Kanker: Musuh Bebuyutan yang Semakin Canggih, Tapi Kita Lebih Canggih Lagi
Sel-sel tumor memang jagoan evolusi, cepat menyebar dan bikin kebal obat. Akibatnya? Kanker jadi kambuh, metastasis (penyebaran ke organ lain), dan tingkat kelangsungan hidup pasien merosot. Tapi tenang, kita punya senjata baru: integrasi diagnosis yang akurat (terutama di stadium awal) dengan pengobatan yang tepat sasaran. Deteksi dini itu penting banget, bukan cuma buat pengobatan, tapi juga buat panduan operasi dan memantau penyebaran setelah perawatan.
Selain efek samping yang bikin infeksi luka dan mempercepat metastasis, sisa-sisa lesi tumor juga sering jadi biang kerok kanker kambuh dan menyebar. Kemoterapi? Sering mentok karena resistensi obat (MDR). Nah, belakangan ini, nanomaterial fungsional (fotodinamik, fototermal, enzim-katalis, dan kemokinetik) makin populer. Kenapa? Karena mereka punya kemampuan mengendalikan dan menghabisi tumor dengan efisien, sekaligus menurunkan risiko resistensi obat. Teknologi diagnostik yang sensitif terhadap cahaya juga jadi dasar pengembangan sistem yang biocompatible, menggabungkan diagnosis dan terapi kanker.
PDT: Jurus Ampuh Menggunakan Cahaya
Dibanding operasi, radioterapi, atau kemoterapi, photodynamic therapy (PDT) ini jagoan dalam melenyapkan sel tumor dan bisa dikendalikan saat pelaksanaan. PDT juga berperan meningkatkan respons imun tubuh. Gimana caranya? PDT pakai photosensitizer, zat yang dimasukkan ke tubuh dan diaktifkan dengan cahaya khusus di area tumor. Hasilnya? Muncul reactive oxygen species (ROS) yang bisa membunuh sel tumor. PDT ini minim efek samping ke jaringan normal dan mengurangi penderitaan pasien.
Buat meningkatkan efektivitas photosensitizer sekaligus menggabungkan fungsi diagnosis, nanosistem dengan efek aplikasi yang menjanjikan terus dikembangkan dan dimodifikasi. Biar lebih jelas, kita bandingkan PDT dengan modalitas terapi konvensional:
Terapi | Keuntungan | Tantangan |
---|---|---|
PDT | Eliminasi sel tumor terkontrol, respons imun meningkat | Perlu photosensitizer yang efektif, penetrasi cahaya terbatas, perlu oksigen |
Operasi | Pengangkatan fisik tumor | Risiko infeksi, metastasis, perlu pemulihan |
Radioterapi | Menghancurkan sel tumor dengan radiasi | Kerusakan jaringan sehat, efek samping jangka panjang |
Kemoterapi | Pengobatan sistemik | Resistensi obat, efek samping sistemik, tidak selektif |
Spektrum Cahaya: Rahasia Kedalaman Tumor
Rentang cahaya yang dipakai di PDT biasanya dari biru sampai near-infrared (NIR) (sekitar 1350 nm), tergantung karakter foto photosensitizer. Ini bikin kita bisa memilih dan mengoptimalkan nanosistem dalam berbagai aplikasi pengobatan. Contohnya, untuk tumor yang letaknya lebih dalam, cahaya eksitasi yang ideal adalah jendela biologis near-infrared pertama (NIR-I) (750–1000 nm). Soalnya, jaringan hidup kurang menyerap cahaya laser di rentang ini, jadi energi yang hilang lebih sedikit saat cahaya melewati jaringan normal.
Buat meningkatkan respons photosensitizer tertentu in vivo, pergeseran merah (red-shifting) puncak absorpsi sering dilakukan dengan modifikasi. Misalnya, grup riset kami menerapkan molecular engineering untuk mendapatkan aggregation-induced emission photosensitizers (AIE-PS) dengan pergeseran merah di spektrum absorpsi mereka. Hasilnya? Peningkatan signifikan pada singlet oxygen quantum yield dan efisiensi anti-tumor. Kalau digabung dengan material upconversional, energi bisa dimanfaatkan lebih efisien melalui transfer energi, menghasilkan beberapa metode fototerapi atau imaging. Selama modifikasi atau kombinasi material, mengurangi hamburan foton dan background fluorescence bisa meningkatkan signal-to-noise ratio, mempermudah biomolecular imaging dan diagnosis sel kanker yang akurat.
