Siap-siap, politik kita mungkin akan sedikit lebih… kompleks. Bayangkan sinetron drama perebutan kekuasaan, tapi versi dunia nyata dengan implikasi yang jauh lebih besar dari sekadar siapa yang dapat pacar siapa.
PDI-P dan Prabowo: Sebuah Romansa Politik yang Kontroversial?
Setelah Pemilu 2024, aroma koalisi antara PDI-P dan kubu Prabowo Subianto semakin kuat tercium. Bayangan oposisi yang diharapkan publik seolah lenyap ditelan bumi, digantikan potensi munculnya kartel politik baru. Ngeri, kan? Isu ini seakan membuktikan bahwa kepentingan elite politik lebih diutamakan daripada aspirasi rakyat.
Isu ini sebenarnya bukan barang baru. Setelah sempat mereda, wacana PDI-P merapat ke koalisi Prabowo kembali mencuat. Dikabarkan, Prabowo dan Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, sudah dua kali bertemu. Para politisi dari kedua partai pun intens berdiskusi. Motif Prabowo? Tentu saja, memperkuat posisi politik pemerintahannya.
Gerindra bahkan sudah menyiapkan “pelicin”: sejumlah kursi menteri dan jaminan tidak akan mengusik posisi yang saat ini diduduki Megawati, serta kompensasi lainnya. Saat ini, Megawati menjabat sebagai ketua dewan pengarah di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dua jabatan strategis, lho.
Syarat dan Kondisi: Lebih Rumit dari Skripsi
Tapi, tunggu dulu. Masuk PDI-P ke koalisi Prabowo tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada “syarat dan ketentuan” yang berlaku, alias tuntutan. PDI-P kabarnya meminta Prabowo untuk membebaskan diri dari pengaruh mantan presiden Joko Widodo. Permintaan yang cukup berani, bukan?
Tidak hanya itu, PDI-P juga meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diganti. Alasannya? Ada kekhawatiran bahwa Kepolisian akan digunakan untuk mengganggu Kongres PDI-P ke-VI dan menghalangi Megawati untuk terpilih kembali sebagai ketua umum. Awalnya dijadwalkan bulan lalu, kongres tersebut ditunda hingga Agustus 2025. Hmm, mencurigakan.
Syarat tambahan lainnya? PDI-P menginginkan vonis ringan untuk Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto. Hasto adalah tersangka dalam kasus dugaan suap kepada Wahyu Setiawan, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan atas dugaan menghalangi penyidikan. Selain Hasto, politisi PDI-P lain yang terlibat dalam kasus ini adalah Harun Masiku, yang saat ini masih buron. Jaksa KPK menuntut hukuman penjara tujuh tahun untuk Hasto. Kompleks, kan? Ini baru politik.
Jika semua “syarat dan ketentuan” ini dapat dipenuhi, hanya masalah waktu sebelum PDI-P bergabung dengan partai-partai pendukung Prabowo. Setelah kalah dalam pemilihan presiden 2024, PDI-P sempat menyatakan ingin menjadi oposisi. Tapi, setelah 10 tahun berkuasa, agaknya sulit untuk berlama-lama di luar pemerintahan.
Logistik Politik: Alasan Pragmatis?
Analisis lain menyebutkan bahwa tanpa dukungan pemerintah, PDI-P akan kehilangan kesempatan untuk mengumpulkan dukungan logistik. Dukungan logistik adalah faktor penting dalam mengumpulkan suara pada pemilu 2029. Pragmatisme politik seperti ini telah mengakhiri harapan publik akan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Sedih, tapi inilah realita.
Masuknya PDI-P ke koalisi pemerintah akan mengkonsolidasikan seluruh kekuasaan di tangan Prabowo. Dalam cengkeraman kartel, ideologi partai akan memudar, memberikan lebih banyak peluang untuk pelanggaran. Seperti di masa lalu, partai politik akan berkolusi untuk mengeksploitasi berbagai sumber daya alam negara. Jangan sampai terulang!
Megawati sebaiknya ingat bahwa ketika PDI-P dan Joko Widodo membawa Prabowo dan Gerindra ke dalam koalisinya, hal itu membunuh oposisi dan mengakibatkan kerusakan pada kehidupan politik. Narasi dari koalisi besar ini untuk membangun persatuan nasional hanya memperkuat gejala otoritarianisme Jokowi. Sejarah jangan sampai dilupakan.
Jangan Terjebak Nostalgia!
Rakyat tidak boleh terjebak dalam romantisme picik: gagasan bahwa masuknya PDI-P ke koalisi Prabowo akan menyingkirkan Jokowi dan keluarganya dari panggung politik. Kemarahan terhadap Jokowi—atas akrobat hukumnya yang menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan Prabowo dalam pemilihan presiden 2024—tidak boleh membuat rakyat menerima pembentukan kartel politik Prabowo-Megawati. Pikirkan jangka panjang!
Tidak ada jaminan bahwa pengaruh Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo akan menurun setelah PDI-P bergabung. Alih-alih memaksa satu orang keluar dari sofa untuk memberi ruang bagi teman lain, ia lebih suka memperbesar ukuran sofa untuk menampung semua orang. Semuanya happy, kecuali rakyat?
Jadi, politik telah menjadi tidak lebih dari permainan bagi elite. Partai, dalam pemahaman ideologi dan konsep, telah lama dilupakan. Dan publik akhirnya terpuruk. Miris.
Pada akhirnya, manuver politik ini mengingatkan kita bahwa politik itu dinamis, tapi kepentingan rakyat harus tetap jadi prioritas. Jangan sampai kita cuma jadi penonton sinetron kekuasaan yang skenarionya ditulis oleh para elite.