Kesepakatan Dagang Data Indonesia-AS: Keuntungan atau Bumerang?
Dunia digital kita semakin borderless, dan kabar terbaru tentang potensi kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait transfer data pribadi memicu perdebatan sengit. Bayangkan data kita jalan-jalan ke Amerika, nggak pakai visa pula! Apakah ini langkah maju atau malah ancaman bagi kedaulatan data Indonesia?
Kesepakatan ini, yang mencakup ketentuan tentang transfer data pribadi, dikhawatirkan akan menggerus kedaulatan data Indonesia. Pemerintah mengklaim kesepakatan ini akan memberikan kepastian hukum bagi perlindungan data warga Indonesia yang menggunakan layanan digital AS, seperti mesin pencari, media sosial, dan cloud services. Menteri Komunikasi dan Digital menegaskan proses transfer data akan diawasi ketat oleh otoritas Indonesia, berdasarkan hukum nasional. Namun, apakah pengawasan ini akan cukup?
Meskipun begitu, berbagai pihak, termasuk kelompok advokasi digital, menyuarakan kekhawatiran mendalam. Apakah kita benar-benar siap membuka pintu data kita selebar ini? Mari kita selami lebih dalam.
Apakah Data Kita Benar-Benar Aman?
Salah satu poin krusial adalah soal keamanan. Memang, 12 perusahaan teknologi AS seperti AWS, Microsoft, dan Google Cloud telah membangun data center di Indonesia. Namun, kekhawatiran tetap ada. Hendra Suryakusuma, ketua IDPRO, mengingatkan bahwa data yang diproses di AS berpotensi mengurangi kontrol Indonesia atas data strategis, pribadi, maupun data terbuka. Ini bisa meningkatkan ketergantungan digital kita pada negara lain. Data center lokal bisa jadi hanya berfungsi sebagai “edge computing” atau “hybrid cloud generator”, bukan lagi pusat utama pemrosesan data. Apakah kita siap menerima skenario ini?
Data adalah aset berharga, seperti “minyak baru” di era digital. Jika data kita hanya dieksploitasi oleh pihak asing, kita hanya akan menjadi konsumen dari produk dan layanan yang dibangun dari data kita sendiri. Ironis, bukan? Kesepakatan ini bisa mengaburkan batasan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mewajibkan penyelenggara sistem elektronik di sektor kritikal untuk menerapkan perlindungan data onshore yang kuat.
UU PDP: Apakah Sudah Cukup Kuat?
UU PDP, yang baru disahkan beberapa waktu lalu, diharapkan menjadi benteng pertahanan data pribadi kita. Namun, tanpa lembaga pengawas yang independen, UU PDP bisa jadi macan kertas. Lembaga pengawas ini seharusnya bertugas mengawasi transfer data lintas negara, memastikan data tidak bocor, disalahgunakan, atau melanggar hak privasi. Pemerintah sepertinya bergerak lambat dalam membentuk badan ini, padahal deadline sudah mepet.
Ketidakjelasan ini memicu kekhawatiran akan potensi pengawasan massal terhadap warga Indonesia oleh otoritas AS. ELsam, sebuah lembaga riset dan advokasi, menyebut kesepakatan ini “tidak adil” dan lebih menguntungkan perusahaan penyimpanan data AS daripada perlindungan data pribadi. Hal ini bisa menjadi ancaman serius bagi ekosistem digital Indonesia. Kita harus ingat, privasi bukan barang mewah, tapi hak asasi.
Menuju Kedaulatan Data: Bagaimana Caranya?
Pratama Persadha dari CISSReC berpendapat bahwa kesepakatan ini justru bisa mempercepat pembentukan lembaga independen pengawas perlindungan data. Namun, kita tetap tidak boleh mengabaikan risiko dari free flow data pribadi. Pengelolaan data yang terkontrol berkorelasi langsung dengan nilai tambah ekonomi digital. Data pribadi dan perilaku digital adalah “bahan baku” penting untuk pengembangan kecerdasan buatan, layanan berbasis algoritma, dan inovasi teknologi.
Indonesia perlu mengejar perjanjian bilateral untuk melindungi hak-hak digitalnya. Selain itu, kita harus memperkuat infrastruktur digital, riset, dan pengembangan talenta digital lokal untuk menjaga kemandirian teknologi. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keamanan nasional. Kita tidak ingin data kita menjadi komoditas yang dieksploitasi, kan?
Cross-border data flow bukan hanya soal Indonesia dan AS, tapi juga melibatkan negara lain. Indonesia perlu menyiapkan protokol yang aman untuk mengelola aliran data lintas batas, seperti yang sudah diterapkan di Nongsa Digital Park.
Kesimpulan: Bijak Mengelola Data, Bijak Membangun Masa Depan
Kesepakatan dagang data antara Indonesia dan AS adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa membuka peluang kerja sama dan investasi. Di sisi lain, bisa mengancam kedaulatan data dan privasi warga Indonesia. Kuncinya adalah kehati-hatian dan pengawasan yang ketat. Pemerintah perlu melakukan penilaian komprehensif, memastikan kesepakatan ini tidak malah membuat kita semakin tergantung dan memperburuk keamanan data yang sudah rentan.
Kita harus bijak dalam mengelola data, karena data adalah masa depan. Jangan sampai kita menjual “berlian” kita dengan harga “kacang”.