Popular Now

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Budaya Asli Amerika Dirayakan di Discovery Park 2025

Kekerasan Kongo Timur Goyahkan Damai Mediasi AS

Bayangkan saja, dunia lagi sibuk bikin drama Korea maraton, tiba-tiba muncul berita dari Republik Demokratik Kongo yang dramanya jauh lebih bikin emosi jiwa dan sayangnya, ini bukan fiksi. Di tengah harapan tinggi setelah adanya “perjanjian damai” yang digagas, bahkan disaksikan langsung oleh seorang Presiden dengan rambut keemasan, kenyataannya malah bikin geleng-geleng kepala. Artikel ini akan membongkar kenapa perdamaian ala Hollywood di Kongo, dengan trailer yang menjanjikan, justru berakhir dengan adegan yang jauh dari kata bahagia, dan mengapa angka kematian justru melonjak drastis.

Misteri Pembantaian: Angka-Angka yang Bikin Merinding

Ketika dunia maya masih riuh dengan tren baru, kabar kelam datang dari Kongo timur. Human Rights Watch (HRW) merilis laporan mengejutkan pada hari Rabu, mengungkapkan bahwa kelompok pemberontak M23 yang didukung Rwanda telah membantai 141 penduduk desa pada bulan Juli. Angka ini muncul di tengah optimisme yang sempat membumbung tinggi berkat perundingan damai yang konon didukung langsung oleh Presiden Trump. Ternyata, harapan itu seperti sinyal Wi-Fi di pelosok, kadang ada tapi seringnya nggak stabil.

Organisasi HAM tersebut menemukan bahwa para pemberontak melakukan pembantaian di setidaknya 14 desa di provinsi Kivu Utara, Kongo timur, antara 10 hingga 30 Juli. Serangan-serangan ini secara spesifik menargetkan sebagian besar warga etnis Hutu. Ini semua tampaknya merupakan bagian dari kampanye militer M23 terhadap milisi ekstremis Hutu, Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda, atau FDLR. Sebuah “pertarungan” yang mengorbankan warga sipil tak bersalah.

Skala pembunuhan di Kivu Utara ini kemungkinan besar jauh lebih besar daripada yang dilaporkan oleh Human Rights Watch. HRW hanya mampu mengumpulkan daftar nama-nama yang terbunuh atau dikhawatirkan meninggal dunia. Ini seperti mencoba menghitung bintang di langit malam yang gelap pekat, angkanya pasti lebih banyak dari yang bisa dilihat.

Merujuk pada kampanye bersenjata yang sama, PBB mengumumkan pada awal Agustus bahwa M23 telah menewaskan setidaknya 319 warga desa di Kivu Utara. Angka ini didasarkan pada kesaksian langsung yang dikumpulkan oleh penyelidik hak asasi manusia PBB. Parahnya, tentara Rwanda dilaporkan ikut serta dalam operasi M23, menambah kerumitan konflik yang sudah seperti benang kusut ini.

Akar Konflik: Drama “Orang Ketiga” di Tanah Kaya

Kongo timur, dengan cadangan mineral kritikal yang melimpah ruah, telah menderita konflik bersenjata selama lebih dari tiga dekade. Wilayah ini seperti harta karun yang dikelilingi pagar duri, menarik banyak pihak namun membawa malapetaka. Kekerasan ini berakar pada akibat genosida Rwanda tahun 1994, ketika rezim yang didominasi Hutu runtuh dan jutaan orang — termasuk ekstremis Hutu — melarikan diri ke Kongo. Kedatangan mereka memicu siklus perang dan ketidakstabilan yang terus berlanjut hingga hari ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, dan banyak pemerintah regional sepakat bahwa pemberontakan M23 sekarang beroperasi sebagai kekuatan proksi untuk kepentingan Rwanda. Ini seperti hubungan di mana salah satu pihak diam-diam menarik benang di balik layar. Pemberontakan M23, yang tumbuh dari milisi-milisi yang dipimpin Tutsi sebelumnya di wilayah tersebut, memulai operasi bersenjata besar lagi pada akhir 2021 setelah bertahun-tahun tidak aktif.

Awal tahun ini, kekerasan meningkat secara dramatis, mencapai level yang bikin tegang. Para pejuang M23 dan pasukan Rwanda berhasil merebut dua kota terbesar di Kongo timur, Goma dan Bukavu, dalam serangan kilat. Gerakan cepat ini membuat banyak orang bertanya-tanya, “Apakah ini serangan kilat atau memang sudah direncanakan matang?”