Cara Kerja Photosensitizer: Dari Cahaya Jadi Senjata
Selama terapi fotosensitif, foton yang mengenai kromofor akan mengalami hamburan, transmisi, atau absorpsi. Foton yang diserap akan mentransfer sebagian energinya ke photosensitizer (PS), yang bertanggung jawab menghasilkan ROS sitotoksik. Di dalam photosensitizer, elektron berpasangan biasanya berada di orbital molekul yang stabil, disebut ground state (S0). Tapi, elektron yang tereksitasi tidak stabil dan akan cepat (dalam sekitar 10−6 detik) mengalami proses konversi internal radiatif dan non-radiatif, kembali ke level energi vibrasi terendah.
Untuk photosensitizer, energi kembali ke ground state melalui fluoresensi, fosforesensi, atau tumbukan dengan lingkungan, menghasilkan ROS yang bisa merusak biomolekul dan mewujudkan PDT melawan sel kanker. Modifikasi photosensitizer bisa meningkatkan efikasi anti-kanker. Misalnya, untuk material yang propertinya berubah saat agregasi, memodifikasi struktur molekul untuk mengubah interaksi intramolekuler bisa mengoptimalkan properti fotodinamik material. Faktor-faktor ini memberikan kemungkinan untuk meningkatkan performa target material. Desain photosensitizer biasanya mengikuti rasional konversi energi cahaya menjadi fluoresensi, fosforesensi, atau ROS.
Jenis-Jenis Photosensitizer: Pilihan Senjata
Saat ini, photosensitizer utama bisa dibagi jadi dua tipe. Tipe I bereaksi dengan biomolekul untuk menghasilkan ROS melalui transfer elektron dan abstraksi hidrogen. Setelah diaktifkan oleh cahaya, photosensitizer ini menghasilkan radikal bebas, termasuk •OH dan anion superoksida (O2•⁻). Spesies yang sangat reaktif ini bisa merusak komponen seluler, seperti lipid, protein, dan asam nukleat. Hasilnya, photosensitizer Tipe I bisa menginduksi sitotoksisitas dan kematian sel, bahkan dalam kondisi hipoksia, menjadikannya agen serbaguna dalam PDT.
Sebaliknya, photosensitizer Tipe II berfungsi dengan mentransfer energi ke oksigen molekuler (O2) untuk menghasilkan ¹O2, bentuk oksigen yang sangat reaktif. Mekanisme ini membutuhkan keberadaan oksigen molekuler dan terjadi saat photosensitizer tereksitasi berinteraksi dengan O2. Oksigen singlet kemudian bisa bereaksi dengan berbagai biomolekul, menyebabkan kerusakan oksidatif dan apoptosis seluler. Photosensitizer Tipe II sangat efektif dalam PDT untuk pengobatan kanker, karena mereka secara spesifik menargetkan jaringan tumor sambil meminimalkan kerusakan pada sel sehat di sekitarnya dengan keberadaan oksigen yang memadai.
Photosensitizer Organik: Dari Porphyrin Sampai BODIPY
Photosensitizer bisa dikembangkan dari nanomaterial organik dan anorganik. Photosensitizer fotodinamik organik yang umum meliputi porfirin, chlorin e6 (Ce6), pewarna Cyanine, dan phthalocyanine. Porfirin adalah molekul pewarna yang punya sistem π konjugasi besar dan terdiri dari empat unit pirol yang dihubungkan oleh jembatan metilen. Karena properti optoelektroniknya yang unik, porfirin dan turunannya bisa bekerja baik dalam aplikasi seperti agen PDT, biological imaging probe, dan pewarna fluoresen near-infrared. Afinitas inheren porfirin untuk sel tumor memungkinkannya terakumulasi secara selektif di sel tumor.
Turunan porfirin juga menunjukkan biokompatibilitas yang baik dan mudah dimodifikasi. Turunan yang mengandung atom berat dan kation menunjukkan hasil spesies oksigen reaktif yang tinggi, membuatnya cocok untuk pengobatan PDT pada tumor. Zinc protoporphyrin IX (ZP) menunjukkan keunggulan kompetitif dalam berikatan dengan Heme oxygenase-1 (HO-1), yang diekspresikan secara tinggi dalam tumor padat dan memiliki fungsi pertahanan antioksidan, sehingga meningkatkan efek PDT. Hematoporphyrin derivative (HPD), dengan komponen efektif utamanya adalah dihematoporphyrin ether atau ester, adalah obat fotodinamik pertama yang disetujui oleh FDA AS pada tahun 1993 untuk pengobatan kanker kandung kemih.
