Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Hidden Cameras: Dari Indie Boy Jadi Bad Boy Lewat Musik Elektro Berlin yang Meditatif

CIFTIS: Siswa Indonesia Promosikan Budaya, Banggakan Negeri

Inklusi: Fondasi Lingkungan Kerja Harmonis dan Berdaya

Pernahkah merasa bahwa dunia seni itu seperti pesta VIP eksklusif dengan daftar tamu yang misterius? Seolah tiket masuknya bukan cuma uang, tapi juga password rahasia yang cuma diketahui segelintir orang. Royal Welsh College of Music and Drama (RWCMD) di Cardiff, Inggris, rupanya merasa hal yang sama, dan mereka memutuskan untuk membongkar gerbang itu agar semua orang bisa ikut menari. Di tengah upaya membuka pintu ini, ada Guy O’Donnell, sang Communities Engagement Partner, yang berperan layaknya cultural superhero yang datang untuk memastikan tak ada lagi yang merasa seperti _outsider_ di pesta budaya ini.

Sebagai konservatori nasional Wales, RWCMD bukan cuma tempat pelatihan aktor, musisi, desainer, teknisi, dan manajer seni dari lebih dari empat puluh negara. Mereka juga penyelenggara lebih dari lima ratus pertunjukan publik setiap tahun, mulai dari konser orkestra hingga drama dan opera. Bayangkan saja, sebuah playground budaya yang super sibuk, di mana kreativitas tak pernah tidur. Lingkungan semacam ini, dengan segala keragaman seninya, idealnya menjadi wadah stimulasi dan pengalaman luas bagi para mahasiswa dari segala disiplin ilmu.

Namun, di balik gemerlap panggung, realitas audiens seringkali mengkhawatirkan. Meskipun berbagai inisiatif pengembangan audiens telah digulirkan, wajah-wajah yang duduk di kursi penonton masih didominasi oleh kelompok yang sama: berkulit putih, berpendidikan tinggi, kelas menengah, dan berusia paruh baya. Kondisi ini bukan hanya menciptakan kesenjangan, tetapi juga mempertanyakan nilai sebenarnya dari aktivitas budaya yang didanai publik, bahkan meragukan seberapa kreatif dan relevankah sektor seni ini bagi masyarakat luas.

Di sinilah Departemen Keterlibatan Komunitas RWCMD turun tangan. Tujuannya bukan sekadar menambah jumlah penonton, melainkan memberdayakan dan mendukung audiens aktif yang menghadapi berbagai hambatan. Program-program mereka dirancang untuk memungkinkan komunitas ini berinteraksi langsung dengan mahasiswa, menciptakan dan berbagi karya seni mereka, serta pada akhirnya, ikut berkontribusi pada pelatihan generasi seniman masa depan. Ini adalah visi yang ambisius untuk menjadikan seni sebagai platform inklusif bagi pertukaran ide dan ekspresi.

Ketika Guy O’Donnell pertama kali bergabung pada September 2022, langkah awalnya adalah menyelami program pertunjukan langsung dan mendengarkan berbagai pandangan dari staf, mahasiswa, dan masyarakat. Dari semua obrolan itu, satu hal yang paling menonjol adalah potensi besar dari penawaran budaya langsung kampus untuk membuka dialog tentang akses ke seni. Ini adalah kekuatan alami RWCMD sebagai konservatori nasional yang memiliki posisi unik untuk memimpin perubahan.

Ketika Seni Tidak Lagi Jadi Hobi Kaum Elit

Salah satu proyek perdana yang lahir dari diskusi tersebut adalah kolaborasi Calypso Jazz dengan The Windrush Cymru Elders. Kelompok tetua ini, yang dipimpin oleh Race Council Cymru, adalah kumpulan individu proaktif dari seluruh Wales Selatan yang bekerja untuk mempromosikan pemahaman tentang kebutuhan lansia etnis minoritas, sembari merayakan kontribusi mereka. Mereka rutin bertemu di kampus, yang berfungsi sebagai pusat komunitas, untuk bersosialisasi dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas kreatif.

