Kadang, kesederhanaan justru memancarkan kekuatan yang luar biasa. Bono, sang vokalis karismatik U2, membuktikan hal itu lewat "Stories of Surrender," film terbarunya yang tayang di Apple TV+. Bukan konser megah atau dokumenter biasa, ini adalah one-man show yang intim dan jujur, membawa kita menyelami kisah hidup dan musiknya dengan cara yang tak terduga.
Setelah merilis memoarnya yang berjudul "Surrender" pada tahun 2022, Bono menggelar serangkaian pertunjukan promosi di teater-teater kecil di seluruh dunia. Bagi yang ketinggalan momen langka tersebut, jangan khawatir! Film ini menawarkan pengalaman serupa, bahkan mungkin lebih mendalam. Bono menyebutnya sebagai "quarter-man show," sebuah ungkapan jenaka yang merendah, padahal yang disuguhkan jauh dari kata "seperempat."
Film ini bukan sekadar kumpulan cerita atau pertunjukan musik. "Stories of Surrender" adalah perpaduan keduanya, dikemas dengan pencahayaan yang apik, editing yang cermat, dan narasi yang memikat. Alih-alih berfokus pada visual penonton, kamera justru menangkap Bono dari berbagai sudut, seolah kita diajak masuk ke dalam dunianya.
Sejujurnya, memang tak terbayangkan Bono melakukan tur buku biasa. Ingatkah kita dengan panggung U2 yang dulu pernah menampilkan lemon disko raksasa? Pertunjukan ini adalah antitesisnya. Tak ada sesi tanya jawab formal; Bono langsung menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan, tanpa perlu diinterogasi.
"Surrender," buku yang menjadi inspirasi film ini, memang tebalnya 557 halaman, terdiri dari 40 bab (dengan subjudul "40 songs, one story"). Tapi, jangan khawatir, Anda tak perlu membaca bukunya untuk menikmati film ini. Justru, elemen pengurangan inilah yang membuat film ini begitu kuat, menyaring esensi hidup Bono menjadi 90 menit yang padat dan bermakna.
Kekuatan film ini terletak pada jalinan cerita yang saling terkait, melintasi waktu dan dekade. Tentu menjadi tantangan untuk membuat film dari pertunjukan yang ditujukan untuk penggemar setia. Film ini berhasil menjangkau audiens yang lebih luas, bahkan mereka yang mungkin hanya tahu beberapa hits U2.
Bono: Lebih dari Sekadar Vokalis U2
Film ini mengungkap sisi lain Bono. Bukan hanya sebagai vokalis band legendaris, tapi juga sebagai manusia dengan segala kompleksitasnya. Ia menceritakan masa kecilnya di Dublin, kehilangan ibunya di usia muda, dan pertemuannya dengan anggota U2 lainnya. Semua kisah ini diceritakan dengan kejujuran yang menyentuh hati.
Momen terbaik dalam film ini adalah ketika Bono berbicara tentang musik. Entah itu saat ia pertama kali mendengar The Ramones yang mengubah hidupnya, atau saat ia berusaha menjelaskan idenya kepada rekan-rekan bandnya di masa-masa awal U2. Kita bisa merasakan frustrasi dan kegelisahan seorang pemuda yang ingin menciptakan sesuatu yang istimewa.
Musik yang Telanjang: Kekuatan Aransemen Minimalis
Film ini menampilkan sekitar selusin lagu U2, dibawakan dalam versi stripped-down dengan aransemen minimalis. Kate Ellis (cello, vokal latar), Gemma Doherty (harpa, keyboard, vokal latar), dan produser Jacknife Lee (keyboard, perkusi) memberikan warna baru pada lagu-lagu ikonik U2.
Awalnya, mendengar vokal wanita di lagu U2 terasa agak aneh. Tapi, lama kelamaan, justru terasa menyegarkan. Bono sengaja menghindari U2 karaoke dengan mengaransemen ulang lagu-laglagu tersebut. Tujuannya adalah untuk menyoroti esensi lagu dan membuktikan bahwa ia benar-benar bisa bernyanyi, sebuah poin yang kerap menjadi perdebatan sepanjang kariernya.
Memang, beberapa aransemen mungkin tidak sepenuhnya berhasil. Tapi secara keseluruhan, film ini membuktikan bahwa lagu-lagu U2 memiliki kekuatan yang tak lekang oleh waktu, bahkan ketika dibawakan dalam versi minimalis. "Beautiful Day" yang dibawakan di acara ini, jangan jadi contoh ya.
Bukan Springsteen on Broadway, tapi Bono on… Everywhere!
Jika dibandingkan dengan "Springsteen on Broadway," film ini memiliki pendekatan yang berbeda. "Springsteen on Broadway" fokus pada lagu-lagu, sementara "Stories of Surrender" lebih menekankan pada cerita. Lagu-lagu di sini berfungsi sebagai ilustrasi dari kisah yang diceritakan. Selain itu, Bono menekankan bahwa U2 adalah band yang demokratis, di mana setiap anggotanya merasa sebagai pemimpin. Bruce Springsteen tidak perlu menghadapi dilema serupa.
Hitam Putih: Drama dalam Kesederhanaan
Keputusan untuk merekam film ini dalam hitam putih adalah pilihan yang brilian. Warna hitam putih menekankan bahwa ini adalah karya seni, bukan sekadar rekaman pertunjukan. Warna hitam putih juga mengarahkan fokus penonton dan menciptakan drama melalui pencahayaan.
Ayah dan Anak: Sebuah Hubungan yang Kompleks
Benang merah utama dalam film ini adalah hubungan Bono dengan ayahnya, Bob Hewson. Hubungan ayah dan anak yang kompleks adalah tema yang umum dalam sejarah rock and roll. Bono tak menyangkal bahwa ia juga terpengaruh oleh hubungan tersebut. Sosok Bob Hewson selalu hadir dalam cerita Bono, bahkan dalam bentuk kursi kosong di panggung.
Pertanyaan favorit Bob Hewson adalah: "Ada hal aneh atau mengejutkan?" Bono mengenang ayahnya sebagai seorang tenor yang hebat, sementara ia sendiri hanyalah seorang bariton yang berusaha menjadi tenor. Setelah kematian ayahnya, jangkauan vokal Bono tiba-tiba bertambah. "Ketika Anda kehilangan seseorang yang Anda cintai, mereka mewariskan sesuatu kepada Anda, sebuah hadiah," ujar Bono.
Puncaknya, Bono menyanyikan "Torna a Surriento" secara a cappella. Sebuah tantangan, sebuah keberanian, sebuah momen yang mendebarkan. Film ini diakhiri dengan shot Bono bernyanyi di atas panggung, kemudian beralih ke Bono bernyanyi di Teatro San Carlo di Naples, Italia, diiringi standing ovation. Kamera kemudian bergerak ke atas, memperlihatkan pemandangan Teluk Naples dan Sorrento yang menakjubkan. Sungguh klimaks yang memuaskan.
"Stories of Surrender" adalah proof of concept yang kuat untuk "Bono On Broadway" di masa depan. Entah itu sebagai pengisi kekosongan saat U2 hiatus, atau sebagai pilihan karir di saat ia tak lagi ingin tampil di hadapan puluhan ribu penggemar. Yang jelas, "Stories of Surrender" membuktikan bahwa Bono memiliki bakat yang luar biasa, bahkan di luar panggung megah U2.