Dark Mode Light Mode

Implikasi Kunjungan Prabowo ke Tiongkok Bagi Indonesia

Indonesia di Persimpangan Jalan: Menjaga Keseimbangan di Tengah Persaingan Global

Ketika Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, mendarat di Jakarta bulan lalu, sambutan meriah seperti karpet merah dan parade militer tidak luput diberikan. Namun, yang lebih menarik perhatian adalah perubahan halus dalam nada bicara Presiden Prabowo Subianto. Dalam resepsi bisnis, Prabowo sedikit "melenceng" dari naskah. Selain mempromosikan hubungan ekonomi dan saling menghormati, ia juga memuji penentangan Tiongkok terhadap kolonialisme dan apartheid, serta menyuarakan dukungan untuk Palestina. Dalam konteks lain, pernyataan ini mungkin dianggap sebagai retorika standar, tapi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik AS-Tiongkok, ini terdengar seperti sinyal halus ke Beijing dan sedikit sindiran ke Washington.

Apakah ini sebuah pivot? Penataan ulang? Mungkin tidak. Jika ada satu hal yang Prabowo tunjukkan dalam masa jabatannya sebagai Presiden, itu adalah bahwa ia kurang tertarik untuk memilih pihak dan lebih memilih untuk menjaga semua opsi tetap terbuka. Kebijakan luar negeri "bebas aktif" Indonesia memang menekankan pada autonomi dan menghindari aliansi yang mengikat. Namun, di bawah Prabowo, ini mulai terlihat seperti aksi diplomatic ventriloquism: mengatakan apa yang ingin didengar Tiongkok di Jakarta, lalu beralih ke Washington dengan nada yang sama sekali berbeda.

Ambisi dan Realitas: Mengapa Prabowo Membutuhkan Tiongkok

Tak bisa dipungkiri, Prabowo mengagumi Amerika Serikat, khususnya mantan Presiden Donald Trump. Ia bahkan secara terbuka menyatakan keinginan untuk bertemu dengannya. Namun, Prabowo juga sadar bahwa Tiongkok memegang kunci ekonomi untuk banyak janji domestiknya. Kedua negara menandatangani sejumlah kesepakatan selama kunjungan Li, termasuk inisiatif "taman industri kembar" senilai $3 miliar yang menghubungkan Fujian dan Jawa Tengah. Diharapkan ini akan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, yang menjadi pilar utama rencana Prabowo untuk mempercepat pertumbuhan manufaktur dan infrastruktur.

Kemudian ada program makan siang gratis di sekolah yang ambisius dan populer secara politik. Diperkirakan menelan biaya miliaran dolar per tahun, program ini membutuhkan pembiayaan dan dukungan logistik yang serius. Investasi Tiongkok, yang sudah krusial bagi sektor infrastruktur dan pengolahan makanan Indonesia, kemungkinan akan memainkan peran penting dalam mewujudkan kebijakan utama ini. Jadi, bisa dibilang, untuk mewujudkan janji-janji kampanye, sedikit "rayuan" ke Tiongkok mungkin diperlukan.

Perdagangan dan Keuangan: Menjauhi Dominasi Dolar AS?

Kesepakatan lain yang ditandatangani termasuk nota kesepahaman di bidang kesehatan masyarakat, pariwisata, keuangan, dan kerja sama mata uang. Yang menarik, Bank Indonesia dan Bank Sentral Tiongkok sepakat untuk mempromosikan perdagangan dalam mata uang lokal. Langkah ini adalah bagian dari upaya Beijing yang lebih luas untuk mengikis dominasi dolar AS. Apakah ini berarti kita akan segera cashless menggunakan Yuan? Mungkin belum, tapi ini menunjukkan arah yang jelas.

Keamanan dan Kedaulatan: Garis Tipis di Laut Natuna Utara

Kerja sama keamanan juga dibahas, dengan perjanjian yang diperbarui antara Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) dan Penjaga Pantai Tiongkok. Namun, di sinilah segalanya menjadi lebih rumit. Langkah-langkah maritim agresif Tiongkok di Laut Cina Selatan, termasuk pelanggaran ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tetap menjadi sumber ketegangan tersembunyi. Tidak mengherankan, sengketa tersebut dihilangkan dari pernyataan publik setelah kunjungan Li. Untuk saat ini, Jakarta tampaknya puas untuk melakukan kompartementalisasi: menekan secara diam-diam pada isu kedaulatan, menuai keuntungan secara terbuka dari perdagangan. Ibaratnya, "yang penting cuan dulu, urusan lain belakangan."

