Pernahkah kamu merasa nostalgia itu seperti playlist di Spotify yang selalu bikin baper? Apalagi kalau playlist itu berisi lagu-lagu dari band idola masa remaja. Nah, siap-siap karena Pulp, band Britpop legendaris, baru saja merilis album baru setelah 24 tahun lamanya! Kita bahas tuntas kenapa comeback ini begitu menggemparkan dan apa yang bisa kita harapkan dari More.
Pulp Kembali: Lebih dari Sekadar Nostalgia?
Pulp, bagi banyak pencinta musik indie, bukan sekadar band. Mereka adalah bagian dari soundtrack kehidupan, menemani hari-hari penuh semangat hingga malam-malam melankolis. Kembalinya mereka dengan album More tentu menjadi kabar yang sangat dinantikan. Pertanyaannya, apakah album ini mampu memenuhi ekspektasi para penggemar setia dan menarik perhatian generasi baru?
Setelah vakum panjang dan reuni tur yang sukses, muncul pertanyaan, apakah Pulp masih relevan? Apakah musik mereka masih bisa relate dengan kehidupan sekarang? Apalagi, dunia musik sudah berubah drastis sejak album terakhir mereka. Jawabannya mungkin ada di pendekatan Jarvis Cocker, sang vokalis, yang selalu berusaha jujur dan relevan dengan pengalaman hidupnya.
Dari Sheffield ke Dunia: Perjalanan Panjang Pulp
Pulp mengawali perjalanan mereka di Sheffield, Inggris, pada akhir tahun 70-an. Band ini mengalami berbagai perubahan formasi dan gaya musik sebelum akhirnya menemukan formula yang pas di era Britpop. Album-album seperti His ‘n' Hers dan Different Class sukses besar dan melambungkan nama mereka di kancah musik internasional. Lagu-lagu seperti "Common People" dan "Disco 2000" menjadi anthem bagi generasi mereka.
Kesuksesan Pulp tidak lepas dari lirik-lirik cerdas dan observasi sosial yang tajam dari Jarvis Cocker. Ia mampu menangkap kegelisahan, kebingungan, dan euforia kehidupan remaja dengan cara yang sangat jujur dan relatable. Musik mereka bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga refleksi dari realitas. Mungkin itulah yang membuat lagu-lagu Pulp tetap relevan hingga kini.
Setelah album We Love Life pada tahun 2001, Pulp memutuskan untuk vakum. Masing-masing personel fokus pada proyek solo dan kehidupan pribadi. Namun, kerinduan para penggemar akan musik mereka tidak pernah padam. Reuni tur yang mereka lakukan di tahun-tahun berikutnya selalu disambut dengan antusiasme yang luar biasa.
Kehilangan Steve Mackey, sang bassist, pada tahun 2023 menjadi pukulan berat bagi Pulp. Namun, di saat yang sama, kejadian ini juga memacu mereka untuk berkarya lagi. Jarvis Cocker mengatakan bahwa kepergian Steve menyadarkannya tentang pentingnya memanfaatkan waktu yang ada untuk menciptakan sesuatu yang berarti.
"More": Album Baru yang Lebih Dewasa dan Jujur
Album More menandai kembalinya Pulp setelah penantian panjang. Proses pembuatannya ternyata cukup unik. Mereka mulai dengan menulis lirik terlebih dahulu, baru kemudian menciptakan musiknya. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pesan yang ingin disampaikan. Album ini terasa lebih personal dan reflektif dibandingkan album-album sebelumnya.
Salah satu lagu yang mencuri perhatian adalah "My Sex". Lagu ini membahas tentang seksualitas dari sudut pandang yang lebih dewasa dan introspektif. Jarvis Cocker mengaku bahwa pandangannya tentang seksualitas banyak dipengaruhi oleh percakapan dengan perempuan. Ia mencoba untuk memahami perspektif perempuan dalam hubungan dan menantang stereotip-stereotip maskulinitas.
Album More bukan hanya sekadar nostalgia. Album ini menunjukkan bahwa Pulp mampu berevolusi dan tetap relevan dengan perkembangan zaman. Mereka tidak terjebak dalam nostalgia masa lalu, tapi justru mencoba untuk melihat dunia dari perspektif yang baru dan lebih dewasa. Lirik-liriknya tetap cerdas dan observatif, namun dengan sentuhan pengalaman hidup yang lebih mendalam.
Proses kreatif di balik More juga terasa lebih organik dan spontan. Jarvis Cocker menceritakan bahwa chemistry antara para personel Pulp masih sangat kuat, bahkan setelah bertahun-tahun tidak bekerja sama. Mereka merasa seperti menjadi satu organisme yang saling melengkapi dan menghasilkan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sendiri-sendiri.
Britpop Never Dies: Relevansi Pulp di Era Sekarang
Fenomena kembalinya band-band Britpop seperti Pulp, Oasis, Supergrass, dan Suede menunjukkan bahwa ada kerinduan akan musik yang jujur, cerdas, dan relatable. Britpop bukan hanya sekadar genre musik, tapi juga representasi dari semangat independen dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Jarvis Cocker sendiri tidak terlalu suka dengan istilah "Britpop". Ia merasa bahwa istilah tersebut terlalu membatasi dan tidak mampu menangkap esensi dari musik mereka. Namun, ia mengakui bahwa era Britpop adalah masa yang exciting, di mana band-band indie mulai mendapatkan perhatian dari mainstream.
Pulp punya daya tarik lintas generasi. Musik mereka tidak hanya dinikmati oleh mereka yang tumbuh besar di era 90-an, tapi juga oleh generasi muda yang baru mengenal mereka. Mungkin karena lirik-lirik mereka tetap relevan dengan pengalaman hidup remaja, meskipun disampaikan dari sudut pandang yang lebih dewasa.
Bagi Jarvis Cocker, musik lebih dari sekadar hiburan. Musik adalah cara untuk memahami dunia, mengekspresikan diri, dan menjalin koneksi dengan orang lain. Ia selalu berusaha untuk menulis lagu-lagu yang jujur dan relatable, bahkan jika itu berarti harus menantang norma-norma yang ada.
Jadi, apakah Pulp akan merilis album lagi setelah More? Jawabannya masih menjadi misteri. Namun, yang pasti, mereka tidak ingin memaksakan diri atau membuat janji-janji yang tidak bisa mereka tepati. Mereka hanya ingin terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi para penggemar mereka. Seperti yang tertulis di sampul album More: "This is the best that we can do."
Kembalinya Pulp bukan hanya tentang nostalgia, tetapi juga tentang evolusi, relevansi, dan kekuatan musik untuk menghubungkan kita dengan pengalaman hidup yang universal. Album More adalah bukti bahwa Pulp masih punya banyak hal untuk dikatakan dan ditawarkan kepada dunia. Siap untuk manggung bareng mereka?