Dark Mode Light Mode

Keresahan Investor Gas Alam di Tengah Kendala Ekspor Batu Bara Indonesia

Dunia energi selalu penuh kejutan, seperti drama Korea yang plot twist-nya bikin susah tidur. Sekarang, giliran para eksportir gas alam yang mungkin sedikit deg-degan, karena ada tantangan baru dari batu bara Indonesia. Kenapa batu bara? Mari kita bedah situasinya.

Batu Bara Murah Mengancam Dominasi Gas Alam?

Ekspor batu bara termal dari Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Sebagai eksportir batu bara termal terbesar di dunia, penurunan ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran. Di lima bulan pertama tahun 2025, tonase yang diekspor adalah yang terkecil dalam tiga tahun terakhir. Akibatnya, para pedagang batu bara regional terpaksa memangkas harga ekspor hingga titik terendah dalam empat tahun terakhir.

Efek Domino Harga Batu Bara Murah

Harga batu bara yang lebih murah ini, ironisnya, menurunkan biaya produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di seluruh Asia. Ini kabar buruk bagi para pelaku industri gas alam, yang melihat Asia sebagai pasar pertumbuhan utama mereka. Mereka sudah berjuang keras menggantikan batu bara yang lebih murah di sistem kelistrikan regional. Ibaratnya, mau nge-date, eh, saingan datang bawa mobil mewah.

Pasar Utama Menyusut Drastis

Penjualan batu bara Indonesia ke dua konsumen terbesar, yaitu China dan India, mengalami penurunan masing-masing sebesar 23% dan 14% sepanjang tahun ini. Hal ini disebabkan oleh peningkatan produksi batu bara domestik di kedua negara tersebut, sehingga mengurangi permintaan impor. Data dari Kpler menunjukkan bahwa Indonesia hanya mengekspor kurang dari 188 juta ton batu bara untuk pembangkit listrik selama periode Januari hingga Mei.

Perbandingan Data dan Dampaknya

Jumlah tersebut 12% atau sekitar 25 juta ton lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun 2024, dan merupakan yang terendah sejak tahun 2022. Penjualan ke China turun 23% atau 20 juta ton, sementara penjualan ke India turun 14% atau 6,5 juta ton. Mengingat China dan India secara historis menyumbang dua pertiga dari total ekspor batu bara Indonesia, para eksportir berusaha menggantikan volume yang hilang dengan penjualan ke pasar lain.

Permintaan Global yang Melemah

Sayangnya, permintaan global yang lesu dan aktivitas manufaktur yang menurun juga mendinginkan permintaan bahan bakar industri di pasar impor batu bara utama lainnya, seperti Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Filipina. Faktanya, delapan dari sepuluh pasar terbesar untuk batu bara Indonesia mencatatkan penurunan impor dari tahun ke tahun pada tahun 2025. Kondisi ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Strategi Bertahan: Banting Harga?

Menghadapi penurunan penjualan, para pedagang batu bara di Indonesia, Australia, Kolombia, Afrika Selatan, dan Rusia terpaksa memangkas harga bulan ini. Akibatnya, banyak benchmark batu bara internasional utama saat ini diperdagangkan pada titik terendah dalam lebih dari empat tahun. Situasi ini membuat persaingan semakin sengit.

Ketergantungan Asia pada Batu Bara Meningkat

Dengan sistem kelistrikan Asia yang sudah sangat bergantung pada batu bara untuk lebih dari separuh pasokan listriknya, harga batu bara yang lebih murah tampaknya akan memperdalam ketergantungan kawasan pada bahan bakar tersebut, terutama saat pertumbuhan ekonomi dan laba bisnis masih lesu. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri, antara kebutuhan energi dan keberlanjutan lingkungan.

Nasib Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)

Harga batu bara yang lebih murah juga merusak daya tarik pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) baru di kawasan tersebut, terutama di daerah di mana kapasitas tenaga surya baru dapat dioperasikan lebih cepat untuk membantu meningkatkan pasokan listrik dalam jangka pendek. Hal ini membuat investasi di sektor gas alam menjadi kurang menarik.

Potensi Pertumbuhan Gas Alam di Asia: Optimisme yang Teruji

Pembangkit listrik tenaga gas saat ini menghasilkan sekitar 10% dari listrik yang dipasok utilitas di Asia, menurut Ember, yang didukung oleh sekitar 912 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit listrik tenaga gas regional, menurut data dari Global Energy Monitor (GEM). Para gas market bulls memiliki harapan tinggi bahwa lebih banyak kapasitas pembangkit listrik tenaga gas akan dibangun di Asia.

Investasi Gas di Asia: Antara Harapan dan Kenyataan

Dua pertiga dari seluruh kapasitas pembangkit listrik tenaga gas global yang saat ini sedang dibangun berada di benua Asia. Selain itu, 61% proyek gas dalam tahap pre-construction (di mana kesepakatan telah diajukan tetapi modal dan lokasi belum diamankan) juga berada di Asia. Sebagian besar, jika tidak semua, proyek gas yang saat ini sedang dibangun diharapkan akan beroperasi, terutama sekitar 53 GW kapasitas baru di China dan Taiwan di mana kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah usang diharapkan akan diganti dengan pembangkit listrik tenaga gas yang lebih baru.

Tantangan di Negara Berkembang

Singapura dan Korea Selatan memiliki tambahan 7 GW dalam fase konstruksi, yang seharusnya menjadi pertanda baik bagi potensi ekspor gas internasional karena kedua negara tersebut adalah importir gas. Namun, belum jelas berapa banyak lagi kapasitas pembangkit listrik tenaga gas yang akan dibangun di tempat lain di Asia, terutama di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina di mana dana pemerintah yang tersedia untuk investasi energi besar terbatas.

Penundaan Proyek dan Persaingan dengan Energi Terbarukan

Baik Indonesia maupun Filipina juga telah dilanda penundaan proyek gas dalam beberapa tahun terakhir yang merusak dukungan komersial untuk proyek gas baru, terutama ketika kapasitas tenaga surya telah dioperasikan lebih cepat. Kecepatan penurunan biaya pembangkit tenaga surya dan sistem penyimpanan baterai juga mengaburkan prospek proyek tenaga gas yang belum dibangun, terutama di negara-negara dengan dukungan sosial yang kuat untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Implikasi Bagi Eksportir Gas Alam

Bagi para eksportir gas alam dan LNG, kombinasi penundaan proyek dan ketidakpastian pembangunan sudah menunda potensi pertumbuhan volume ekspor selama bertahun-tahun dan menekan harga ekspor LNG jangka pendek di pasar-pasar utama. Dengan harga batu bara yang kini bertahan mendekati titik terendah multi-tahun, hal itu bisa cukup untuk mengubah arah banyak gas market bulls.

Intinya? Dunia energi itu dinamis. Harga batu bara yang murah memang jadi tantangan serius buat gas alam, apalagi di Asia. Tapi, investasi di sektor gas masih terus berjalan. Kuncinya ada di inovasi dan efisiensi, biar gas tetap kompetitif di tengah gempuran energi lain. Ya, persis kayak cari jodoh, harus punya nilai lebih!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Mark Pritchard tentang 'Cerita Bohong' dan Konsekuensinya

Next Post

Game Baru Ubisoft Ditutup Permanen dalam 48 Jam: Nasib Malang Terungkap