Jurnalisme itu Kadang Pedas, Kadang… Kepala Babi?
Francisca Christy Rosana, atau Cica bagi rekan-rekannya di Tempo, baru-baru ini dianugerahi Udin Award 2025 oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penghargaan ini, yang namanya diambil dari seorang jurnalis yang tewas karena pekerjaannya, adalah pengingat pahit bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menjadi barang yang harus terus diperjuangkan. Seremoni penganugerahannya sendiri berlangsung di Gedung Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta Pusat.
Yang menarik, dalam pidato penerimaannya yang disampaikan secara telekonferensi, Cica berterima kasih kepada Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi. Lho, kok bisa? Ternyata, terima kasih ini diberikan karena Hasan Nasbi sebelumnya memberikan saran yang cukup… kontroversial terkait teror kepala babi yang dikirimkan ke kantor Tempo. Bayangkan, lagi serius kerja, eh, malah dapat “kiriman” yang bikin auto-merinding!
Inti dari ucapan terima kasih Cica adalah bahwa saran Hasan Nasbi justru menarik perhatian internasional terhadap kasus teror yang dialami jurnalis di Indonesia. Bisa dibilang, efeknya seperti bola salju yang menggelinding, makin lama makin besar. Tapi, apakah benar saran itu pantas dilontarkan oleh seorang pejabat publik?
Kontroversi Kepala Babi: Antara Humor dan Ancaman
Dua hari setelah insiden kepala babi itu, Hasan Nasbi dengan santainya menyarankan agar Cica memasaknya saja. Alasannya? Karena Cica menanggapi teror tersebut dengan bercanda di media sosial. Reaksi spontan memang kadang bisa menutupi rasa takut, kan?
“Saya lihat Cica di media sosial. Dia minta daging babi. Berarti dia tidak terancam. Dia bisa bercanda. Kirim babi, silakan,” ujar Hasan pada tanggal 21 Maret 2025. Mungkin maksudnya mencoba meredakan suasana, tapi jadinya malah… ya, begitulah.
Menurut Nasbi, insiden ini adalah masalah pribadi antara Tempo dan pihak lain, dan pemerintah tidak ingin ikut campur. Klasik! “Kami tidak tahu soal ini. Itu masalah mereka dengan siapa pun itu. Saya tidak tahu siapa yang mengirim. Saya tidak bisa mengomentari apa pun,” tambahnya. Disclaimer seolah-olah tak tahu-menahu, padahal publik menanti solusi.
Hasan juga mempertanyakan keseriusan ancaman tersebut, menanyakan apakah itu ancaman sungguhan atau hanya lelucon, karena tim redaksi Tempo menanggapinya dengan humor. “Apakah itu benar atau hanya lelucon? Karena mereka menanggapinya dengan lelucon,” katanya. Mungkin dia lupa, dark jokes itu lahir dari keputusasaan, Pak.
Dia juga mendesak agar kasus teror tersebut tidak dibesar-besarkan, menekankan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto menjamin kebebasan pers. “Pemerintah sama sekali tidak mencampuri produksi berita. Pemerintah hanya mengoreksi jika media salah paham. Kami koreksi. Jika media menulis pernyataan yang tidak benar, kami koreksi,” jelasnya. Koreksi, sih, boleh, tapi jangan sampai membungkam, ya.
Udin Award: Penghargaan yang Pahit Manis
Menerima Udin Award, bagi Cica, adalah momen yang campur aduk. “Menerima Udin Award itu mengharukan sekaligus menyedihkan. Keberadaan Udin Award yang terus ada menandakan bahwa kebebasan pers di Indonesia belum sepenuhnya merdeka dan masih jauh dari yang diharapkan,” tuturnya. Sebuah pernyataan yang to the point, tanpa basa-basi.
Dewan juri menyoroti bagaimana teror yang dialami Cica, termasuk ancaman kepala babi, tikus mati, dan serangan digital, meninggalkan kesan mendalam. Apalagi di tengah meningkatnya atmosfer militerisme yang mengancam kebebasan pers. Digital attack? Serem banget, kayak film hacker!
“Ini bukan hanya tentang ketahanan terhadap gelombang teror yang besar, tetapi juga tentang komitmen mereka yang tak tergoyahkan terhadap jurnalisme,” kata Herlambang Wiratraman, salah satu juri. Intinya, Cica dan Tempo tetap teguh pada prinsip jurnalistik mereka, meski diteror sana-sini. Respect!
Ironi Kebebasan Pers di Era Digital: Teror Gaya Baru
Ancaman terhadap jurnalisme kini tidak hanya datang dalam bentuk fisik. Serangan digital, doxing, dan kampanye disinformasi menjadi senjata baru untuk membungkam suara kritis. Ironisnya, kemajuan teknologi yang seharusnya mempermudah akses informasi justru digunakan untuk mengintimidasi dan menekan kebebasan berpendapat. Ini PR besar buat kita semua.
Masyarakat perlu lebih cerdas dalam menyaring informasi dan melawan hoaks. Jurnalisme berkualitas, yang diverifikasi dan berimbang, menjadi semakin penting di era digital. Dukung media yang kredibel, dan jangan mudah percaya dengan berita yang sumbernya nggak jelas.
Kritik dan Tanggung Jawab Media: Lebih dari Sekadar Berita
Media juga perlu terus berbenah diri. Kritisisme yang membangun, verifikasi fakta yang ketat, dan pelaporan yang berimbang adalah kunci untuk mempertahankan kepercayaan publik. Ingat, great power comes with great responsibility. Kekuatan media untuk membentuk opini publik harus diimbangi dengan tanggung jawab yang besar. Jangan sampai jadi alat propaganda.
Peran Pemerintah: Fasilitasi, Bukan Intervensi
Pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator bagi kebebasan pers, bukan sebagai pihak yang melakukan intervensi. Regulasi yang dibuat harus melindungi jurnalis dari ancaman dan kekerasan, serta menjamin akses informasi yang seluas-luasnya. Jangan sampai regulasi malah jadi alat untuk membungkam kritik.
Masa Depan Jurnalisme: Kolaborasi dan Inovasi
Masa depan jurnalisme membutuhkan kolaborasi dan inovasi. Media harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, mencari model bisnis yang berkelanjutan, dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk menghasilkan jurnalisme yang berkualitas. Jangan sampai ketinggalan zaman!
Mari Jaga Kebebasan Pers: Suara Demokrasi
Kebebasan pers adalah salah satu pilar penting demokrasi. Tanpa pers yang bebas, masyarakat tidak akan mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga sulit untuk membuat keputusan yang tepat. Mari kita jaga kebebasan pers, karena kebebasan pers adalah kebebasan kita semua.
Udin Award: Pengingat Bahwa Perjuangan Belum Selesai
Udin Award adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia masih panjang. Kasus Cica hanyalah satu contoh dari berbagai ancaman yang dihadapi jurnalis setiap hari. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendukung jurnalisme berkualitas dan melawan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap pers. Jangan biarkan suara kebenaran dibungkam!