Di era serba streaming ini, jika ada yang bilang gelombang Korea itu cuma ombak kecil, mereka pasti belum kena kimchi slap yang menggema seantero jagat raya. Dulu, menyebut “Korea” saja bikin teman sekolah mengernyitkan dahi, sekarang? Kita semua tahu Squid Game bukan tentang cumi-cumi yang kabur dari pasar, dan BTS itu bukan singkatan nama bank. Audiens global kini kecanduan tayangan Korea di Netflix, bahkan menggeser dominasi drama Amerika dalam hal menit tonton. Media sosial pun dibanjiri kreasi masakan Korea, tantangan tari K-pop yang bikin ngos-ngosan, hingga tutorial K-beauty yang menjanjikan kulit sehalus porselen. Fenomena ini, yang dikenal sebagai hallyu, punya dimensi bisnis dan pengaruh budaya yang sama-sama monster besar.
Bayangkan saja, dulu Korea Selatan sedang gigit jari dengan krisis ekonomi dan bailout darurat dari Dana Moneter Internasional. Sementara itu, Kanada bangga dengan Alanis, Celine, dan Shania. Siapa sangka, kini satu Jungkook kemudian (atau 27 tahun, usia superstar BTS itu), semua berubah 180 derajat. K-Pop Demon Hunters, hit Netflix yang tak terduga, menjadi obsesi musim panas, memicu acara singalong di bioskop dan menempatkan soundtrack-nya di puncak tangga lagu. Di YouTube, Blackpink dan BTS menduduki peringkat satu dan dua kanal artis terbesar, sementara Parasite karya Bong Joon Ho bertengger di puncak daftar 100 Film Terbaik Abad ke-21 versi New York Times. Squid Game bahkan tercatat sebagai tayangan Netflix paling banyak ditonton sepanjang masa.
Di dunia yang serba fiber-optic dan cuma butuh satu klik, batas negara dan gatekeeper seolah tak lagi berkuasa, sebaliknya, setiap penggemar punya kekuatan lebih besar. Nilai budaya Korea pada tahun 2023 mencapai US$114 miliar dan diproyeksikan melonjak hingga US$143 miliar pada tahun 2030. Angka ini jelas membuat prestasi global Kanada saat ini terasa mellow alias hambar. Kanada sepertinya butuh suntikan energi Korea agar menemukan identitas merek nasional yang berani di tengah banjir konten harian. Industri musik Kanada memang perlahan pulih setelah sempat “mati suri” akibat Napster, namun industri TV dan film Kanada saat ini sedang dalam turbulensi parah karena dihantam ambruknya pendapatan bioskop, TV kabel, dan iklan.
Kanon Kanada yang Ingin Go International (Tanpa Terlihat Mencurigakan)
Masalah semakin runyam ketika Presiden AS mengancam tarif pada industri TV dan film Kanada yang bernilai US$9,58 miliar. Ini akan menjadi bencana besar, mengingat separuh nilai industri bergantung pada produksi Hollywood yang syuting di Kanada dengan kru dan lokasi lokal. Di tengah kekacauan ini, Kanada sedang melakukan perombakan regulasi Undang-Undang Penyiaran yang dikenal sebagai Online Streaming Act 2023 atau Bill C-11. Ini adalah pembaruan pertama sejak 1991, dan undang-undang inilah yang mendefinisikan apa itu konten Kanada, atau yang lebih dikenal dengan Cancon.
Implementasi Undang-Undang baru ini sejatinya membuka peluang, termasuk cara pemerintah mengalirkan dana ke industri hiburan. Namun, industri TV dan film sedang dalam situasi genting karena pemerintah berseteru dengan para streamer. Konsultasi industri berjalan lambat, dan jika hasilnya tidak cepat dan lincah, tak banyak yang tersisa dari industri-industri ini untuk diselamatkan. Korea Selatan, yang bangkit dari keterpurukan, telah belajar bahwa pendanaan pemerintah harus menjadi bagian dari persamaan, namun fokus utamanya adalah membangun infrastruktur dan sektor swasta yang kuat, termasuk mendorong teknologi baru, alih-alih memberikan dukungan berdasarkan proyek per proyek untuk konten.
Kanada dan Korea Selatan sebenarnya punya banyak kesamaan. Korea Selatan memiliki industri musik rekaman terbesar ketujuh di dunia, sedangkan Kanada kedelapan. PDB per kapita Kanada adalah US$55.800 dan Korea Selatan US$50.600. Kanada bertetangga dengan AS, dan Korea juga punya tetangga besar seperti Jepang dan Tiongkok. Perbedaan paling mencolok adalah bahasa. Tidak seperti bahasa Inggris, Korea adalah bahasa resmi di satu tempat saja, yaitu Korea. Ini mungkin terdengar seperti hambatan, namun menurut Michael MacMillan, CEO Blue Ant Media, justru ini keuntungan. “Mereka tahu siapa diri mereka. Mereka orang Korea. Mereka bicara bahasa Korea.”
