Entah kenapa, gemuruh dan kekacauan musik metal biasanya kurang menarik perhatian saya. Mungkin karena saya lebih suka lagu-lagu yang bisa saya nyanyikan di kamar mandi tanpa bikin tetangga komplain.
Padahal, saya sudah sembilan tahun tinggal di Finlandia, negara dengan density band metal tertinggi di dunia. Walaupun Finlandia telah melahirkan legenda seperti Nightwish dan Children of Bodom, reputasi genre metal yang agresif seringkali terasa seperti ujian ketahanan daripada kenikmatan musikal. Sampai akhirnya, seorang teman memaksa saya mendengarkan sebuah genre bernama blackgaze.
Blackgaze: Ketika Metal Bertemu Mimpi
Beberapa waktu lalu, saya skeptis saat pertama kali mendengar istilah blackgaze. Kemudian saya mendengar album Sunbather (2013) dari Deafheaven, dan tiba-tiba semua yang saya tahu tentang heavy metal berubah total. Musik mereka itu seperti roller coaster emosi, antara ingin headbang dan melamun di pantai.
Deafheaven, band asal San Francisco yang muncul pada tahun 2010, baru saja merilis album keenam mereka, Lonely People with Power. Ini adalah momen yang tepat untuk membahas bagaimana mereka menjadi salah satu paradoks paling menarik dalam musik kontemporer. Bayangkan, band metal yang liriknya bikin baper!
Album terbaru mereka, yang dirilis pada 28 Maret melalui Roadrunner Records, menandai kembalinya mereka ke akar blackgaze, setelah Infinite Granite (2021) yang lebih condong ke shoegaze. (Shoegaze adalah genre di mana suara instrumen dan vokal dibaurkan secara halus; blackgaze menggabungkan ini dengan elemen black metal, sub-genre heavy metal yang lebih agresif). Ini seperti mencampurkan kopi pahit dengan krim manis, aneh tapi enak.
Membedah DNA Musikal Deafheaven: Brutal dan Indah dalam Satu Paket
Daya tarik Deafheaven bukan hanya pada kemampuan teknis mereka – permainan gitar Kerry McCoy benar-benar menakjubkan – tetapi juga pada kecerdasan mereka dalam menggabungkan dua universe musik yang tampaknya tidak kompatibel. Ibarat menyatukan air dan minyak, tapi hasilnya jadi salad dressing yang lezat.
Di satu sisi, ada elemen dasar black metal: vokal George Clarke yang terdengar seperti jeritan dari neraka, blast beats Daniel Tracy yang menghukum, dan gitar tremolo-picked yang menciptakan dinding agresi yang indah. Di sisi lain, ada dunia shoegaze yang melamun di mana melodi mengalir seperti asap, dan emosi menyelimuti pendengar dalam gelombang lembut.
Kejeniusan band ini terletak pada pemahaman bahwa kedua genre ini pada dasarnya tentang menciptakan pengalaman emosional yang luar biasa. Black metal berusaha membanjiri pendengar melalui intensitas; shoegaze melalui imersi. Deafheaven telah menemukan titik temu di mana kedua pendekatan itu bertemu, menciptakan musik yang bisa menghukum dan indah secara bersamaan, seringkali dalam lagu yang sama.
Lonely People with Power juga menampilkan dualitas ini di antara lagu-lagunya. "Magnolia" dan "Revelator" memberikan agresi riff-heavy yang didambakan penggemar metal. "Heathen" dan "The Garden Route" menggabungkan vokal yang lebih bersih dan soundscape melamun yang membuat album seperti Sunbather begitu revolusioner. Musik ini menuntut perhatian pendengar dan menghadiahinya dengan lapisan melodi yang terungkap secara bertahap. Rasanya seperti menyaksikan matahari terbit setelah badai.
Harmoni dalam Kontradiksi: Rahasia Kekuatan Kreatif Deafheaven
Album ini juga diuntungkan oleh ketegangan kreatif di dalam band. Sementara vokalis Clarke dan gitaris McCoy tetap menjadi mitra penulisan lagu inti, pengaruh gitaris Shiv Mehra tidak boleh diremehkan. Mehra, yang juga memimpin proyek sampingan Heaven’s Club bersama drummer Daniel Tracy, membawa sensitivitas melodi tambahan yang membantu menghubungkan impuls eksperimental Deafheaven dengan fondasi metal mereka.
