Siapa bilang hidup itu cuma soal cinta dan drama Korea? Ternyata, ada hal yang lebih bikin nyesek daripada ditolak gebetan: angka bunuh diri, terutama di kalangan bapak-bapak. Seriusan, ini bukan sinetron azab, tapi realita pahit yang lagi kita tonton bareng. Katanya, jadi cowok itu harus kuat, nggak boleh nangis, harus jadi tulang punggung keluarga. Tapi, kalau tulang punggungnya rapuh, siapa yang mau nolong?
Stigma: Ketika Maskulinitas Jadi Tahanan Mental
Kenapa sih cowok lebih susah cerita masalahnya? Kata Dr. Edwin Boudreaux, profesor dari bidang kegawatdaruratan medis, stereotip maskulinitas itu biang keroknya. Cowok dituntut buat jadi sosok yang kuat, mandiri, dan nggak boleh nunjukkin kelemahan. Nah, mengakui punya masalah mental itu sama aja kayak ngaku kalah, dan itu pantangan besar buat sebagian cowok. Jadi, mereka lebih milih diem, padahal di dalem hatinya udah kayak konser metal.
Bayangin aja, dari kecil udah dicekokin doktrin “cowok nggak boleh cengeng”. Akhirnya, pas dewasa, mereka bingung gimana caranya minta tolong. Ibaratnya, udah keburu di-nerf sebelum naik level. Padahal, kesehatan mental itu sama pentingnya kayak kesehatan fisik. Kalau badan sakit, minum obat. Kalau pikiran sakit, ya diobatin juga, bukan malah dipendem.
Generasi Bapak-Bapak: Antara Beban Hidup dan Senjata Api
Data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) nunjukkin kalau cowok usia 75 tahun ke atas itu paling rentan bunuh diri. Kenapa? Karena hidup itu keras, Mamen. Semakin tua, semakin banyak kehilangan yang dialami. Mulai dari kehilangan kemampuan fisik, kehilangan koneksi sosial, sampai kehilangan orang-orang yang dicintai. Ibaratnya, kayak main game RPG, tapi item-itemnya pada ilang semua.
Kehilangan-kehilangan ini bisa bikin pikiran jadi gelap gulita. Apalagi kalau ditambah akses ke “senjata mematikan” alias senjata api. Kata Dr. Boudreaux, cowok itu lebih familiar dan nyaman sama senjata api. Jadi, pas lagi kalut, mereka lebih mungkin buat ngambil jalan pintas yang fatal. Ini kayak lagi main PUBG, udah panik, ketemu senjata, langsung auto-kill diri sendiri.
Kenapa Grafik Bunuh Diri Bapak-Bapak Nggak Turun-Turun?
Selama dua dekade terakhir, angka bunuh diri di kalangan cowok usia 55 tahun ke atas terus naik. Faktornya apa aja? Ya itu tadi, depresi, penyalahgunaan zat, dan isolasi sosial. Masalahnya, cowok itu gengsinya gede banget buat minta bantuan. Udah gitu, akses ke “barang haram” juga gampang. Jadi, pas lagi down, mereka lebih mungkin buat ngelakuin hal yang nekat.
Belajar dari Anak Muda: Bisa Nggak Sih Taktik Healing ala TikTok Dipakai Buat Bapak-Bapak?
Kampanye kesehatan mental buat anak muda lumayan efektif buat ngurangin stigma dan ningkatin kesadaran buat cari pertolongan. Tapi, buat bapak-bapak, pendekatannya harus beda. Dr. Boudreaux nyaranin buat nyari tokoh panutan yang sebaya, yang punya pengalaman serupa. Misalnya, program buat veteran militer yang nunjukkin kalau orang yang pernah berjuang itu bisa jadi inspirasi.
Intinya, kita harus ngubah cara pandang bapak-bapak tentang kesehatan mental. Jangan lagi dicekokin doktrin “cowok harus kuat”. Tapi, kasih tau kalau minta tolong itu bukan aib, tapi justru tanda keberanian. Ibaratnya, kayak ngajarin gamer senior buat main game baru. Awalnya mungkin bingung, tapi lama-lama pasti jago.
Senjata Api: Antara Hobi dan Tragedi
Akses ke senjata api itu faktor penting dalam kasus bunuh diri. Soalnya, percobaan bunuh diri pakai senjata api itu lebih mungkin buat berhasil. Makanya, Dr. Boudreaux nyaranin buat ngamanin senjata api. Jauhin senjata api dari orang yang lagi berisiko. Tapi, ini nggak gampang, soalnya senjata api itu seringkali udah jadi bagian dari budaya, hobi, atau pekerjaan bapak-bapak.
Siapa yang Paling Rentan?
Dari dulu, cowok kulit putih yang lebih tua, terutama yang tinggal di daerah pedesaan, itu punya risiko bunuh diri paling tinggi. Tapi, sekarang kita juga ngeliat peningkatan angka bunuh diri di kalangan cowok kulit hitam yang lebih muda. Ini tren baru yang bikin miris.
Kenapa Cowok Lebih Sering “Berhasil” Bunuh Diri daripada Cewek?
Cewek itu lebih sering nyoba bunuh diri, tapi cowok lebih sering “berhasil”. Kenapa? Soalnya, cowok lebih mungkin buat pakai senjata api, sementara cewek lebih mungkin buat nyoba cara yang nggak terlalu mematikan. Ini kayak lagi main game, cowok lebih milih senjata damage gede, sementara cewek lebih milih senjata yang efeknya area.
Kalau Ada Temen atau Keluarga yang Lagi Berjuang, Gimana Dong?
- Ngobrol yang Terbuka: Jangan cuek kalau ada tanda-tanda yang mencurigakan. Ajak ngobrol dengan cara yang santai dan nggak ngehakimin. Kadang, cuma didengerin aja udah bisa bikin orang ngerasa lebih baik.
Pesan Buat Bulan Pencegahan Bunuh Diri: Ada Harapan!
Kita punya perawatan dan strategi pencegahan yang efektif. Masalahnya, gimana caranya nyampein strategi ini ke orang yang butuh, tepat waktu. Yang penting, kita harus inget: ada harapan. Jangan pernah nyerah sama keadaan. Ibaratnya, kayak lagi main game Dark Souls, susah banget, tapi kalau terus dicoba, pasti bisa tamat.
Jangan Ragu Minta Bantuan!
Kalau kamu atau orang yang kamu kenal lagi berjuang, jangan ragu buat minta bantuan. Ada banyak layanan konseling dan dukungan yang siap ngebantu. Inget, kamu nggak sendirian. You’re not alone, Bro!
Jadi, daripada sibuk nyalahin keadaan atau nyari kambing hitam, mending kita mulai dari diri sendiri. Jadi temen yang baik, jadi pendengar yang baik, dan jadi manusia yang lebih peduli. Soalnya, mencegah bunuh diri itu bukan cuma tugas pemerintah atau ahli kesehatan mental, tapi tugas kita semua.