Siapa bilang politik itu membosankan? Coba deh, kita bedah sedikit fenomena yang baru-baru ini jadi topik hangat: era kepemimpinan Pak Jokowi. Dulu, banyak yang berharap beliau bisa jadi angin segar, tapi setelah 10 tahun berkuasa, muncul berbagai opini. Ada yang bilang ekonominya lumayan maju, tapi ada juga yang merasa demokrasi kita jadi agak kurang “greget.” Nah, lho!
Jokowi: Dari Tukang Mebel Jadi Nahkoda Negara?
Dulu, sebelum jadi presiden, Pak Jokowi ini dikenal sebagai pengusaha mebel dari Solo. Bayangkan, dari bikin kursi dan meja, tiba-tiba harus memimpin negara dengan segala kompleksitasnya. Ibaratnya, dari main game simulasi bisnis, langsung masuk ke dunia nyata dengan segala dramanya.
Kemunculannya sebagai sosok “orang biasa” yang tidak punya koneksi kuat ke elite politik menjadi daya tarik tersendiri. Masyarakat merasa punya harapan baru, sosok yang benar-benar mengerti permasalahan rakyat kecil. Tapi, perjalanan tidak selalu mulus, kan?
Sayangnya, setelah masa jabatannya berakhir, ada beberapa pengamat yang bilang ekonomi kita masih rapuh, dan sistem politik kita mulai menunjukkan tanda-tanda kembalinya gaya “orde baru” yang dulu sempat kita tinggalkan. Hmm, kok bisa ya?
Semua ini dibahas tuntas dalam buku berjudul “The Jokowi Presidency: Indonesia’s Decade of Authoritarian Revival”. Buku ini hasil kolaborasi para ahli dari berbagai bidang, mulai dari politik luar negeri, keamanan, ekonomi, hukum, sampai hak asasi manusia. Mereka mencoba menganalisis bagaimana political evolution Pak Jokowi memengaruhi Indonesia.
Dalam sebuah acara yang diadakan oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies), salah satu penulis buku ini, Sana Jaffrey, menyebut Pak Jokowi sebagai “presiden yang disruptif”. Agenda pembangunan yang ambisius ternyata punya konsekuensi terhadap demokrasi kita. Apakah ini sebuah trade-off yang sepadan?
Menurut Jaffrey, ada indikasi penggunaan paksaan terhadap kritikus dan sekutu, sentralisasi kekuasaan negara yang mengingatkan kita pada era Soeharto, dan pembongkaran sistematis mekanisme akuntabilitas. Katanya, semua ini awalnya demi mewujudkan visi ekonomi Pak Jokowi, tapi ujung-ujungnya malah terkesan untuk mengejar kekuasaan pribadi. Wah, jadi makin seru nih!
Ekonomi Maju, Demokrasi Mundur? Sebuah Dilema Ala Indonesia
Pertumbuhan ekonomi memang jadi salah satu fokus utama pemerintahan Jokowi. Infrastruktur dibangun di mana-mana, dari jalan tol sampai bandara baru. Investasi juga digenjot habis-habisan. Tapi, apakah pembangunan fisik ini sejalan dengan pembangunan kualitas demokrasi kita?
Di satu sisi, kita lihat pembangunan infrastruktur yang masif membuka lapangan kerja dan meningkatkan konektivitas antar daerah. Di sisi lain, ada kekhawatiran tentang kerusakan lingkungan dan penggusuran lahan masyarakat adat. Pembangunan memang butuh pengorbanan, tapi pertanyaannya, siapa yang paling banyak berkorban?
Selain itu, ada juga isu tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mulai dibatasi. Kritikan terhadap pemerintah seringkali dianggap sebagai ancaman, dan para aktivis serta jurnalis rentan jadi sasaran. Duh, jadi kayak lagi nonton film action deh, tegang!
Kita juga nggak bisa menutup mata terhadap isu korupsi yang masih merajalela. Meskipun ada upaya pemberantasan korupsi, tapi kasus-kasus besar masih terus bermunculan. Korupsi ini seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan, selalu ada celah untuk melakukan tindakan curang.
Efek Jokowi: Warisan yang Kontroversial
Salah satu warisan yang paling kontroversial dari era Jokowi adalah revisi Undang-Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Banyak yang berpendapat bahwa revisi ini justru melemahkan KPK dan membuat lembaga anti-rasuah ini jadi kurang efektif dalam memberantas korupsi. Jadi kayak macan ompong, deh!
Selain itu, ada juga kontroversi seputar Omnibus Law Cipta Kerja. Undang-undang ini bertujuan untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja, tapi banyak dikritik karena dianggap merugikan buruh dan lingkungan. Omnibus Law ini seperti pedang bermata dua, bisa mendatangkan keuntungan, tapi juga bisa melukai banyak pihak.
Isu dinasti politik juga semakin menguat di era Jokowi. Anak dan menantu beliau terjun ke dunia politik dan berhasil menduduki jabatan strategis. Ini menimbulkan pertanyaan tentang netralitas dan transparansi dalam proses pemilihan umum. Apakah ini cuma kebetulan, atau ada agenda tersembunyi?
Lalu, Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kepemimpinan Jokowi memang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, ada kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang patut diapresiasi. Di sisi lain, ada juga kemunduran dalam hal demokrasi dan kebebasan sipil yang perlu kita waspadai.
Kita harus belajar dari pengalaman ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Kita harus memastikan bahwa pembangunan ekonomi sejalan dengan pembangunan kualitas demokrasi. Kita juga harus menjaga kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta memperkuat lembaga-lembaga negara yang independen.
Sebagai generasi Z dan milenial, kita punya peran penting dalam menjaga demokrasi kita. Kita harus aktif mengkritisi kebijakan pemerintah, mengawasi jalannya pemerintahan, dan ikut serta dalam proses politik. Jangan apatis, karena masa depan bangsa ada di tangan kita!
Ingat, politik itu bukan cuma urusan orang tua atau para elite politik. Politik itu urusan kita semua. Jadi, mari kita melek politik dan ikut berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik. Siap jadi agen perubahan?