Dark Mode Light Mode

Kebebasan Pers Terancam, Jurnalis Hadapi Pembatasan Baru di Indonesia

Siap-siap gigit jari, gaes, karena kebebasan pers di Indonesia kayaknya lagi main roller coaster yang bikin pusing tujuh keliling. Antara boleh dan enggak, izin atau enggak izin, bikin para jurnalis asing garuk-garuk kepala. Ibaratnya, lagi mau masak mi instan, eh, airnya tiba-tiba habis. Kan, ngeselin!

Peraturan baru yang mulai berlaku Maret lalu mengharuskan jurnalis asing mengantongi izin polisi untuk meliput di wilayah tertentu. Alasannya sih, biar aman. Tapi, jurnalis pada curiga, jangan-jangan ini cuma trik buat ngebungkam mereka. Nah lho!

Lucunya, setelah aturan itu keluar, polisi malah bilang izinnya enggak wajib. Jadi, gimana dong? Ini nih yang bikin bingung. Kata Kapolri di website resmi Polri, jurnalis asing tetap bisa kerja di Indonesia asal enggak melanggar hukum yang berlaku. Tapi, aturannya sendiri jelas-jelas bilang izin itu wajib!

Ketua Bidang Hukum Dewan Pers, Abdul Manan, bilang statemen polisi itu nggak jelas. Peraturan yang dikeluarkan Maret lalu itu, by definition, wajib hukumnya. Jadi, bukan area abu-abu lagi, tapi area black hole!

Menurut beliau, polisi mungkin nggak langsung nge-gas nerbitin aturan itu. Tapi, ini bisa jadi kartu back up yang bisa dipakai kapan aja mereka butuh. Ya ampun, kayak lagi main monopoli aja pake kartu kesempatan!

Sebelum aturan baru ini muncul, jurnalis asing udah susah payah buat dapat izin meliput di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika punya sistem yang namanya Clearing House, buat koordinasi dan pengawasan. Isinya ada sekitar 18 institusi, termasuk polisi dan BIN.

Buat dapat visa jurnalis, para pelamar harus dapat surat undangan dari pejabat Indonesia dan lolos dari Clearing House. Prosesnya dan standarnya nggak pernah diumumin ke publik. Kadang, prosesnya bisa makan waktu bertahun-tahun.

Aturan baru ini bakal nambah lagi step yang udah ribet, kata seorang jurnalis Australia yang udah lama meliput di Indonesia. Dia nggak mau disebut namanya karena takut nggak boleh balik lagi ke Indonesia. Dia bilang, zaman Presiden Jokowi aja udah susah, sekarang makin susah aja.

Clearing House: Labirin Birokrasi Jurnalis Asing

Jurnalis lepas asal Eropa yang juga nggak mau disebut namanya, bilang proses dapat visa jurnalis itu super kompleks. Saking kompleksnya, dia malah kerja pakai visa turis. Indonesia itu paradoks, susah dapat status jurnalis, tapi sekali udah di sini, gampang banget kontak narasumber, termasuk pejabat.

Meski begitu, dia hindari liputan topik sensitif. Ya, namanya juga cari aman, gaes!

Zona Merah: West Papua dan Topik Sensitif

Jurnalis pada menduga aturan baru ini dibikin buat ngebatasin mereka masuk ke West Papua. Di sana, para aktivis bilang diskriminasi dan pelanggaran HAM udah terjadi puluhan tahun. West Papua punya sumber daya alam yang melimpah, kayak emas, tembaga, dan kayu, serta penghasil sawit yang besar. Aktivis bilang eksploitasinya nggak terkendali.

Jokowi pernah janji tahun 2015 jurnalis boleh masuk West Papua. Tapi, yang coba masuk malah diintimidasi polisi dan militer, bahkan dideportasi. Tahun 2017, enam jurnalis asal Jepang ditangkap dan dideportasi karena bikin film dokumenter tentang dua kelompok masyarakat adat. Jurnalis asing sering dideportasi, tapi jurnalis lokal yang coba masuk ke wilayah tertentu di West Papua sering dapat ancaman fisik dan digital.

Lingkungan juga jadi topik sensitif di Indonesia, juga hak-hak LGBT, kata Andreas Harsono dari Human Rights Watch. Biar peluang dapat visa nggak hilang, jurnalis asing pada nggak liput topik-topik itu.

Intimidasi dan Kekerasan: Bukan Hal Baru

Polisi udah sering ngekang jurnalis lewat kekerasan, kata Erick Tanjung dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lembaga kepolisian bertanggung jawab atas sebagian besar serangan terhadap jurnalis lokal di Indonesia. Puluhan kasus terjadi dalam lima tahun terakhir.

Kembali ke Orde Baru? Potensi Ancaman Kebebasan Pers

Jurnalis bilang aturan baru ini bikin negara ini makin deket sama situasi zaman Presiden Soeharto. Setelah Soeharto jatuh, kata Andreas, era itu jadi era paling terbuka buat pers asing. Tapi, situasinya makin buruk sejak tahun 2004, waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai ngancem jurnalis.

Tahun-tahun belakangan ini makin banyak tantangan. Tahun 2021, polisi sempet ngelarang media nayangin kekerasan polisi, tapi aturannya dicabut nggak sampe dua hari kemudian. Erick berharap hal yang sama terjadi sama aturan baru ini.

Jika aturan itu tetap berlaku, kebebasan pers bakal balik ke level sebelum tahun 1998. "Ini nggak demokratis buat negara yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi," kata Erick, menekankan taruhannya buat masyarakat Indonesia jika jurnalis nggak bisa meliput dengan bebas. "Mata dunia nggak bisa ngeliat apa yang sedang terjadi."

Jadi intinya, gaes, update terbaru ini nggak cuma bikin jurnalis asing bingung, tapi juga nunjukkin betapa pentingnya kita menjaga kebebasan pers di Indonesia. Karena, tanpa pers yang bebas, kita semua bisa kehilangan insight penting tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekitar kita. Dan itu, nggak keren sama sekali!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Bagaimana Aku Jadi Penggemar Benson Boone Alias Seorang Booner

Next Post

Karyawan Lies of P Kecipratan Rejeki Berkat Penjualan Sukses: Bonus, Libur Berbayar, dan Switch 2!