Kolaborasi ini melampaui sekadar penyediaan tempat pertemuan. Para tetua ini turut berpartisipasi dalam memberikan masukan dan feedback terhadap program pertunjukan kampus. Berbagai rekan kerja dan mahasiswa dari RWCMD juga sering berinteraksi dengan kelompok ini, menjalin pemahaman tentang kerja kampus dan mempererat hubungan dengan komunitas Windrush. Ini menunjukkan bagaimana pertunjukan publik bukan hanya penting untuk pembelajaran mahasiswa, tetapi juga krusial dalam memahami beragam audiens dan kebutuhan mereka.

Puncaknya adalah konser Calypso Jazz berskala besar yang dipimpin oleh musisi jazz Dennis Rollins, didukung oleh mahasiswa RWCMD. Sebelum konser, Dennis dan staf bertemu dengan para Windrush Elders untuk menggali warisan musik mereka. Diskusi mendalam ini kemudian melahirkan sebuah konser yang dikreasikan bersama, di mana mahasiswa dan para tetua berbagi panggung di depan audiens berbayar, merayakan kekayaan musik Calypso Jazz. Ini adalah contoh nyata bagaimana seni bisa menjadi jembatan antar-generasi dan budaya.

Dari Ruang Kelas ke Panggung Bersama: Kolaborasi Anti-Bosan

Selain pertunjukan, para tetua juga didukung untuk bergabung dengan Tempo Time Credit Network, sebuah organisasi nirlaba berskala Inggris yang membangun jaringan lokal dan nasional. Dalam skema ini, para sukarelawan mendapatkan “kredit waktu” sebagai pengakuan atas kerja sukarela mereka yang tak ternilai dalam komunitas. Kredit ini kemudian dapat ditukarkan dengan berbagai layanan dan aktivitas yang disediakan oleh mitra Tempo, di mana RWCMD adalah salah satunya.

The Windrush Elders mendapatkan dua Tempo Time Credits setiap kali mereka meluangkan waktu untuk mendukung komunitasnya dalam pertemuan mingguan. Mayoritas dari mereka telah menggunakan kredit ini untuk menikmati pertunjukan di kampus. Mengingat biaya tiket bisa menjadi penghalang finansial bagi sebagian tetua, kolaborasi ini jelas memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat, membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya mungkin tidak memiliki kesempatan.

Dengan Tempo Time Credits, Windrush Elders telah menyaksikan pertunjukan opera, drama, dan musik klasik. Mereka bahkan membawa cucu-cucu mereka untuk melihat Wearable Art, sebuah pameran kostum yang diciptakan dan ditampilkan oleh mahasiswa Desain Pertunjukan. Ini tidak hanya memperkenalkan talenta masa depan dari berbagai komunitas kepada kampus, tetapi juga menginspirasi generasi muda mengenai kemungkinan karir di industri kreatif, menunjukkan bahwa seni adalah investasi masa depan.

Seni Bukan Sekadar Tontonan, Tapi Ladang Investasi Kebaikan (dan Kopi)

Angka penggunaan Tempo Time Credits di RWCMD menunjukkan tren peningkatan yang signifikan: dari 87 pada September 2022-Juli 2023, melonjak menjadi 184 pada periode yang sama tahun berikutnya, dan diproyeksikan mencapai 230 untuk September 2024-Juli 2025. Data ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti nyata dampak positif program tersebut. Ini menandakan semakin banyak orang yang mendapatkan akses ke seni.

Di samping itu, ada benefit ekonomi yang tak terduga. Rata-rata pengeluaran di kafe/bar oleh penonton per produksi adalah antara £10-15. Jika dua ratus orang menghabiskan rata-rata £12.50 dalam setahun, itu berarti tambahan £2.500 bagi kampus. Ini membuktikan bahwa mendukung penggunaan Time Credits adalah cara cerdas untuk mendorong pengeluaran sekunder, seringkali tanpa biaya tambahan yang signifikan dari pihak kampus, menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan.

Para tetua Windrush juga terlibat dalam pameran “Welcome to Wales” RWCMD, sebuah instalasi gratis dari desainer teater internasional dan Ketua Internasional Drama RWCMD, Pamela Howard OBE. Pameran ini menceritakan kembali perjalanan-perjalanan emosional dan sambutan hangat Wales kepada banyak seniman, penampil, dan musisi. Komunitas seperti penyandang tunanetra, tunawisma, dan Windrush Elders didukung untuk mengakses pameran ini, membuktikan seni dapat dijangkau oleh semua kalangan.

Melampaui Panggung: Seni Sebagai Terapi dan Jembatan Komunitas

Kelompok komunitas yang menghadiri pameran ini kemudian didukung oleh berbagai profesional kreatif untuk menghasilkan karya seni mereka sendiri yang terinspirasi dari pameran. Hasilnya sungguh luar biasa: tulisan kreatif, puisi, lagu, seni visual, seni braille, dan patung. Karya-karya ini bahkan dipamerkan di kampus bersamaan dengan karya mahasiswa Desain Produksi dan kemudian digunakan sebagai bahan ajar bagi mahasiswa tentang pemrograman inklusif, menciptakan lingkaran pembelajaran yang positif.

RWCMD juga menjadi tuan rumah pameran sejarah “Windrush Cymru – Our Voices, Our Stories”, bagian dari tur yang juga singgah di Senedd dan National Museum Wales. Proyek dan pameran ini secara langsung merespons seruan dari para tetua generasi Windrush yang ingin memastikan warisan generasi mereka didokumentasikan dan dipertahankan untuk generasi mendatang. Ini adalah wujud nyata komitmen kampus dalam melestarikan sejarah dan budaya.

Tiga dari para tetua bahkan telah menerima pelatihan untuk berperan sebagai Sukarelawan Komunitas atas nama kampus. Para sukarelawan ini menghabiskan waktu mengadvokasi pertunjukan di kampus di antara jaringan mereka sendiri. Mereka berhasil menjangkau penonton baru yang mungkin sulit dijangkau melalui metode pemasaran tradisional kampus. Inisiatif ini telah menggeser proses hierarkis dalam mengakses penyediaan budaya, mendemokratisasikan dan memberdayakan komunitas yang ingin dijangkau.

Sebagai penutup, Good Vibrations Chorus adalah contoh kegiatan komunitas yang menyatukan mahasiswa dan masyarakat umum yang mungkin menghadapi hambatan dalam hidup mereka, terpusat pada perayaan aktivitas musik. Kelompok paduan suara gratis ini ditargetkan bagi mereka yang hidup dengan Parkinson, namun terbuka untuk siapa saja. Partisipan melakukan latihan vokal, pemanasan, dan menyanyikan lagu-lagu akrab maupun baru dengan tujuan memperkuat suara untuk mengatasi masalah bicara dan hilangnya tonus otot yang umum pada Parkinson. Ini adalah bukti bahwa seni bisa menjadi terapi dan jembatan menuju kualitas hidup yang lebih baik.

Chorus tidak hanya menawarkan manfaat fisik dan emosional, tetapi juga menjadi sarana kolaborasi. Windrush Elders didukung untuk menghadiri paduan suara, dan mereka juga membantu kampus untuk menarik anggota jaringan mereka sendiri agar turut serta. Ini penting, mengingat kurangnya keragaman dalam inisiatif Seni dan Kesehatan. Dengan repertoire yang luas dan beragam, mencakup musik Koor tradisional hingga musisi seperti Bob Marley, RWCMD secara aktif mewujudkan misinya: menjadi ruang untuk semua orang, tanpa kecuali.

Previous Post

DASH Diet: Kontrol Gula Darahmu, Jauhi Risiko Penyakit Kronis

Next Post

Florence + The Machine: Everybody Scream, Ledakan Emosi Baru

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *