikan hasilnya. Transparansi adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan publik.
Nadiem Makarim dan Pengawasan Internal
ICW juga mengingatkan Nadiem Makarim, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk memperkuat pengawasan internal agar pengadaan tidak terjerumus ke dalam praktik korupsi. Ibaratnya, sedia payung sebelum hujan. Pengawasan yang ketat sejak awal dapat mencegah potensi penyimpangan.
Kejagung bahkan sudah menggeledah rumah tiga orang stafsus mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Hal ini menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus ini.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya pemerintah. Pertama, transparansi adalah kunci utama dalam setiap proses pengadaan barang dan jasa. Kedua, pengawasan internal harus diperkuat untuk mencegah potensi penyimpangan. Ketiga, prioritas harus jelas, terutama dalam situasi darurat. Jangan sampai ada program yang dipaksakan hanya untuk menghabiskan anggaran.
Integritas adalah Kunci
Intinya, integritas adalah fondasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Tanpa integritas, semua program dan kebijakan akan sia-sia. Jangan sampai anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru dikorupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Mari kita kawal kasus ini sampai tuntas!