Heaven’s Club, menawarkan sekilas pandang yang menarik ke dalam jangkauan kreatif Mehra; suara mereka lebih condong ke indie rock dan dreampop, yang menunjukkan bagaimana para musisi ini berpikir di luar batasan genre. Mereka tidak takut bereksperimen, seperti koki yang berani mencampurkan bahan-bahan yang tidak lazim.
Awalnya, yang menarik saya pada Deafheaven bukanlah kredensial metal mereka, tetapi kejujuran emosional mereka. Ketika Sunbather menjadi album dengan review terbaik tahun 2013 di Metacritic – pencapaian yang luar biasa untuk album metal apa pun – itu bukan karena mereka telah menyempurnakan formula teknis tertentu. Itu karena mereka telah menemukan cara untuk membuat musik ekstrem terasa benar-benar katarsis daripada hanya agresif.
Album ini membahas tema-tema isolasi, depresi, dan transendensi dengan kecanggihan yang melampaui tropes metal tipikal. Mereka tidak hanya bernyanyi tentang naga dan pedang, tetapi tentang perasaan manusia yang paling dalam.
Memulai Perjalanan Musikal Bersama Deafheaven: Panduan untuk Pendengar Pemula
Kompleksitas emosional ini berlanjut di Lonely People with Power, di mana band ini membahas trauma, cinta, dan pertanyaan eksistensial di 12 lagu yang terasa intim dan epik. Durasi album selama satu jam mungkin tampak menakutkan, tetapi dynamic range band membuat pendengar tetap terlibat; mereka tahu kapan harus mendorong dan kapan harus menarik, kapan harus menyerang dan kapan harus membelai.
Bagi pendatang baru di katalog Deafheaven, tiga album berfungsi sebagai titik masuk penting:
-
Mulailah dengan Sunbather, yang tetap menjadi mahakarya mereka dan album yang pada dasarnya mendefinisikan blackgaze untuk satu generasi. Lagu pembuka "Dream House" adalah encapsulation sempurna selama tujuh menit dari semua yang membuat band ini istimewa.
-
Selanjutnya, coba New Bermuda (2015), yang menyempurnakan pendekatan band, sambil menambahkan elemen metal tradisional.
- Terakhir, beralih ke Infinite Granite (2021), di mana mereka sebagian besar meninggalkan vokal jeritan untuk nyanyian bersih, membuktikan bahwa mereka tidak terikat oleh template apa pun.
Deafheaven: Pelopor Musik Metal yang Mendobrak Batasan Genre
Deafheaven tetap polarisasi: puritan metal terkadang menolak mereka sebagai terlalu mudah diakses, sementara audiens mainstream masih dapat menganggap mereka terlalu abrasif. Mungkin justru itulah mengapa mereka penting. Di era fragmentasi genre yang meningkat, mereka telah menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dengan sebagian besar menolak batasan tersebut. Mereka telah menunjukkan bahwa metal bisa indah tanpa kehilangan kekuatannya, dan bahwa keindahan bisa intens namun lembut.
Lonely People with Power adalah bukti bahwa Deafheaven terus berkembang sambil tetap setia pada visi inti mereka. Ini adalah album yang berfungsi baik apakah Anda seorang metalhead lama atau seseorang seperti saya yang tersandung ke dunia ini melalui rasa ingin tahu daripada kesetiaan. Ini seperti menemukan teman baru yang langsung nyambung, meskipun kalian berasal dari latar belakang yang berbeda.
Dalam lanskap musik yang sering dibagi antara brutal dan indah, Deafheaven menawarkan pengingat bahwa seni yang paling kuat dapat muncul dari merangkul dua ekstrem. Mereka adalah bukti bahwa terkadang, yang paling indah justru lahir dari perpaduan yang tak terduga.
Band black-metal yang bahagia, sebagaimana mereka kadang-kadang disebut, sekali lagi membuktikan bahwa kontradiksi bisa menjadi bentuk ekspresi yang paling jujur. Jadi, jangan takut untuk mencampuradukkan berbagai genre dan eksperimen dalam berkreasi. Siapa tahu, Anda mungkin menemukan sesuatu yang revolusioner.