Jadi Generasi Kita Bebas Miskin Ekstrem? Cek Faktanya!
Angka kemiskinan ekstrem di Indonesia terus menjadi sorotan utama. Pemerintah terus berupaya menekan angka ini serendah mungkin, bahkan menargetkan angka nol persen di masa depan. Namun, realitanya tidak sesederhana caption di media sosial.
Kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem, bukan hanya sekadar angka. Ia mencerminkan realita pahit yang dialami jutaan saudara kita. Ini adalah isu kompleks yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, hingga peluang ekonomi yang setara. Ibaratnya, ini bukan soal “tinggal bilang aja”, tapi soal kerja keras dan solusi berkelanjutan.
Definisi kemiskinan ekstrem sendiri menjadi perdebatan menarik. Bank Dunia, misalnya, punya standar yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Standar ini memengaruhi angka yang dilaporkan, dan bisa membuat kita bingung sendiri.
Turun Drastis? Angka Kemiskinan Ekstrem Terbaru Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Maret 2025, angka kemiskinan ekstrem di Indonesia turun menjadi 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta jiwa. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan September 2024 yang mencapai 0,99 persen (2,78 juta jiwa), dan Maret 2024 yang mencapai 1,26 persen (3,56 juta jiwa). Kabar baik, kan? Tapi tunggu dulu…
Menurut Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, penurunan ini cukup signifikan. “Terjadi penurunan sebanyak 0,40 juta jiwa dibandingkan September 2024, dan 1,18 juta jiwa dibandingkan Maret 2024,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta Pusat. Penurunan ini tentu patut diapresiasi, tetapi kita perlu melihatnya lebih dalam.
Perhitungan kemiskinan ekstrem ini didasarkan pada standar Bank Dunia tahun 2017, yaitu menggunakan purchasing power parity (PPP) sebesar US$2,15 per hari. PPP adalah metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nah, di sinilah letak permasalahannya.
Standar Ganda? Perbandingan dengan Standar Bank Dunia
Data yang dirilis BPS menggunakan standar lama Bank Dunia. Sementara itu, Bank Dunia sendiri telah merevisi standar garis kemiskinan internasional menjadi US$3,00 PPP per hari pada tahun 2021. Double standars, bukan?
Jika kita menggunakan standar baru Bank Dunia, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia pada September 2024 melonjak menjadi 15,42 juta jiwa (5,5 persen). Bandingkan dengan angka 3,56 juta jiwa (1,26 persen) jika menggunakan standar lama. Perbedaannya sangat mencolok! Hal ini bisa memengaruhi cara kita memandang dan menangani masalah kemiskinan ini.
BPS sendiri beralasan tetap menggunakan standar lama demi kesinambungan dan keselarasan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. RPJMN masih mengacu pada standar US$2,15 PPP per kapita per hari. Alasan yang masuk akal, tapi tetap menimbulkan pertanyaan: kapan kita move on ke standar yang lebih up-to-date?
Kemiskinan Secara Keseluruhan: Masih Jadi PR Besar
Selain kemiskinan ekstrem, BPS juga mencatat angka kemiskinan secara keseluruhan pada Maret 2025 sebesar 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa. Angka ini juga mengalami penurunan sebesar 0,20 juta jiwa atau 0,10 poin persentase dibandingkan September 2024 yang mencapai 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 dikumpulkan pada Februari 2025, karena Maret bertepatan dengan bulan Ramadan. Survei ini melibatkan 345.000 rumah tangga di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Jangkauan survei yang luas ini diharapkan memberikan gambaran yang akurat tentang kondisi kemiskinan di Indonesia.
Solusi Jitu? Strategi Mengatasi Kemiskinan yang Efektif
Lantas, bagaimana cara kita mengatasi kemiskinan ekstrem dan kemiskinan secara keseluruhan secara efektif? Tentunya tidak cukup hanya dengan bantuan sosial yang sifatnya sementara. Dibutuhkan strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.
- Peningkatan Akses Pendidikan dan Keterampilan: Memberikan akses pendidikan yang berkualitas dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Ini adalah investasi jangka panjang yang akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
- Penciptaan Lapangan Kerja yang Layak: Mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan menciptakan lapangan kerja yang layak dengan upah yang memadai. UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) perlu didukung agar bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja.
- Perbaikan Infrastruktur: Memperbaiki infrastruktur di daerah-daerah terpencil dan tertinggal, seperti jalan, jembatan, listrik, dan air bersih. Infrastruktur yang memadai akan membuka akses ke pasar dan meningkatkan produktivitas.
- Penguatan Jaminan Sosial: Memperkuat program jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), untuk melindungi masyarakat rentan dari risiko kemiskinan.
- Pemberdayaan Masyarakat: Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan rasa memiliki dan keberlanjutan program.
Optimisme vs Realita: Menuju Indonesia Bebas Miskin?
Melihat data dan fakta yang ada, kita bisa sedikit bernapas lega karena ada penurunan angka kemiskinan. Namun, kita juga tidak boleh terlena dan menganggap masalah ini sudah selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Perbedaan standar kemiskinan yang digunakan BPS dan Bank Dunia menunjukkan bahwa kita perlu lebih transparan dan konsisten dalam mengukur kemiskinan. Penggunaan standar yang lebih up-to-date akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi kemiskinan di Indonesia.
Apakah kita bisa mencapai Indonesia bebas miskin ekstrem? Mungkin saja. Tapi, itu membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, hingga masyarakat. Kita, generasi Z dan milenial, juga punya peran penting dalam mewujudkan mimpi ini. Dengan ide-ide kreatif, semangat inovasi, dan kepedulian sosial, kita bisa menjadi agen perubahan yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.