Resep Rahasia Korea: Dari Niche Lokal Jadi Global Smash
Strategi Korea Selatan adalah membuat konten Korea untuk audiens Korea yang mencerminkan kehidupan mereka sendiri. Ini adalah langkah pertama dalam formula kesuksesan global: memiliki surplus produk domestik untuk diekspor. Setelah puluhan tahun membangun infrastruktur untuk industri budaya, Korea Selatan kini punya kolam talenta domestik yang dalam dan kompetitif, serta konten yang laku jual. Talenta Kanada juga sangat dalam, dengan kru film yang tak tertandingi. Namun, tantangan terbesarnya adalah mendapatkan dana untuk membuat cerita sendiri, terutama sekarang setelah penyiar Kanada mengurangi pembelian program, khususnya di pasar berbahasa Inggris.
Di sisi lain, Korea Selatan terbukti sangat adaptif. Mereka punya sejarah dalam mengulang dan memperbaiki kebijakan pemerintah yang tidak efektif, seperti mengubah pendekatan mereka terhadap pembatasan impor film asing atau kuota penayangan. Kebijakan yang responsif ini memungkinkan industri mereka berkembang pesat, dan Netflix pun menyadarinya. Pada tahun 2023, streamer raksasa itu menginvestasikan US$2,5 miliar dalam komitmen multi-tahun untuk industri film dan TV Korea. Model Netflix adalah berinvestasi secara lokal untuk memberi audiens lokal apa yang mereka inginkan, dan jika tayangan itu break out menjadi hit global, itu bonus.
Fokus melayani audiens lokal sangat cocok untuk Korea Selatan, mengingat tingginya minat mereka terhadap sejarah dan budaya sendiri. Profesor Shin Dong Kim dari Hong Kong Baptist University menyebutkan bahwa obsesi Korea terhadap pendidikan telah menyempurnakan selera mereka. Setelah kolonialisme dan perang, masyarakat Korea mencari pendidikan sebagai jalan terakhir untuk mobilitas sosial. Gairah terhadap pendidikan ini berarti mereka semakin menuntut drama dan film yang lebih menarik dan ditulis dengan baik, yang pada gilirannya mendorong penjualan di pasar global.
Mencari Jati Diri (dan Dolar) di Tengah Gempuran Streaming
Berbeda dengan Korea, sekitar separuh industri TV dan film Kanada melayani produksi Amerika. Produsen Amerika menyukai dolar Kanada yang lebih murah, insentif kredit pajak, dan kru kelas dunia. Bagi Kanada, ini adalah keharusan, karena uang Amerika menjaga daya saing industri produksi mereka. Meskipun pasar audiens Kanada kecil dibandingkan AS, populasi 40 juta orang tidaklah sedikit dibandingkan Korea Selatan (51 juta), terutama di pasar global yang diciptakan oleh streamer dan YouTube. Kanada sudah menunjukkan, dalam skala kecil, bahwa mereka bisa seperti Korea dalam menjual budaya uniknya. North of North, sitkom dari showrunner Inuit, menjadi hit Top 10 global di Netflix. Dulu, gaya Kanada adalah menyembunyikan identitas negara mereka, seperti Schitt’s Creek yang “tidak punya lokasi, tidak punya latar, tidak punya negara”.
Sistem pendanaan konten Kanada, dengan aturan Cancon dan sistem poinnya, dirancang untuk memastikan penggunaan talenta dan biaya lokal. Namun, aturan ini belum sepenuhnya beradaptasi dengan era digital. Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Kanada (CRTC) mewajibkan streamer global membayar 5 persen pungutan untuk beroperasi di Kanada, yang hasilnya digunakan untuk mendukung sistem penyiaran Kanada. Namun, kebijakan ini tidak diterima dengan baik; Spotify menaikkan harga langganan, dan Netflix menghentikan pendanaan inkubator kreator. Banyak yang merasa CRTC justru berupaya mempertahankan sistem lama di era baru.
Model Korea Selatan berbeda. Pemerintahnya fokus pada infrastruktur dan dukungan sektor, bukan mendanai proyek spesifik. Studio besar Korea Selatan, SLL Studios, misalnya, tidak menerima uang pemerintah untuk puluhan serial TV yang mereka produksi per tahun. Namun, mereka berlokasi di Digital Media City, kawasan yang sengaja dirancang pemerintah sebagai pusat media dan teknologi. Pemerintah Korea juga mendorong investasi swasta, seperti K-Content Strategic Fund senilai US$400 juta yang merupakan gabungan investasi perusahaan swasta dan bank, didukung pemerintah. Ini menunjukkan bagaimana mereka menggabungkan modal swasta dan publik untuk ambisi ekspor global mereka.
