Dulu, sebelum streaming merajalela dan artis viral bertebaran di TikTok, ada masa di mana keajaiban musik ditemukan di kafe-kafe kecil dan konser intim. Di sanalah, seorang pemuda bernama Jeff Buckley, dengan suara yang menjangkau langit dan jiwa yang rentan, mencuri hati para pendengarnya. Kisahnya, singkat namun memukau, kini hadir dalam dokumenter berjudul It’s Never Over. Kita akan menyelami apa yang membuat dokumenter ini, dan sosok Buckley, begitu relatable meski lintas generasi.
Dokumenter ini bukan sekadar biografi musisi; ini adalah perjalanan emosional melalui kehidupan yang singkat namun penuh warna. It’s Never Over menggali masa kecil Buckley, kebangkitannya sebagai musisi, dan kematiannya yang tragis di usia 30 tahun. Fokusnya bukan hanya pada pencapaian musiknya, tetapi juga pada sisi kemanusiaannya yang kompleks.
Salah satu aspek paling menarik dari dokumenter ini adalah cuplikan live performance awal Buckley di Sin-é, sebuah kafe di East Village yang kini sudah tutup. Di sana, ia bekerja sebagai pelayan sambil memainkan musik solonya. Rekaman-rekaman ini, yang juga terdapat dalam album Live at Sin-é, menyajikan versi mentah dari lagu-lagu yang kemudian menghiasi album Grace.
Dalam cuplikan hitam putih singkat saat Buckley menyanyikan “Mojo Pin,” Anda benar-benar dapat mendengar obrolan di ruangan itu menghilang. Seolah ada seseorang yang mengendalikan volume. Momen-momen ini terasa spesial dan langka, dan Anda dapat merasakan sensasi yang sama dengan semua orang di antara penonton: Ada sesuatu tentang orang ini, dan daya tariknya tak terhindarkan.
Namun, momen-momen magis ini terkadang terasa terlalu singkat dan cepat berlalu, sering kali diselingi oleh teks animasi dan motion graphics. Walaupun begitu, sang sutradara, Berg, memahami kekuatan sebuah gambar tunggal. Salah satu gambar yang paling menyayat hati adalah korek api tua dengan nomor telepon dan tulisan “love you” di atasnya.
Korek api itu mungkin satu-satunya benda yang diberikan Tim Buckley, ayah Jeff, secara langsung kepada putranya. Pertemuan pertama mereka terjadi pada tahun 1975. Jeff masih berusia delapan tahun, dan ibunya membawanya untuk menonton Tim bermain di sebuah klub di California Selatan. Jeff tinggal bersama ayahnya – dan keluarga barunya – selama sekitar seminggu, sebelum Tim menaiki Jeff ke bus kembali ke ibunya, dengan korek api di tangannya. Tim Buckley meninggal dua minggu kemudian. Jeff tidak disebutkan dalam satu pun obituari.
Jeff Buckley: Lebih dari Sekadar “Anak Tim Buckley”
Banyak yang mengenal Jeff Buckley sebagai “anak Tim Buckley,” tetapi It’s Never Over berusaha lebih dari sekadar itu. Dokumenter ini mengeksplorasi bagaimana warisan ayahnya memengaruhi hidupnya, tetapi juga menyoroti identitas dan bakatnya sendiri yang unik. Jangan salah paham, beban ekspektasi itu nyata, seperti password Wi-Fi di kafe-kafe kekinian.
Kematian yang Misterius: Kecelakaan atau Lebih dari Itu?
Pada tanggal 29 Mei 1997, Buckley berenang secara spontan di Sungai Wolf, Memphis. Dia berpakaian lengkap, yang, dikombinasikan dengan arus sungai dan gelombang perahu yang lewat, menyebabkan dia tenggelam. Rekan-rekan bandnya sedang dalam perjalanan ke sana untuk merekam album kedua Buckley, My Sweetheart the Drunk.
Meskipun koroner tidak menemukan jejak obat-obatan dalam sistem tubuh Buckley dan menyatakan kematian itu sebagai tenggelam secara tidak sengaja, pers masih berhasil menyensasionalkan tragedi tersebut, menyiratkan faktor tambahan dengan frasa seperti “diperkirakan Buckley telah tenggelam,” dan menarik persamaan antara kematiannya dan kematian ayahnya.
Melihat ke Masa Depan yang Tak Pernah Ada
Dokumenter ini tidak menyinggung penggunaan obat-obatan terlarang yang fatal atau kecenderungan bunuh diri. Spektrum kematian adalah sesuatu yang Buckley akui sepanjang hidupnya. Dalam cuplikan yang sangat menyayat hati, Buckley duduk untuk wawancara dengan rekan-rekan bandnya dan ditanya di mana dia ingin melihat dirinya dalam 10 tahun.
“Aku tidak melihat diriku 10 tahun dari sekarang,” katanya datar, mata menunduk dan kaki kirinya gelisah. Bassist Mick Grøndahl tertawa di sebelahnya, meletakkan tangan di bahunya. Buckley mencoba memaksakan senyum, tetapi ada sesuatu yang begitu teguh tentang ekspresinya.
“Grace”: Album yang Mendefinisikan Generasi (dan Spotify Playlist Kita)
Grace, album debut Buckley, adalah sebuah mahakarya yang melampaui zamannya. Perpaduan antara rock, folk, dan opera, dipadu dengan lirik yang puitis dan vokal yang memukau, membuat album ini menjadi soundtrack bagi banyak orang. Album ini seperti template untuk semua lagu galau yang kita dengarkan sekarang, tapi dengan sentuhan yang lebih artsy.
Warisan Abadi: Mengapa Jeff Buckley Tetap Relevan?
Meskipun hidupnya singkat, Jeff Buckley meninggalkan warisan yang abadi. Musiknya terus menginspirasi dan memengaruhi generasi baru musisi dan penggemar. Kejujuran, kerentanan, dan semangat artistiknya adalah kualitas yang terus beresonansi dengan pendengar di seluruh dunia. His legacy is still being written, one cover song at a time.
It’s Never Over bukan hanya sekadar dokumenter tentang seorang musisi; ini adalah refleksi tentang kehidupan, kematian, dan warisan. Ini adalah pengingat bahwa bahkan dalam waktu yang singkat, kita dapat membuat dampak yang abadi. Dokumenter ini, seperti musik Buckley sendiri, menyentuh kita di tempat yang paling dalam dan emosional, meninggalkan kita dengan perasaan sedih, kagum, dan terinspirasi. Jadi, tunggu apa lagi? Tambahkan Grace ke playlist Anda dan selami keajaiban Jeff Buckley. Karena, percayalah, it’s never over.