Hai generasi Z dan para Millennial! Pernah nggak sih lagi liburan, terus dengerin lagu yang catchy banget, bawaannya pengen joget terus? Nah, lagu-lagu kayak gitu biasanya jadi soundtrack liburan yang nggak terlupakan. Tapi, pernah kepikiran nggak kenapa lagu-lagu “aneh” itu bisa jadi hits? Mari kita kulik fenomena unik ini!
Dari Agen Travel ke Europop: Kilas Balik Era 80-an
Dulu, sebelum era online booking, pesan tiket liburan itu ribet banget. Harus ke agen travel, mereka telpon sana-sini, baru deh kita disuruh balik lagi besok. Tapi, di tahun 1982, semua berubah berkat sistem komputerisasi dari Thomson Holidays. Harganya juga jadi lebih fleksibel. Inilah awal mula package tour ala Inggris ke Spanyol, dan tentu saja, soundtrack liburan yang nggak kalah heboh.
Fenomena unik pun muncul: lagu-lagu hits yang dibawa pulang oleh para turis. Banyak artis Eropa tahun 80-an yang cuma punya satu atau dua hits di Inggris, sebelum akhirnya balik lagi ke negara asal atau ketenaran mereka di benua Eropa. Nama-nama seperti Spagna, Sabrina, Modern Talking, Desireless, Baltimora, Opus, dan Nena sempat merajai tangga lagu, sebelum akhirnya jadi soal kuis di pub.
Bagaimana ceritanya lagu-lagu ini bisa meledak? DJ Radio 1, Gary Davies, adalah salah satu sosok penting di balik fenomena ini. Dia sering main ke Marbella dan Ibiza, dimana dia menemukan banyak musik Eropa yang keren. Contohnya, lagu “Bamboléo” dari Gipsy Kings. Dia bawa balik lagu itu, putar di radio, dan reaksinya luar biasa! Akhirnya, Gipsy Kings dapat kontrak rekaman di Inggris.
Bahkan, lagu “Live Is Life” dari Opus, band asal Austria, awalnya cuma ditujukan untuk penonton konser mereka. Gitaris dan penulis lagu Ewald Pfleger pengen bikin lagu yang bisa dinyanyiin bareng-bareng. Liriknya sederhana, melodinya gampang diingat, dan voila! Jadilah anthem yang mendunia di tahun 1985 dan 1986.
“99 Luftballons”: Anti-Perang yang Jadi Party Anthem
Kisah sukses lain datang dari Nena, band asal Berlin Barat. Mereka pengen merilis lagu anti-perang berjudul “99 Luftballons”. Awalnya, label rekaman mereka panik karena lagu itu dianggap nggak komersial. Well, ternyata mereka salah besar! Lagu itu jadi hits besar di Eropa.
Berkat Rodney Bingenheimer dari KROQ di Los Angeles, “99 Luftballons” berhasil menembus pasar Amerika. Christiane F, seorang aktris dan musisi Jerman, membawa album Nena ke acara radionya Rodney. Dia suka banget sama lagu itu dan memutarnya berkali-kali sehari. Stasiun radio lain pun ikut-ikutan, dan sebelum label rekaman sadar, Nena udah masuk tangga lagu di Amerika.
“99 Luftballons” mencapai posisi kedua di Billboard Hot 100 pada Desember 1983. Setahun kemudian, versi bahasa Inggrisnya, “99 Red Balloons”, juga jadi hits besar di Inggris. Meskipun Nena menjadi penyanyi wanita paling sukses dalam sejarah tangga lagu Jerman, “99 Luftballons” tetap menjadi puncak karir mereka di Inggris. Mereka masih sangat muda waktu itu dan tidak memikirkan untuk memanfaatkan kesuksesan itu.
Mengapa Europop Tetap Melekat di Ingatan?
Lagu-lagu Europop seringkali nyangkut di kepala karena keunikannya. Keunikan ini juga yang membuat lagu-lagu tersebut jadi signifier yang kuat, mudah digunakan dalam film untuk menandai waktu dan tempat. “99 Luftballons” muncul di film-film seperti Grosse Pointe Blank, Boogie Nights, The Wedding Singer, Atomic Blonde, dan Despicable Me 3. Bahkan, “Tarzan Boy” dari Baltimora juga sempat jadi soundtrack film.
“Live Is Life” punya kehidupan yang aneh setelah ketenarannya mereda. Lagu ini menjadi anthem di arena olahraga di seluruh dunia. Popularitasnya melonjak lagi setelah YouTube muncul, berkat video Diego Maradona yang main juggling bola mengikuti irama lagu tersebut. Selain itu, band art asal Slovenia, Laibach, membuat reimagining lagu ini menjadi pernyataan martial yang mengerikan, dalam bahasa Inggris dan Jerman.
Nostalgia Hits Liburan: Lebih dari Sekadar Lagu
Laibach mengubah lirik “Live Is Life” menjadi Leben heißt Leben. Menurut mereka, bahasa yang biasa-biasa saja adalah senjata yang ampuh untuk melucuti kata-kata dari perlawanan. Optimisme hampa dari Eurohits lama menawarkan kanvas yang sempurna untuk reinterpretasi, subversi, dan reappropriasi. Lagu-lagu ini tidak pernah benar-benar tentang makna yang berarti. Budaya populer jarang memahami dirinya sendiri. Ketika mereka menafsirkan ulang lagu-lagu ini, mereka hanya membantu lagu-lagu ini menemukan potensi mereka yang lebih dalam, yang seringkali tidak disengaja.
Ewald Pfleger sendiri kurang suka dengan rendering lagu “Live Is Life” oleh Laibach. Menurutnya, versi itu tidak memiliki perasaan positif dan lebih banyak energi buruk.
Dari TikTok Hingga Spotify: Evolusi Hits Liburan
Hits liburan besar juga berkembang pesat di tahun 90-an dan 2000-an. Misalnya, “The Ketchup Song” atau “Macarena”. Tapi lagu-lagu itu jelas direkam sebagai novelties. Sementara di era 80-an, kebanyakan lagu direkam dengan lebih serius. Saat ini, Europop hits berkembang pesat di micro-moments di TikTok. Sementara budaya streaming yang mendunia membuat kita lebih mungkin mendengar Bad Bunny, Sabrina Carpenter, atau tropical house generik di Spanyol atau Yunani, daripada homegrown hit yang dibawa pulang bersama magnet kulkas.
Meskipun begitu, Pfleger dan Nena tetap bangga dengan lagu-lagu yang mengubah hidup mereka selama satu atau dua musim panas. Nena bahkan masih touring sampai sekarang.
Intinya, lagu-lagu Europop itu lebih dari sekadar soundtrack liburan. Mereka adalah bagian dari sejarah, budaya, dan memori kolektif kita. Jadi, lain kali kamu dengerin lagu catchy pas lagi liburan, jangan cuma joget. Coba deh kulik ceritanya, siapa tahu kamu nemu sesuatu yang menarik! Jangan lupa cek juga playlist lagu lawas kami di Spotify, siapa tau ketemu lagu favoritmu yang terlupakan. Cheers!