Dulu, waktu zaman batu, orang rebutan api. Sekarang? Rebutan streaming musik. Tapi, tunggu dulu, sebelum jari kita otomatis tap ikon Spotify, ada baiknya kita ngobrol serius. Ini bukan soal selera musik, tapi soal etika dan keberlangsungan industri musik itu sendiri. Siap? Let’s dive in!
Spotify: Lebih Dari Sekedar Platform Musik?
Spotify, si raksasa streaming, memang menawarkan kemudahan akses ke jutaan lagu. Tapi, di balik kemudahan itu, tersimpan cerita yang kurang mengenakkan, terutama bagi para musisi. Bayangkan, untuk dapat gaji minimum dari Spotify, seorang musisi harus mendapatkan 350 ribu streams per bulan. Seriously?
Royalty yang (Terus) Dikecilkan
Spotify terus berusaha memangkas royalty rates. Ingat kasus tuntutan hukum terkait mechanical royalty rate? Spotify dan beberapa perusahaan teknologi lain menggugat kenaikan tarif royalti untuk penulis lagu. Selain itu, Spotify juga mereklasifikasi langganan Premium sebagai “layanan bundling” yang mencakup audiobook, yang memungkinkan mereka menerapkan formula royalti yang lebih rendah, sehingga memotong bayaran penulis lagu sebesar 30-40%. Gak lucu, kan?
Dan jangan lupakan kebijakan Spotify yang menyatakan bahwa lagu dengan kurang dari 1.000 streams per tahun tidak akan menghasilkan royalti. Padahal, kebijakan ini diperkirakan telah menghilangkan royalti senilai 45-50 juta dolar AS selama tahun 2024. Intinya? Volume lebih diprioritaskan daripada nilai. Sad but true.
Musik AI dan “Ghost Artist”: Masa Depan Suram Industri Musik?
Pernah dengar band palsu bernama The Velvet Sundown? Mereka berhasil mengumpulkan jutaan pendengar dalam waktu singkat. Ironisnya, Spotify semakin gencar menggunakan musik anonim dan hasil AI (Artificial Intelligence). Mereka punya program internal bernama “Perfect Fit Content” (PFC) yang mengisi playlist populer dengan lagu dari artis palsu atau pseudonymous. Artis hantu ini diproduksi oleh perusahaan musik stock dan menghasilkan margin lebih tinggi bagi Spotify karena menghindari struktur royalti.
Bahkan, lagu AI yang salah dikaitkan dengan artis yang sudah meninggal ditemukan di halaman Spotify resmi mereka. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana platform ini dikelola. Apakah kita mau masa depan musik didominasi oleh konten generik yang dihasilkan oleh algoritma? Think again.
Lebih Dalam Dari Sekedar Uang: Dampak Sosial dan Etika
Markas Spotify ada di Stockholm, Swedia. Ketika serikat pekerja Swedia meminta Spotify menandatangani perjanjian perundingan bersama, yang merupakan bagian dari hukum perburuhan di sana, Spotify menolak. Ketika pengadilan Swedia menolak permintaan Spotify agar insinyur bekerja shift malam (yang melanggar hukum perburuhan Swedia), Daniel Ek dan timnya memindahkan ratusan pekerjaan ke luar negeri. Ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang hak pekerja dan etika bisnis.
Yang terbaru, Daniel Ek, melalui perusahaan investasinya, Prima Materia, memimpin pendanaan sebesar €600 juta untuk perusahaan teknologi militer Jerman yang berspesialisasi dalam drone bertenaga AI, sistem bawah laut, dan software pengambilan keputusan medan perang. Sekarang, Ek menjadi ketua Helsing. Beberapa band mulai menghapus musik mereka dari Spotify, karena menganggap partisipasi dalam akumulasi modal Spotify sama dengan terlibat dalam monetisasi data dan teknologi perang Spotify. Apakah kita mau mendukung perusahaan yang terlibat dalam pengembangan teknologi militer? It’s a moral question.
Alternatif Selain Spotify: Masih Ada Harapan!
Okay, terus gimana dong? Masa’ balik dengerin radio jadul? Tenang, ada beberapa alternatif streaming yang lebih ramah musisi dan lebih beretika.
Streaming yang Lebih Adil: Apple Music dan Tidal
Kalau kamu masih ingin menikmati kemudahan streaming, Apple Music dan Tidal bisa jadi pilihan yang lebih baik. Keduanya membayar lebih tinggi daripada Spotify. Apple Music juga memungkinkan penggunanya mengunggah dan streaming file pribadi yang tidak ada di katalog Apple. Tidal membayar paling tinggi per stream dan bereksperimen dengan pembayaran langsung ke artis. Win-win solution?
Dukung Langsung Artis Favoritmu: Bandcamp dan Ampwall
Buat kamu yang die-hard banget sama musik, Bandcamp dan Ampwall adalah tempat yang tepat untuk mendukung langsung artis favoritmu. Spotify membayar sebagian kecil dari sen, sementara Bandcamp membayar 80%+ dari harga penjualan. Ampwall, yang lebih baru, dikelola oleh artis dan berkomitmen pada monetisasi yang etis. Dengan membeli musik langsung dari Bandcamp atau Ampwall, kamu bisa memastikan bahwa uangmu benar-benar sampai ke tangan artis. No middleman.
Memilih Dengan Hati: Keputusan Ada di Tanganmu
Intinya, menggunakan Spotify sekarang adalah pilihan yang kurang menguntungkan bagi para musisi yang kamu cintai. Solusi yang bisa kamu pilih adalah beralih ke Apple Music atau Tidal, atau mendukung langsung artis favoritmu melalui Bandcamp atau Ampwall.
Pilihan ada di tanganmu. Dengan membuat keputusan yang lebih bijak, kamu bisa berkontribusi pada keberlangsungan industri musik yang lebih adil dan beretika. Jadi, tunggu apa lagi? Berhenti jadi konsumen pasif dan jadilah pendengar cerdas! Because music matters.