Ce6, Cyanine, dan MB: Generasi Selanjutnya
Penemuan dan studi mendalam terus dilakukan pada pewarna seperti Ce6, pewarna cyanine, dan methylene blue. Peneliti semakin cenderung memilih photosensitizer dengan panjang gelombang absorpsi yang lebih panjang dan material yang mampu melakukan akumulasi selektif. Atas dasar ini, strategi seperti modifikasi bisa menginduksi pergeseran merah pada puncak absorpsi material tanpa memengaruhi atau bahkan meningkatkan kemampuan photosensitizer menghasilkan ROS. Ce6, yang berasal dari klorofil alami, punya koefisien absorpsi inframerah yang signifikan dan fotosensitivitas. Dalam studi klinis dengan sampel 52 orang, injeksi intravena photosensitizer Ce6 menunjukkan tingkat regresi lesi 80,8% dalam pengobatan human papillomavirus (HPV) dan neoplasia intraepitel serviks.
Pewarna cyanine adalah senyawa yang terdiri dari dua unit heterosiklik yang dihubungkan oleh struktur inti rantai polimetin, menunjukkan biokompatibilitas dan properti fluoresensi yang baik. Misalnya, Cyanine dye (C11) mungkin punya potensi menembus sawar darah otak. Turunan antosianin yang dimodifikasi mempertahankan properti fluoresennya sambil menunjukkan potensi untuk pengobatan kanker, dengan modifikasi termasuk halogenasi, penggabungan atom logam, dan lain-lain. Di antara mereka, indocyanine green (ICG) adalah satu-satunya pewarna cyanine yang disetujui oleh FDA. Kerugiannya termasuk hidrofobisitas yang buruk, yang memerlukan tindakan kolaboratif dengan material lain.
Phthalocyanine dan BODIPY: Andalan Baru
Phthalocyanine (Pc) adalah senyawa makrosiklik yang dibentuk oleh kondensasi empat molekul isoindole yang dijembatani oleh atom nitrogen. Strukturnya sangat mirip dengan porfirin yang banyak terdapat di alam. Sistem konjugasi yang luas memberikan absorpsi cahaya yang kuat terutama dalam rentang pita Q near-infrared dari 670 hingga 850 nm, yang sesuai dengan penetrasi jaringan yang relatif baik. Struktur molekul yang beragam dan kemudahan modifikasi, dikombinasikan dengan kemampuan koordinasi yang kuat, memungkinkan pembentukan turunan yang berbeda. Namun, kelemahannya terletak pada kelarutan air yang buruk, yang bisa menyebabkan agregasi dalam media berair.
Methylene blue (MB) adalah senyawa yang digunakan sebagai pewarna, menunjukkan lipofilisitas yang baik. MB menunjukkan aktivitas fotodinamik setelah iradiasi pada panjang gelombang 630–680 nm, menghasilkan spesies oksigen reaktif dan menunjukkan efikasi antikanker in vitro. Boron-dipyrrin (BODIPY) berasal dari struktur induk yang terdiri dari dua cincin pirol yang dihubungkan oleh jembatan metilen dengan cincin beranggotakan enam boron-nitrogen di tengah, membentuk struktur planar konjugasi yang kaku. Modifikasi fungsional inti BODIPY bisa dilakukan untuk menyeimbangkan berbagai propertinya selama aplikasi.
Material Anorganik untuk PDT: Logam Mulia dan Nanomaterial Berbasis Karbon
Photosensitizer fotodinamik anorganik seperti logam mulia, nanomaterial berbasis karbon, dan nanomaterial upconversional, telah menunjukkan potensi besar dalam terapi PDT. Photosensitizer logam memainkan peran penting dalam PDT karena properti fotodinamiknya yang sangat baik, fluoresensi keadaan triplet yang berumur panjang, dan fotostabilitas yang baik. Dengan desain rasional dan modifikasi ligan, kompleks logam baru bisa dibangun sebagai photosensitizer dua foton untuk penelitian antikanker.