Dari Jalan Buntu Regulasi ke Jalan Tol Inovasi
Clive Kenny, seorang ekonom Inggris, menyatakan bahwa kecerdasan bisnis sektor swasta, seperti konglomerat chaebol, sangat integral dalam pertumbuhan hallyu. Perusahaan seperti CJ Group, awalnya perusahaan makanan, berinvestasi di DreamWorks SKG pada tahun 90-an dan kini menjadi salah satu perusahaan hiburan terbesar Korea. Kenny mengkritik insentif pemerintah yang justru bisa menjadi “jalur rintangan yang tidak efisien”, menambahkan risiko pada bisnis. Ini sangat mirip dengan sistem hibah Kanada, di mana produser harus melompati banyak rintangan untuk mendapatkan dana. Jennifer Podemski, co-creator Little Bird, bahkan menyebut struktur cara kerja di Kanada saat ini “rusak parah”.
Budaya kerja Korea yang intens juga menjadi pendorong kesuksesan, terlihat dari sistem trainee K-pop yang menguras tenaga. Proses ini mencetak idol yang tidak hanya jago nyanyi tapi juga tampil memukau, dengan penggemar sebagai prioritas utama. Son Sungdeuk, Executive Creator di Hybe America, menjelaskan formula ini. Namun, ia pesimis sistem trainee K-pop bisa diterapkan di luar Korea karena “terlalu banyak perbedaan budaya”. Jadi, alih-alih meniru, pelajaran pentingnya adalah menggali kekuatan budaya sendiri.
Kanada, misalnya, mungkin tidak unggul dalam melahirkan grup pop yang sangat terlatih, tetapi secara rutin menghasilkan solois-solois ternama dengan sudut pandang yang kuat, seperti Drake, The Weeknd, Joni Mitchell, atau Leonard Cohen. Musik Kanada juga sudah jauh melangkah di dunia digital. Bahkan tanpa kuota streamer, orang Kanada memilih musik Kanada 10 persen dari waktu yang ada. Di luar perbatasan, artis Kanada menempati peringkat ketiga dalam stream global untuk 1.000 single teratas. Kreator Kanada di YouTube juga melihat 90 persen waktu tonton mereka berasal dari luar Kanada, bahkan ada yang berbahasa Farsi. Ini menunjukkan bahwa Kanada sebenarnya sudah mengekspor budaya popnya ke dunia.
Pemerintah Kanada perlu memikirkan masa depan ekonomi budaya dengan memberikan stabilitas bagi para kreator melalui infrastruktur yang dapat diakses (studio, peralatan, mentor, edukasi administrasi bisnis). Contoh sukses seperti CoPilot, startup dari Winnipeg yang mengembangkan teknologi dinding LED canggih, menunjukkan potensi inovasi yang didukung pemerintah melalui misi dagang dan mentorship.
Seperti yang Profesor Kim ingatkan, tidak ada orang di Korea menonton sebuah acara karena itu dari Korea, melainkan karena bagus. Audiens Kanada juga begitu. Mereka tidak peduli sistem poin atau teknologi di balik layar, mereka hanya ingin melihat diri mereka sendiri. Di Kanada, ini berarti ekspresi nyata dari keberagaman, bukan sekadar catchphrase atau daftar centang, tetapi dukungan agar setiap musisi, penulis, atau kreator memiliki suara yang kuat dan unik. Keberagaman Kanada adalah keuntungan besar yang masih belum dimanfaatkan oleh para gatekeeper. Sudah saatnya menyadari bahwa diaspora dan keberagaman menghubungkan Kanada langsung dengan audiens di seluruh dunia.
Kanada tidak butuh konten yang hambar dan flat. Sebaliknya, harus terus mendorong musik dengan sudut pandang unik dan ikonoklastik. Inti dari keberagaman adalah mengakui bahwa tidak ada satu budaya tunggal, bukan berarti kita tidak punya budaya. Spesifisitas adalah aset terbaik seorang pencerita. Korea Selatan memang tidak sempurna, dengan masalah budaya kerja berlebihan dan sistem label yang bisa eksploitatif. Namun, mereka melakukan hal penting dengan benar: investasi berani, mendorong kecerdasan bisnis swasta, mengubah kebijakan restriktif, dan mengalirkan uang ke infrastruktur. Kanada bisa melakukan semua ini, jika ada kemauan politik. Waktunya sangat krusial, karena DGC memprediksi penurunan US$200 juta untuk program Kanada dalam lima tahun ke depan. Diperlukan dukungan pemerintah yang light touch, lebih banyak koneksi misi dagang, dan insentif yang lugas, bukan jalur rintangan. Ini adalah investasi yang akan terbayar berkali-kali lipat. “Begitu sebuah fandom terbentuk, ia tidak mudah hilang,” kata Profesor Kim. Ini berlaku untuk K-pop, dan bisa jadi, juga untuk identitas nasional Kanada. Kita perlu menjadi penggemar terbesar diri sendiri untuk membawa dunia ikut bersama kita.