Liburan itu seharusnya menyenangkan, kan? Turun dari pesawat, mata berbinar menanti petualangan, berusaha “membaur” sebisa mungkin. Tapi, hey, jangan keburu pede dulu. Tanpa disadari, ada saja tingkah polah turis yang bikin penduduk lokal geleng-geleng kepala. Bukannya apa-apa, sih, tapi ya… namanya juga manusia, pasti ada aja yang diperhatiin.
Terlalu Keras Berbicara: Bikin Kuping Warga Negara Lain Jadi Sasaran Empuk
Pernah nggak sih, naik kereta di Eropa, terus langsung bisa nebak mana turis Amrik tanpa perlu noleh? Nggak usah lihat pun, kayaknya udah ketahuan dari volumenya. Kita ini punya standar volume yang beda, bro. Di Amerika, ngomong keras itu diasosiasikan dengan percaya diri, jelas, dan ramah. Tapi, di luar negeri, seringnya malah dianggap kurang ajar atau nggak sopan. Ibaratnya, kayak main game stealth tapi malah lari-lari sambil teriak.
Pelajaran ini saya dapat di sebuah kafe di Tokyo. Lagi asyik ngobrol sama teman soal band kesukaan, eh, tiba-tiba baristanya dengan halus memberi isyarat buat pelankan suara. Padahal, ya, kita nggak teriak-teriak amat, cuma ngobrol dengan volume “normal” ala Amerika. Tapi, di lingkungan itu, ternyata udah kelewat batas. Intinya, perhatikan seberapa keras penduduk lokal berbicara, lalu coba ikuti deh.
Over-Tipping: Niatnya Baik, Eh, Malah Dianggap Kasih Amal
Orang Amerika itu dibesarkan dengan budaya memberi tip. Udah kayak reflek otomatis: ngitung persentase di kepala, merasa bersalah kalau nggak nambahin sesuatu, dan berasumsi kalau itu diharapkan di mana-mana. Tapi, di banyak negara, memberi tip itu bukan kebiasaan. Di Jepang, malah bisa dianggap nggak sopan, seolah-olah kita ngasihani si pekerja. Di Australia, staf pelayanan dibayar dengan upah yang layak, jadi memberi tip itu nggak lazim.
Kebiasaan memberi tip itu udah kayak script mental yang tertanam dalam. Pas ninggalin meja tanpa selembar pun uang tip, rasanya kayak jadi orang jahat. Padahal, di banyak budaya, justru itu tindakan yang sopan. Jadi, sebelum main kasih-kasih tip, mending riset dulu, deh. Jangan sampai niat baik malah jadi bumerang.
Nggak Ada Es, Nggak Asyik: Kebiasaan yang Bikin Pelayan Mengernyitkan Dahi
Kedengarannya sepele, sih, tapi nggak ada yang lebih cepat “membongkar” identitas orang Amerika selain minta segelas air dengan es super banyak. Di sebagian besar Eropa, minuman disajikan dengan suhu ruangan atau didinginkan sedikit. Es itu bukan standar, dan kadang malah nggak ditawarin sama sekali. Kalau maksa minta, berarti kita nggak cuma minta preferensi pribadi, tapi juga minta sesuatu di luar norma lokal. Ibaratnya, kayak main game dengan setting yang beda, terus maksa pakai cheat dari game lain.
Di Paris, saya pernah minta es di air soda saya, dan pelayannya nyengir dengan gaya khas Prancis yang entah bagaimana menggabungkan geli dan penilaian dalam satu ekspresi wajah. Apakah kesalahan ini fatal? Ya, nggak juga, sih. Tapi, itu salah satu “tanda” yang langsung dikenali.
Sneakers Everywhere: Gaya yang Mungkin Membuatmu Dikira Turis Abadi
Kenyamanan adalah raja di Amerika. Kita pakai sneakers dengan jeans, sneakers dengan gaun, sneakers buat makan malam. Di luar negeri, terutama di sebagian Eropa dan Asia, sepatu itu mengisyaratkan banyak hal tentang rasa hormat pada ruang yang kita masuki. Di Italia, orang akan memperhatikan kalau kita jalan-jalan ke trattoria pakai sepatu lari. Di beberapa kuil di Thailand, sepatu dilepas sepenuhnya. Dulu, saya mikir, “Siapa peduli apa yang saya pakai? Saya kan liburan buat diri sendiri.” Tapi, kemudian saya sadar gimana penduduk lokal ngelirik dua kali atau memperlakukan saya dengan beda. Beralih ke loafer atau boots sederhana bikin obrolan jadi lebih lancar. Pakaian memang nggak mendefinisikan kita, tapi pakaian itu berkomunikasi.