Nanomaterial berbasis karbon (CBN), seperti graphene (GE), graphene oxide (GO), carbon dots (C-Dot, CDs), dan carbon nanotubes (CNT), terdiri dari inti yang terbuat dari karbon tergrafitasi dan gugus permukaan polimer. Keuntungan CBN termasuk kelarutan air yang baik, biokompatibilitas, fotoluminesensi yang bisa diatur, fototermal/fotostabilitas yang tinggi, hasil kuantum fotoluminesensi yang tinggi, dan berbagai gugus fungsional yang kaya. Karakteristik ini memberikan CBN fungsionalisasi permukaan dengan properti fotodinamik dan fototermal. Selain menjadi komponen material komposit fototerapi, graphene quantum dot (GQDs) juga sering digunakan dalam cellular imaging, sensing, dan drug delivery karena toksisitas biologisnya yang rendah dan biokompatibilitasnya yang sangat baik.
UCNPs: Mengubah Cahaya Jadi Terapi
Nanomaterial lain dengan properti optik yang unik, upconversion nanoparticles (UCNPs), bisa mengubah dua atau lebih foton berenergi rendah menjadi satu foton berenergi tinggi, mengubah cahaya panjang gelombang menjadi cahaya pendek gelombang. Cahaya pendek gelombang bisa digunakan untuk mengeksitasi photosensitizer yang terletak di tumor dalam. Sifat optik UCNP tidak hanya unik tetapi juga menunjukkan hasil kuantum fluoresensi, stabilitas, dan karakteristik dispersi yang tinggi. Permukaannya kaya akan gugus fungsional umum seperti gugus amino, karboksil, dan hidroksil, yang memberikan potensi yang lebih besar untuk modifikasi permukaan.
Liu dkk. telah merancang nanomotor, UCNPs@mSiO2-Au-Cys, berdasarkan sifat optik UCNP dan teknologi nanomekanik, yang bisa digunakan untuk multimodal imaging tumor dan PTT dan PDT gabungan. Hu dkk. merancang down-/up-conversional nanoparticles (D/UCNPs) (panjang gelombang pada 660, 1060, dan 1550 nm) dengan mengkonjugasikan dual-ligands (responsif terhadap glutathione endogen dan bermuatan doxorubicin)-stabilisasi gold nanoclusters (cgAuNCs). Hal ini secara efektif mencapai ratiometric NIR-II fluorescence imaging dikombinasikan dengan kemo-PDT terhadap tumor setelah terpapar laser 808 nm.
Nanomaterial Fotosensitif dengan Deteksi dan Terapi Ganda
Dengan peningkatan berkelanjutan dalam presisi penargetan nanopartikel, banyak nanomaterial drug-delivery juga menunjukkan efek terapi dan prognosis yang menjanjikan. Dengan menggabungkan nanomaterial dengan properti dan fungsi yang berbeda untuk memanfaatkan keunggulan komplementernya, peningkatan signifikan bisa dicapai; misalnya, penambahan nanopartikel sering meningkatkan efikasi PDT dari photosensitizer yang kurang larut. Selain itu, spesifisitas yang kuat dari material deteksi bertarget yang sebelumnya ditunjukkan bisa digabungkan dengan agen terapi untuk mengoptimalkan efektivitasnya dalam mengendalikan perkembangan tumor sejak dini dan bahkan mencapai eliminasi tumor sambil memfasilitasi pemantauan hasil pengobatan yang tepat waktu.
Beberapa nanomaterial baru telah dikembangkan dengan fungsi ganda untuk deteksi dan terapi, selaras dengan prinsip diagnosis dan pengobatan terintegrasi. Senyawa phthalocyanine, yang memiliki properti fotosensitif, bisa secara efektif menyeimbangkan emisi fluoresensi dengan pembangkitan oksigen singlet. Chow dkk. mengembangkan analog trimer yang digabungkan biotin dari senyawa phthalocyanine, yang diarahkan ke sel tumor HeLa. Senyawa ini dibelah dan diaktifkan oleh glutathione (GSH), yang mengarah pada pembentukan kompleks self-quenching melalui monomer yang dihubungkan disulfida yang masuk ke keadaan fluoresen yang diaktifkan setelah pembelahan, menghasilkan sinyal fluoresensi sambil secara bersamaan menghasilkan oksigen singlet untuk mencapai PDT.