Bluffing dalam Diplomasi: Sampai Kapan Bertahan?

Ini semua adalah kalkulasi. Prabowo tidak memilih Tiongkok daripada Amerika Serikat, atau sebaliknya. Ia memilih fleksibilitas. Dan di lingkungan geopolitik yang terpecah belah saat ini, baginya, itu mungkin menjadi pilihan yang paling strategis. Akan tetapi, ambiguitas punya batas waktu. Semakin dalam Indonesia memperdalam kerja sama ekonomi dan keamanan dengan kedua belah pihak, semakin besar tekanan yang akan dihadapinya untuk menunjukkan kartunya. Untuk saat ini, ambiguitas berhasil: menjaga aliran modal Tiongkok, jet Amerika terbang dalam latihan militer bersama, dan pejabat Indonesia disambut di setiap ibu kota. Tetapi keseimbangan itu rapuh.

Narasi Ganda Prabowo: Antara Diplomasi dan Politik Domestik

Ada juga pertanyaan tentang otentisitas. Apakah kata-kata Prabowo tentang konflik Israel-Palestina dan kolonialisme merupakan refleksi dari keyakinan mendalam atau hanya diplomasi cerdas? Politik domestik mungkin menawarkan petunjuk. Ada peningkatan tekanan di dalam Indonesia, terutama dari organisasi Islam dan pemilih muda, untuk tindakan yang lebih kuat dalam menanggapi pertempuran di Gaza. Dengan berbicara di depan Perdana Menteri Tiongkok, Prabowo tidak hanya mendapatkan poin dengan Beijing tetapi meyakinkan basis domestik yang vokal tanpa perlu menghadapi Washington secara langsung. Ini seperti main catur 4D, memikirkan banyak kemungkinan langkah ke depan.

Pesan Tersembunyi dalam Kunjungan Li Qiang: Lebih dari Sekadar MoU

Itu adalah pesan yang ditujukan kepada banyak audiens. Dan itu, lebih dari MoU atau hidangan makan malam apa pun, adalah kisah nyata dari kunjungan Li Qiang. Bukan apa yang dibawa Tiongkok ke Jakarta, tetapi apa yang dipilih Indonesia untuk dikatakan, dan apa yang tidak dikatakannya. Apakah Prabowo benar-benar seorang master of disguise dalam diplomasi? Waktu yang akan menjawabnya.

Indonesia dan Dilema Kekuatan Besar: Menuju Keseimbangan atau Kejatuhan?

Saat kekuatan besar dunia bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Asia Tenggara, Prabowo mencoba untuk memainkan keduanya. Sejauh ini, ini berhasil. Tetapi dalam diplomasi, seperti dalam poker, bluffing hanya akan membawa Anda sejauh ini. Pada akhirnya, semua orang ingin melihat kartu Anda. Bisakah Indonesia terus menjaga keseimbangan di tengah persaingan sengit ini? Atau akankah ia akhirnya terjebak di antara dua kekuatan besar? Hanya waktu yang akan menjawabnya, dan kita semua menonton dengan seksama.

Kesimpulan: Diplomasi Tingkat Tinggi, Risiko Tinggi

Intinya, Indonesia sedang memainkan permainan diplomasi tingkat tinggi, dengan risiko yang juga tinggi. Kemampuan untuk menjaga keseimbangan di tengah persaingan global akan menentukan masa depan Indonesia. Dan seperti kata pepatah, "bermain api, bisa terbakar." Semoga Indonesia tidak "terbakar" dalam permainannya sendiri.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Shane Hawkins Bawakan Lagu Favorit Ayahnya dari Foo Fighters, Menggetarkan Indonesia

Next Post

Menerapkan Global Illumination Kustom di UE5: Implikasi Visual