Dark Mode Light Mode

Jawaban: ‘Dear Me, I Was’: Teka-teki Masa Lalu dari Sutradara Hotel Dusk, Taisuke Kanasaki

Di tengah hiruk pikuk Anime Expo 2025, sebuah kejutan manis – atau mungkin sedikit pahit – muncul dari Arc System Works. Bayangkan, datang ke panel yang menjanjikan adu jotos seru Guilty Gear dan Hunter X Hunter Nen X Impact, eh malah disuguhi trailer game yang bikin mata berkaca-kaca. Bukan salah kostum cosplay kamu yang kelilipan, ini beneran!

Arc System Works, yang identik dengan game fighting yang bikin jari keriting, tiba-tiba meluncurkan Dear me, I was, sebuah game naratif visual yang lebih condong ke merenung daripada menghajar. Sebuah langkah yang cukup mengejutkan, mengingat reputasi mereka. Pertanyaannya, kenapa kita harus peduli? Mari kita bedah lebih dalam.

Menyelami Keindahan Visual Dear me, I was

Dear me, I was adalah sebuah pengalaman naratif tanpa teks, yang mengandalkan keindahan visual watercolor dan animasi rotoscope. Mungkin terdengar seperti jualan yang sulit, apalagi kalau kamu datang dengan semangat 45 untuk melihat karakter-karakter Hunter X Hunter adu jurus. Tapi percayalah, ini bukan sekadar indie darling yang numpang lewat.

Inti dari game ini adalah perjalanan seorang wanita merenungi masa lalunya. Ia kembali ke momen-momen penting yang membentuk dirinya. Alih-alih mengandalkan dialog yang klise, game ini mencoba menyampaikan emosi melalui gerakan, ekspresi, dan latar belakang yang dilukis dengan indah. Ini adalah game yang dirancang untuk pemain yang mencari sesuatu yang lebih lambat, lebih intim, dan, seperti kata tim pengembang, sedikit membangkitkan semangat.

Game ini rencananya akan dirilis secara digital untuk Nintendo Switch 2 musim panas ini. Sebuah departure emosional dari Arc System Works yang biasanya sibuk dengan air-dash dan counter. Ini seperti tiba-tiba melihat Chef Juna bikin kue pastel. Mengejutkan, tapi bikin penasaran.

Taisuke Kanasaki: Sang Maestro di Balik Layar

Otak kreatif di balik Dear me, I was adalah Taisuke Kanasaki, seorang desainer veteran yang dikenal atas karyanya di Hotel Dusk: Room 215. Lahir tahun 1971, Kanasaki memulai karirnya di industri game pada usia 18 tahun. Namanya melambung saat bergabung dengan Cing, studio yang sayangnya kini sudah tidak ada, yang berspesialisasi dalam game petualangan dengan gaya seni yang unik dan narasi yang tidak konvensional.

Kanasaki menyutradarai dan mendesain Hotel Dusk dan sekuelnya, Last Window: The Secret of Cape West, yang mendapatkan status kultus karena penceritaan noir mereka dan karakter rotoscoped. Game-game ini menemukan penggemar setia di Nintendo DS karena penanganan pacing, kehalusan, dan tema dewasa mereka. Percayalah, saat saya sedang asyik main visual novel slice-of-life, Hotel Dusk adalah game petualangan yang membuka mata saya. Kemitraannya dengan penulis Rika Suzuki dan tim yang solid menghasilkan beberapa cerita interaktif paling berkesan di DS.

Setelah Cing tutup, Kanasaki dan sebagian tim aslinya berkumpul kembali untuk mengembangkan Chase: Cold Case Investigations – Distant Memories, sebuah judul yang lebih kecil yang mempertahankan gaya mereka di 3DS. Sekarang, hampir satu dekade kemudian, Dear me, I was terasa seperti evolusi alami, sebuah kembalinya ke penceritaan kontemplatif melalui visual buatan tangan. Ini seperti reuni band favoritmu setelah sekian lama vakum.

Arc System Works: Bukan Cuma Soal Adu Jotos

Arc System Works memang terkenal dengan game fighting yang memacu adrenalin. Sebut saja Guilty Gear, BlazBlue, atau bahkan Dragon Ball FighterZ. Tapi bukan berarti mereka anti dengan proyek eksperimental atau naratif.

Dear me, I was tetap menonjol karena presentasinya yang unik. Menggunakan rekaman live-action yang dilukis dengan tekstur watercolor, tim ini fokus pada atmosfer dan nada daripada gameplay tradisional. Game ini dirancang agar mudah diakses oleh pemain yang menginginkan sesuatu yang berbeda. Tidak ada teks. Tidak ada pertempuran. Hanya perjalanan personal melalui kenangan seorang wanita. Ini seperti mendengarkan album unplugged dari band metal kesukaanmu.

Sensasi Baru di Nintendo Switch 2: Menunggu Kelahiran Dear me, I was

Meskipun Dear me, I was adalah departure dari zona nyaman Arc System Works, ini juga merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Dengan visual yang memukau dan cerita yang menyentuh, game ini berpotensi menjadi sleeper hit di Nintendo Switch 2.

Jangan Harap Ada Combo, Siapkan Tisu Saja

Jika kamu berharap ada combo atau jurus maut ala Guilty Gear, sebaiknya lupakan saja. Dear me, I was adalah tentang merasakan, merenungkan, dan mungkin sedikit menangis. Ini adalah game yang akan membuatmu berpikir tentang hidupmu sendiri, tentang pilihan yang telah kamu buat, dan tentang orang-orang yang telah kamu cintai.

Genre Baru: Emotional Fighting Game?

Mungkin agak aneh menyebutnya demikian, tapi Dear me, I was bisa jadi adalah emotional fighting game. Bukan adu jotos fisik, tapi adu jotos dengan emosi sendiri. Pertarungan melawan masa lalu, melawan penyesalan, dan melawan keraguan diri.

Akankah Dear me, I was Jadi Game of the Year?

Mungkin terlalu dini untuk memprediksi. Tapi yang jelas, Dear me, I was adalah game yang berani, unik, dan berpotensi sangat berarti. Ini adalah game yang akan membuatmu berpikir dan merasakan. Dan itu, menurut saya, adalah definisi sejati dari sebuah game of the year.

Intinya: Jangan kaget kalau Arc System Works tiba-tiba bikin game yang bikin kamu mewek. Terkadang, yang kita butuhkan bukan cuma adu jotos, tapi juga sedikit introspeksi. Siapa tahu, setelah main Dear me, I was, kamu jadi lebih bijak dan lebih menghargai hidup. Atau minimal, kamu jadi punya alasan untuk beli tisu banyak-banyak.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Perth Terkungkung Abu Vulkanik, Nasib Dewan Nedlands di Ujung Tanduk, Capaldi Bakal Guncang Perth, Oknum Tradie Nodai Citra Indonesia

Next Post

Bocoran Spesifikasi Tiga Ponsel Lipat Samsung Sebelum Unpacked Ungkap Kejutan?