Porsi Kecil Bikin Emosi: Padahal, Kualitas Itu Lebih Penting daripada Kuantitas
Mari kita jujur: piring orang Amerika itu gede banget. Pas liburan ke luar negeri, porsinya seringkali lebih kecil, dan itu disengaja. Budaya makan di banyak negara lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Kesalahannya bukan cuma menyadari hal ini, tapi menyuarakannya. Ngomong kayak “Wah, ini kecil banget” itu nggak cuma kedengaran nggak tahu terima kasih, tapi juga kritik terhadap hubungan seluruh budaya dengan makanan. Ibaratnya, kayak main game RPG, terus protes karena musuhnya nggak ngasih item sebanyak biasanya.
Dulu pas di Spanyol, tapas vegan saya datang dalam porsi yang kecil dan sederhana. Awalnya, saya merasa kayak butuh lebih banyak. Tapi, begitu saya melambatkan diri dan makan dengan penuh perhatian, saya sadar kalau saya sudah cukup puas. Pelajaran budayanya? Makanan itu nggak selalu soal “lebih banyak”.
“Bonjour”-nya Mana?: Jangan Langsung Nyelonong Kayak di Starbucks
Sederhana saja, “halo” dalam bahasa lokal itu sangat berarti. Tapi, saya sering lihat turis Amerika melewatkan sapaan sama sekali, langsung nyelonong ke transaksi kayak lagi pesan di Starbucks. Di Prancis, nggak ngomong “Bonjour” sebelum nanya itu dianggap kasar. Di Maroko, sapaan itu panjang dan berlapis-lapis, melibatkan nggak cuma “hai” tapi juga pertanyaan tentang keluarga dan kesehatan. Ibaratnya, kayak main game sosial, tapi malah skip semua cutscene.
Saya sendiri pernah melakukan kesalahan ini. Di Berlin, saya nanya arah dalam bahasa Inggris tanpa menyapa orangnya dulu. Mereka mengerutkan kening, jawab dengan ketus, dan pergi. Bedanya pas saya buka dengan “Hallo” yang ramah di lain waktu? Beda langit dan bumi.
Jadwal Harus Tepat Waktu?: Santai, Bro, Nggak Usah Kayak Robot
Di Amerika, ketepatan waktu itu terikat dengan rasa hormat. “Tepat waktu” berarti lima menit lebih awal. Tapi, di luar negeri, jadwal itu lebih fleksibel. Di Amerika Selatan, datang telat ke acara sosial itu bukan penghinaan, tapi malah diharapkan. Di Spanyol, makan malam jam 10 malam itu standar. Orang Amerika yang muncul jam 7 malam tepat seringkali bingung karena restorannya kosong. Ini butuh waktu bertahun-tahun buat saya sesuaikan. Dulu, saya stres kalau rencana mulai “telat”. Sekarang, saya lihatnya beda: waktu itu kultural, bukan universal.
Semua Harus Bisa Bahasa Inggris?: Nggak Semua Orang Bisa Jadi Google Translate
Bahasa Inggris emang dipakai luas, sih. Tapi, berharap itu di mana-mana – dan lebih parah lagi, bertingkah frustrasi pas nggak bisa – itu menciptakan jarak. Penduduk lokal memperhatikan usaha kita. Bahkan kalau aksen kita jelek, sederhana saja, “terima kasih” atau “permisi” dalam bahasa lokal menunjukkan rasa hormat. Itu mengkomunikasikan kerendahan hati. Ibaratnya, kayak main game dengan bahasa yang nggak kita kuasai, tapi tetap berusaha untuk belajar.
Saya ingat pas di pedesaan Vietnam, terbata-bata mengucapkan kalimat yang salah buat pesan mie vegan. Penjualnya ketawa – bukan mengejek, tapi hangat – dan kemudian bantu saya melatih kata-katanya dengan benar. Usaha kecil itu membuka koneksi yang nggak akan pernah terjadi kalau saya cuma ngomong bahasa Inggris lebih keras.
Intinya?
Liburan itu bukan cuma soal lihat tempat baru. Ini tentang memahami gimana orang lain hidup, dan kadang itu berarti melupakan kebiasaan yang bahkan nggak kita sadari. Kesalahan kecil nggak bikin kita jadi turis yang buruk. Tapi, jadi sadar akan itu? Di situlah pertumbuhan terjadi. Lagipula, tujuannya bukan cuma buat mengunjungi – tapi buat terhubung.