MOFs: Kerangka Organik Logam sebagai Platform Serbaguna
MOF adalah material komposit yang terdiri dari node atau gugus logam yang dihubungkan oleh ikatan koordinat ke komponen organik. MOF dapat meningkatkan kemampuan penargetan tumor, seperti dengan memungkinkan perlekatan molekul penarget dan mengurangi kendala hipoksia dalam PDT. Struktur yang mudah disesuaikan dan kemudahan modifikasi membuat MOF mampu memodulasi karakteristik absorpsi cahayanya untuk meningkatkan performa PTA. Demikian pula, mereka dapat mengubah jalur transfer elektron dalam PDT untuk meningkatkan hasil ROS.
Dalam beberapa tahun terakhir, MOF sering digunakan dalam sintesis nanomaterial, telah muncul sebagai komponen yang menjanjikan untuk membantu photosensitizer tradisional mengatasi keterbatasan mereka, misalnya, dalam mengatasi tantangan kekurangan oksigen yang menghambat kinerja fotodinamik UCNP di lingkungan mikro tumor. Baru-baru ini, Grup Riset kami mengembangkan prodrug multifungsi yang dapat diaktifkan GSH dengan merancang prodrug yang terdiri dari photosensitizer boron-dipyrromethene (BDP) responsif GSH, agen kemoterapi camptothecin (CPT), dan penghubung sensitif ROS. Hasilnya? Kombinasi terapi fotodinamik (PDT) dan efek kemoterapi.
Meningkatkan Efektivitas: Strategi Mengoptimalkan Photosensitizer
Photosensitizer konvensional menunjukkan keterbatasan intrinsik termasuk kendala paparan cahaya, penetrasi difusi terbatas dan penargetan suboptimal, serta masalah terkait dengan efisiensi pembangkitan ROS dan ketergantungan oksigen. Kekurangan ini memerlukan penyempurnaan berkelanjutan melalui proses desain material iteratif. Upaya pengembangan nanomaterial saat ini menunjukkan strategi optimalisasi multifaset yang mengatasi keterbatasan ini. Diantaranya dengan meningkatkan hasil ROS, mengaktifkan material PDT menggunakan sifat hipoksia lingkungan tumor, mengembangkan photosensitizer yang independen dari molekul oksigen, sistem pengiriman bertarget untuk meningkatkan PDT, dan mengoptimalkan aktivitas penargetan ROS.
Menstabilkan Senyawa: Melindungi dari Degradasi
Komponen serum sering menyebabkan disintegrasi material komposit nano, menghasilkan efek off-target, yang memerlukan penambahan komponen pelindung. Misalnya, Grup Riset kami merancang pembawa agen fotodinamik peptida yang merakit sendiri nanostruktur (NSPC) yang terbuat dari turunan phthalocyanine terkonjugasi (MCPZnPc) dan ε-poli-L-lisin (EPL) untuk pengiriman obat kemoterapi (CT).
Masa Depan Pengobatan Kanker dengan Cahaya
Nanomaterial digunakan secara efektif dalam diagnosis dan pengobatan tumor karena properti penetrasi biologisnya yang sangat baik. Namun, karakteristik yang sama ini juga dapat menghasilkan toksisitas biologis tertentu. Saat lebih banyak nanomaterial dimasukkan ke dalam penelitian diagnosis dan pengobatan penyakit, sangat penting bagi para peneliti untuk tidak hanya fokus pada spesifisitas dan fungsionalitas signifikan dari material baru tetapi juga memberikan perhatian khusus pada karakteristik toksikologi yang kurang dieksplorasi dari berbagai material, serta pertimbangan mengenai residu dan metabolisme nanomaterial setelah memasuki tubuh.
Beberapa agen telah disetujui FDA, termasuk aminolevulinic acid (ALA) dan Photofrin, terutama untuk pengobatan kanker kulit dan lesi prakanker. Selain itu, berbagai photosensitizer novel saat ini sedang diselidiki dalam uji klinis, termasuk agen sensitif cahaya merah dan formulasi yang ditingkatkan nanopartikel. Berdasarkan performa tersebut, Grup Riset kami juga merancang serangkaian material photosensitizer dengan performa antibakteri yang baik. Singkatnya, photodynamic therapy memiliki potensi besar dalam berbagai aplikasi. Tantangan utamanya? Mengurangi toksisitas, meningkatkan stabilitas, dan menyederhanakan protokol klinis. Dengan inovasi interdisipliner, kita bisa memperluas penerapan PDT dalam onkologi, pengobatan anti-infeksi, dan pengobatan regeneratif.