Dark Mode Light Mode

Ketidakjelasan Prabowo dalam Kebijakan Laut Cina Selatan: Konsekuensi bagi Indonesia

Siapa bilang diplomasi itu membosankan? Kebijakan Laut Cina Selatan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ternyata lebih seru dari sinetron stripping! Ada drama, intrik, dan yang pasti, inkonsistensi yang bikin geleng-geleng kepala. Mari kita bedah, kenapa sih bisa begini?

Kebijakan Laut Cina Selatan Prabowo: Antara Hanoi dan Beijing

Indonesia, dengan segala pesonanya, memang selalu punya cara unik dalam berdiplomasi. Di satu sisi, kita mesra dengan Vietnam, menandatangani perjanjian Exclusive Economic Zone (ZEE) yang menabrak garis sembilan putus-putus (nine-dash line) China. Eh, di sisi lain, kita malah flirting dengan Beijing, mengakui adanya klaim maritim yang tumpang tindih. Double date, gitu?

Perjanjian dengan Vietnam sendiri bukan main-main. Setelah 12 tahun negosiasi alot, akhirnya ZEE kita dan Vietnam jelas batasnya. Yang menarik, kedua negara kompak ignore klaim nine-dash line China yang memang kontroversial. China sih protes, tapi ya…begitulah. Prabowo pun berkomitmen untuk meratifikasi perjanjian ini, bahkan berencana menandatanganinya secara formal saat berkunjung ke Vietnam.

Pengakuan "Tumpang Tindih": Sebuah Langkah Mundur?

Nah, bagian ini yang bikin alis berkerut. Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Beijing, Indonesia dan China merilis pernyataan bersama yang mengejutkan. Untuk pertama kalinya, Indonesia secara formal mengakui adanya klaim maritim yang tumpang tindih dengan China. Ini jelas deviation dari kebijakan Indonesia selama puluhan tahun yang tak pernah mengakui adanya tumpang tindih semacam itu. Mengingat Indonesia dan China tidak berbatasan langsung, klaim tumpang tindih ini tentu saja merujuk pada nine-dash line China yang diperdebatkan.

Pengakuan ini langsung menuai kritik pedas. Banyak yang menilai bahwa Indonesia seolah-olah melegitimasi klaim nine-dash line China yang jelas-jelas tidak berdasar pada hukum internasional, sebagaimana putusan pengadilan arbitrase tahun 2016. Ibaratnya, kita sudah tahu teman itu suka ngibul, tapi tetap saja kita percaya omongannya.

UNCLOS di Hati, Tapi Beijing di Mata

Setelah kegaduhan terjadi, Kementerian Luar Negeri Indonesia buru-buru merilis pernyataan yang menegaskan bahwa Indonesia tetap tidak mengakui nine-dash line China. Semua kerja sama harus berlandaskan pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Lebih lanjut, setelah dari Beijing, Prabowo terbang ke Washington untuk bertemu Presiden AS Joe Biden. Dalam pertemuan itu, Indonesia dan AS kembali menegaskan pentingnya menghormati putusan pengadilan tahun 2016 dan kepatuhan terhadap UNCLOS. Ini jelas kontradiktif dengan pernyataan bersama dengan China yang seolah mengabaikan putusan arbitrase tersebut. Pusing kan?

Pengakuan klaim tumpang tindih dengan China juga menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian dengan Vietnam. Jika Indonesia mengakui adanya klaim tumpang tindih dengan China, secara implisit kita juga mengakui adanya klaim tumpang tindih dengan China dalam perjanjian dengan Vietnam. Ini seperti kita sudah janji sama pacar, eh malah ngelirik gebetan.

Kode Etik di Laut Cina Selatan: Indonesia Masih Konsisten?

Inkonsistensi ini juga berdampak pada negosiasi code of conduct (COC) antara ASEAN dan China di Laut Cina Selatan. Selama ini, Indonesia menolak nine-dash line sebagai dasar negosiasi COC. Namun, negara-negara ASEAN lain mempertanyakan posisi Indonesia setelah adanya pernyataan bersama dengan China. Sampai sekarang, belum ada jawaban yang jelas.

Jadi, Apa Sebenarnya Rencana Prabowo?

Ada dua kemungkinan penjelasan mengapa Indonesia mengejar kebijakan yang inkonsisten ini. Pertama, bisa jadi Prabowo tidak menyadari bahwa kebijakan-kebijakan ini saling bertentangan. Atau, dia tidak tahu bahwa mengakui klaim maritim yang tumpang tindih dengan China berarti Indonesia menyetujui sesuatu yang ilegal menurut hukum internasional. Mungkin juga, dia mengira bahwa kebijakan-kebijakan ini tidak berhubungan dan tidak menyadari lokasi pasti klaim tumpang tindih dengan China. Siapa tahu kan?

Kedua, Prabowo mungkin sengaja membuat ambiguitas sebagai bagian dari strateginya. Dia mungkin ingin menyenangkan China dengan mengakui klaim tumpang tindih dalam pernyataan bersama. Namun, pada saat yang sama, dia mungkin tahu bahwa pengembangan bersama tidak dapat diimplementasikan, termasuk karena ratifikasi perjanjian Indonesia-Vietnam.

Masih terlalu dini untuk menilai apa sebenarnya yang ada di benak Prabowo terkait kebijakan Laut Cina Selatan Indonesia. Yang jelas, dengan mengakui klaim maritim yang tumpang tindih, Indonesia telah membantu China mengejar ambisi teritorialnya. Semoga saja, Indonesia tidak salah langkah dalam permainan geopolitik yang rumit ini. Karena kalau salah, bisa-bisa kita yang jadi tumbal!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Pengembang Star Fox Tak Terlalu Kecewa Sekuel "Batal"-nya Ditunda 22 Tahun: PlayStation Terlalu Unggul

Next Post

Analis Top: Apple Wearable Generasi Baru yang Dinanti Baru Hadir Tahun Depan