Ultimatum Trump dan Janji Manis di Washington

Dengan ketakutan bahwa M23 mengancam akan menggulingkan pemerintah Kongo dan pecahnya perang regional di Afrika Tengah, pemerintahan Trump menerapkan tekanan berat. Mereka mendesak Kongo dan Rwanda untuk menghentikan pertempuran yang sudah terlalu lama berlangsung. Tekanan ini ibarat ultimatum dari seorang bos besar yang sudah muak dengan drama di kantor.

Pemimpin Kongo dan Rwanda akhirnya menandatangani perjanjian damai pada 27 Juni di Washington. Perjanjian ini mengatur penarikan pasukan Rwanda dari wilayah Kongo, serta pembubaran milisi FDLR oleh pasukan Kongo. FDLR sendiri adalah kelompok yang dianggap Rwanda sebagai ancaman eksistensial, jadi ini seperti janji untuk menyingkirkan ‘musuh bersama’.

Namun, sejak penandatanganan perjanjian itu, praktis tidak ada perubahan berarti di lapangan, di Kongo timur. Situasinya masih sama saja, seperti menunggu update fitur di aplikasi favorit yang tak kunjung datang. Ini ironis, mengingat klaim Presiden Trump yang sering mengatakan sebaliknya. Baru-baru ini, Trump bahkan sempat bercerita di Fox News bahwa ia telah “menyelesaikan perang yang telah berlangsung selama 35 tahun, beberapa di antaranya, dan, Anda tahu, Kongo dan Rwanda, itu 31 tahun. Saya kira, 8 juta orang tewas dengan parang. Banyak kematian akibat parang. Mereka masuk. Parang berayun ke mana-mana. Situasi yang mengerikan. Dan kami menyelesaikannya.” Pernyataan yang lumayan bombastis, mengingat realita di lapangan.

Drama Doha: Ketika Janji Tinggal Janji

Secara terpisah, pemerintah Kongo juga sedang bernegosiasi dengan pemberontak M23. Ini seperti dua drama berbeda yang tayang di saluran terpisah, tapi intinya sama-sama tegang. Pada akhir Juli, kedua belah pihak menandatangani apa yang disebut “deklarasi prinsip” di Doha, ibu kota Qatar. Deklarasi ini dimaksudkan untuk mengarah pada gencatan senjata dan kemudian perjanjian perdamaian permanen.

Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Bentrokan antara M23 dan militer pemerintah Kongo kembali terjadi dalam beberapa minggu terakhir, memicu kekhawatiran bahwa proses perdamaian bisa saja mandek. Rasanya seperti sudah hampir mencapai checkpoint dalam sebuah game, tapi tiba-tiba musuh muncul lagi.

Pada hari Selasa, tentara Kongo menyatakan bahwa M23 melakukan “serangan tanpa henti” terhadap posisinya. Mereka menyebut ini sebagai “pelanggaran mencolok dan disengaja terhadap perjanjian damai Washington dan deklarasi prinsip Doha.” Tuduhan ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kesepakatan di atas kertas dan kekejaman di lapangan.

Perang Kata dan Peluru: Siapa yang Menjadi Korban?

M23, di sisi lain, tidak mau kalah. Mereka menyatakan bahwa tentara Kongo “melakukan serangan sistematis dan kriminal terhadap daerah padat penduduk menggunakan drone kamikaze dan artileri berat.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak merasa menjadi korban dan menuduh satu sama lain melanggar kesepakatan. Ini seperti pertengkaran sepasang kekasih di media sosial, saling melempar tuduhan agar terlihat paling benar.

Kementerian luar negeri Kongo juga menyatakan pada hari Rabu bahwa pembantaian warga sipil di Kivu Utara, seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch dan PBB, “menimbulkan bayangan kelam atas ketulusan dan komitmen para pemangku kepentingan terhadap perjanjian perdamaian Washington dan pembicaraan Doha yang sedang berlangsung.” Pertanyaan besar pun muncul: apakah semua upaya diplomatik ini hanya akan menjadi tinta di atas kertas, sementara darah terus menetes di tanah Kongo? Situasi ini seperti menonton film horor yang terus-menerus memberikan jump scare tanpa ada tanda-tanda akhir bahagia, dan sayangnya, ini adalah kenyataan pahit bagi penduduk Kongo.

Previous Post

Mortal Kombat Legacy: Beban Dua Game Terburuk di Koleksi

Next Post

Playlist ‘F-ck ICE’ Tom Morello Guncang Politik Musik

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *