Dark Mode Light Mode

Indonesia Tingkatkan Sensor LGBT: Kebebasan Berekspresi Terancam

Siap-siap, guys, ada kabar kurang chill nih. Bayangin, lagi asik scroll TikTok, eh, tiba-tiba konten favorit lo ilang gara-gara dianggap "gak sesuai norma". Serem, kan?

Siaran Digital Kita: Mau Dibawa ke Mana?

Indonesia sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang bisa mengubah cara kita berinteraksi di dunia maya. RUU Penyiaran ini, yang sempat bocor dan kembali jadi prioritas, menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait kebebasan berekspresi. Intinya? Konten yang menampilkan "perilaku" LGBT dilarang tayang online.

Dave Laksono, seorang anggota DPR yang terlibat dalam penyusunan RUU Penyiaran, berpendapat bahwa Indonesia perlu mengikuti tren global dalam regulasi platform digital. Katanya, ini adalah tanggung jawab untuk membangun kontrol dan penyaringan informasi yang diterima anak-anak. Alasan yang klise tapi klasik.

Menurut beliau, sensor konten di platform digital hanyalah perpanjangan dari apa yang sudah terjadi di film, televisi, dan radio. Mungkin ada benarnya, tapi apakah kita mau semua jadi seragam dan gak ada ruang untuk perbedaan?

Namun, bukan cuma RUU Penyiaran yang bikin kita garuk-garuk kepala. Ada juga RUU lain yang sedang dibahas, yang akan memperluas kewenangan polisi untuk mengawasi dan mematikan akses internet. Ini belum termasuk Undang-Undang Militer yang baru disahkan, yang meningkatkan kewenangan militer di ruang digital. Double kill, triple kill, multi kill…kebebasan sipil?

Para advokat LGBT khawatir bahwa RUU Penyiaran, ditambah dengan Undang-Undang Militer dan RUU Kepolisian, akan menambah lapisan risiko baru bagi kaum minoritas seksual. Ini akan semakin memperburuk diskriminasi terhadap komunitas LGBT yang sudah rentan. Alih-alih melindungi, justru malah mengontrol, kata Richa Shofyana (Chacha) dari Crisis Response Mechanism.

Bayangkan, kebebasan digital kita kayak lagi di ujung tanduk. Apa yang tadinya kita anggap sebagai safe space, tempat kita bisa jadi diri sendiri, tiba-tiba jadi arena yang penuh pengawasan dan ancaman. Bikin gak nyaman, kan?

Kilas Balik: Sejarah Diskriminasi Digital

Situasi saat ini mengingatkan kita pada tahun 2016, tahun di mana perempuan transgender kehilangan pekerjaan di industri hiburan secara massal karena undang-undang sensor yang berfokus pada televisi dan radio, kata Kanzha Vinaa, seorang perempuan transgender yang memimpin Sanggar Swara.

Tahun itu menandai kebangkitan gerakan anti-LGBT. Bahkan saat itu, banyak orang LGBT mulai menutup akun media sosial mereka. Ada komentar di akunnya yang menyerang identitasnya dan bahkan mengancam nyawanya, dan komentar-komentar itu tidak dihapus oleh platform. Parahnya, itu gak dianggap sebagai kekerasan.

Menurut Chacha, sekitar tahun 2023, nama lama dan fotonya tanpa jilbab muncul di media sosial, dan dia kehilangan akses ke akun WhatsApp-nya. Serius, ini udah level persekusi.

Ada beberapa alasan mengapa sentimen anti-LGBT meningkat. Ada kepemimpinan politik baru di tingkat provinsi – seorang kandidat adalah orang Tionghoa dan bukan Muslim, yang memicu protes dari kelompok konservatif Muslim. Selain itu, Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2015, yang memicu banyak politisi Indonesia untuk semakin berhati-hati terhadap gerakan hak-hak LGBT. Gara-gara negara lain, kita yang ribet.

Nenden Sekar Arum, direktur eksekutif SAFEnet, mengatakan bahwa kriminalisasi dan sensor terhadap orang LGBT meningkat secara signifikan selama pemerintahan Jokowi. Antara tahun 2016 dan 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 169 situs web dengan konten LGBT "tidak bermoral", serta aplikasi kencan Grindr, dan Blued, aplikasi jejaring sosial gay.

Efek Jera: Dari Grindr Sampai TikTok, Semua Kena?

Polisi Indonesia secara rutin menangkap kelompok orang yang berkumpul untuk pesta. Pada bulan Februari, polisi menangkap 56 orang di Jakarta. Dan November lalu, Isa Zega, seorang wanita transgender dan influencer media sosial, menjadi tersangka dalam kasus penistaan agama setelah mengunggah konten yang menunjukkan dirinya pergi umrah mengenakan jilbab. Dua kasus ini terjadi di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Mulai deg-degan gak tuh?

Singkatnya, kebebasan kita di dunia digital terasa semakin sempit. Aturan-aturan yang ada, ditambah dengan RUU yang sedang digodok, berpotensi membungkam suara-suara minoritas dan membatasi ruang gerak kita dalam berekspresi.

KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melihat isu ini sederhana: RUU baru ini adalah tentang melindungi anak-anak, kata Ubaidillah, ketua KPI. Yah, selalu aja anak-anak jadi tameng.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Vinaa punya jawaban: melawan dengan tetap hadir. Dia berencana untuk menghadapi RUU baru itu dengan cara yang berbeda dari tahun 2016, ketika dia menghilang dari media sosial selama bertahun-tahun. "Saat ini, aku gak mau membuat mereka bisa membungkamku lagi," katanya. "Jadi, apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di ruang digital untuk merebut kembali ruang-ruang itu, dengan semua risiko yang aku sadari."

Pesan yang kuat, kan? Kita gak boleh menyerah begitu saja. Kita harus terus bersuara, terus berkarya, dan terus memperjuangkan hak kita untuk berekspresi.

Mungkin RUU ini akan disahkan, mungkin juga gak. Tapi satu hal yang pasti: kita gak boleh diam. Kita harus terus mengawasi, terus mengkritisi, dan terus berjuang untuk kebebasan digital kita. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Lelah Bermain: MMO Apa yang Kau Tinggalkan Karena Pemainnya, Bukan Gamenya

Next Post

Spike Lee Bahas Knicks dan Numerologi di Cannes: Pertanda Apa?