Terjebak di Antara Nada: Mengupas Tuntas Kekurangan Biografi Talking Heads
Pernah merasa seperti sedang menonton konser yang sound systemnya kurang oke? Nah, begitulah kira-kira sensasi setelah membaca biografi Talking Heads terbaru, "Burning Down the House" karya Jonathan Gould. Kita semua tahu Talking Heads adalah band ikonik yang mengubah lanskap musik rock, tapi sayang, buku ini terasa kurang menggigit dan meninggalkan rasa penasaran yang tak terjawab. Ibarat pizza tanpa topping, ada yang kurang!
Dari Rhode Island ke CBGB: Kisah Awal yang Kita Semua Tahu
Kisah awal Talking Heads sudah seperti lagu yang sering diputar di radio. Tiga dari empat anggota, David Byrne, Chris Frantz, dan Tina Weymouth, bertemu di Rhode Island School of Design (RISD). Mereka adalah anak-anak seni yang mencari jati diri, dengan Byrne sebagai sosok socially awkward yang bereksperimen dengan fotografi dan band cover. Frantz, sang drummer, mengajak Byrne bergabung, dan Weymouth, pacar Frantz, mengisi posisi bass. Kemudian datanglah Jerry Harrison, melengkapi formasi klasik Talking Heads yang kita kenal dan cintai.
Mereka bukan band yang suka nge-jam ala-ala, tapi lebih ke avant-garde. Lagu pertama mereka yang lumayan, versi shambolic dari "Psycho Killer", bahkan menampilkan Weymouth dengan French recitatif yang ikonik. Kehadiran mereka di kancah musik New York, khususnya di CBGB, menjadi momen penting dalam sejarah punk rock.
Keajaiban Loft di Chrystie Street dan Pengaruh Jonathan Richman
Oktober 1974, Frantz menyewa sebuah loft luas di Chrystie Street, East Village. Tanpa disadari, tempat itu menjadi ruang latihan sakral bagi Talking Heads. Lokasinya yang dekat dengan CBGB juga menjadi keuntungan tersendiri, memungkinkan mereka untuk mengasah kemampuan panggung di tengah revolusi punk New York.
Di Maret 1975, Byrne, Weymouth, dan Frantz menyaksikan penampilan Jonathan Richman and the Modern Lovers di The Kitchen, sebuah ruang seni kolektif di Soho. Pengalaman itu mengubah cara pandang mereka terhadap musik. Richman, dengan gaya berpakaian yang mungkin dicemooh di sekolah, mempengaruhi tampilan preppy dan gaya vokal Byrne yang khas.
Kolaborasi Brian Eno dan Retaknya Persahabatan
Kontrak dengan Sire, label milik Seymour Stein, dan kolaborasi dengan produser Brian Eno membawa Talking Heads ke level yang lebih tinggi. Album kedua mereka, "More Songs About Buildings and Food", menjadi titik balik. Namun, kolaborasi Eno semakin intensif di album "Remain in Light" (1980), bahkan sampai menulis lagu bersama Byrne. Hal ini menciptakan gesekan internal dalam band.
Klaim kredit penulisan lagu oleh Byrne (yang mencantumkan "David Byrne, Brian Eno and Talking Heads" alih-alih nama anggota band secara individual) menjadi pemicu retaknya hubungan antar anggota. Meskipun mereka terus menjual jutaan kopi album "Speaking in Tongues" dan soundtrack film konser "Stop Making Sense", luka itu tak pernah sembuh.
Perpecahan dan Akhir yang Kurang Memuaskan
Semakin lama, Byrne semakin mendominasi panggung, sementara anggota lain merasa terpinggirkan. Album terakhir mereka, "Naked", dianggap sebagai karya terlemah. Talking Heads resmi bubar pada tahun 1991 setelah Byrne memutuskan untuk fokus pada proyek solo. Kisah yang menyedihkan, bukan?
Mengkritisi "Burning Down the House": Kurang Dalam dan Terlalu Sinis
Jonathan Gould memang berhasil menceritakan ulang kisah Talking Heads, apalagi bertepatan dengan 50 tahun debut band di CBGB. Namun, yang disayangkan, ia justru merendahkan banyak tokoh kunci dalam downtown renaissance Manhattan di akhir tahun 70-an.
Richard Hell, Patti Smith, dan The Velvet Underground: Korban Kritis Gould
Gould menyebut Richard Hell, arsitek punk New York, sebagai sosok medioker. Musik Patti Smith dianggap "nyaris parodi beat poetry", dan The Velvet Underground, band yang sangat berpengaruh dalam mewujudkan punk New York, dinilai penuh "pretensi hipness, irony, dan amorality." Bahkan, drumming Chris Frantz pun dianggap "sangat tidak imajinatif".
Penggunaan Kata "Willful" yang Berlebihan dan Dampaknya
Selain itu, Gould juga terkesan ceroboh dalam penggunaan kata sifat. Jonathan Richman dianggap "sengaja tidak memiliki" naluri komersial, Talking Heads menampilkan "kesengajaan konvensionalitas" dalam penampilan panggung mereka, Johnny Ramone adalah gitaris yang "sengaja menjengkelkan", dan seterusnya.
Sulit memahami bagaimana seorang penulis biografi bisa mengupas tuntas kisah sebuah band rock seminal dengan merendahkan budaya yang melahirkannya.
Lebih Baik Cari Referensi Lain? "Love Goes to Buildings on Fire" Mungkin Bisa Jadi Alternatif
Jika ingin pemahaman yang lebih mendalam dan bernuansa tentang creative ferment yang membesarkan Talking Heads, mungkin buku "Love Goes to Buildings on Fire" karya Will Hermes (2011) bisa menjadi pilihan yang lebih baik. Sayangnya, biografi Talking Heads yang benar-benar memuaskan masih belum hadir.
Kesimpulan: Talking Heads Layak Mendapatkan Lebih dari Ini
Secara keseluruhan, "Burning Down the House" terasa seperti upaya yang kurang maksimal untuk mengungkap kisah Talking Heads. Buku ini memang memberikan gambaran umum tentang perjalanan band, tapi gagal menggali lebih dalam dan memberikan perspektif baru. Seolah-olah kita hanya mendengarkan remix lagu lama yang kurang greget. Jadi, jika kamu mencari biografi yang benar-benar "membakar" semangat, mungkin ini bukan pilihan yang tepat. Keep searching, guys! Kita semua tahu Talking Heads layak mendapatkan yang terbaik, kan?