Dark Mode Light Mode

Ketidaklaziman Ethel Cain Menuju Bintang: Sebuah Pendekatan Anti-Pop

Musik memang punya kekuatan ajaib, ya? Bayangin aja, sebuah lagu pop yang catchy bisa menyembunyikan lirik yang ternyata kritik pedas tentang propaganda militer. Itulah yang dilakukan Hayden Anhedönia, atau yang lebih dikenal dengan alter ego-nya, Ethel Cain. Obama aja masukin lagunya ke playlist favoritnya, tapi si mbak ini malah nggak pengen jadi selebriti kesayangan Amerika. Anti-mainstream abis!

Dulu, pas pandemi, tren cottagecore sempat hits banget di kalangan anak muda. Bayangin deh, gaun gingham, bunga-bunga kering, rambut dikepang ala Rapunzel. Nah, Ethel Cain ini jadi ikon nggak terduga dari tren itu. Tapi, bedanya, dia nggak cuma nostalgia sama masa lalu, tapi juga mengkritisi masa kecilnya yang dibesarkan di lingkungan evangelis yang konservatif. Kompleks banget, kan?

Album debut Anhedönia, “Preacher’s Daughter,” itu kayak opera rock selatan yang dark banget. Ceritanya tentang Ethel yang diculik, dijual jadi pelacur, bahkan sampai dikanibalisasi. Ngeri nggak tuh? Tapi, justru disitulah letak daya tariknya. Di tengah lagu-lagu radio yang gitu-gitu aja, album ini menawarkan narasi yang kuat dan pesan politik yang berani.

Baru-baru ini, Anhedönia merilis “Willoughby Tucker, I’ll Always Love You,” semacam prekuel dari album debutnya. Dia nulis, produksi, sampai engineering musiknya sendiri. Kali ini, ceritanya tentang patah hati yang membawa Ethel ke jalan yang kelam. Willoughby, pacarnya, punya ayah yang abusive, dan mereka berdua mimpiin buat kabur dari kehidupan yang suram itu.

Ethel Cain: Lebih dari Sekadar Musik

Nggak semua detail cerita terungkap lewat lirik lagu. Anhedönia juga bangun dunia fiksinya lewat blog post, ilustrasi, Q&A, dan cuplikan novel yang lagi dia garap. Fans-nya setia banget ngumpulin semua materi itu. Dunia fiksi ini juga punya kemiripan sama masa lalu Anhedönia. Ayahnya pendeta, dia dibesarkan di kota kecil yang konservatif, dan punya keluarga yang jadi tentara. Serem abis!

Anhedönia memang dari dulu udah menentang aturan mainstream pop, baik dalam musik maupun pandangan politiknya. Dia pernah posting “#KillMoreCEOs” di Instagram setelah seorang eksekutif dibunuh, dan langsung dikecam Fox News. Terus, setelah Israel membunuh ratusan warga Palestina, dia merilis lagu berjudul “من النهر” (dari sungai). Tindakan ini justru bikin dia makin dicintai fans setianya.

Tapi, kayaknya dia nggak terlalu bernafsu buat nangkring di tangga lagu lagi. Dia malah merilis “Perverts,” proyek noise berdurasi satu setengah jam yang isinya lagu-lagu doom-metal yang distorted. Guardian bahkan menulis artikel dengan judul “Cult Star Sets Out to Lose Friends and Alienate People.” Anhedönia sih cuma ketawa aja.

Musik yang Membius, Bukan Sekadar Menghibur

“Willoughby Tucker, I’ll Always Love You” juga bukan album yang easy listening. Tempo-nya lambat, instrumentasinya kadang nggak jelas, dan karakternya kayak muter-muter di pikiran yang sama. Di salah satu bagian lagu, Ethel bahkan mengeluh belasan kali kalau dia nggak sabar buat mati. Kalau dulu Anhedönia nyembunyiin pesan politiknya dalam musik pop yang upbeat, sekarang dia malah membenamkannya lewat semacam hipnotisme.

Anhedönia pernah bilang kalau musik gereja itu kayak cuci otak. Nah, dalam “Willoughby Tucker,” dia kayaknya sengaja meniru taktik itu lewat pengulangan dan melodrama. Tapi, di sisi lain, suara Ethel, yang belum terbebani trauma, terdengar lebih jelas. Dalam lagu “Fuck Me Eyes,” dia nyeritain cewek lain di sekolahnya, antara menghakimi dan mengagumi.

  • Analisis lirik lagu dan storytelling.
  • Pengaruh masa lalu terhadap karya seni.
  • Penyampaian pesan politik lewat musik.

Kontroversi dan Konsekuensi

Bahkan, lagu “Nettles,” elegi country buat Willoughby, mengingatkan kita akan kebenaran pahit dalam “American Teenager.” Liriknya dalem banget, bikin merinding.

Meskipun lambat, album ini tetap bisa menghanyutkan pendengar. Lagu “Nettles” mengarah ke “Radio Towers,” di mana kita denger suara beep yang kemungkinan besar dari monitor detak jantung Willoughby. Selama lima menit, lagu ini memainkan chord yang sama berulang-ulang, menggambarkan rasa sakit menunggu kabar orang yang dicintai.

Masa Depan Independen dan Kreatif

Anhedönia kayaknya memang sengaja menjauh dari sorotan. Rilisan “Willoughby Tucker” mengakhiri kontrak rekamannya dengan Prescription Songs. Buat album berikutnya, Anhedönia berencana buat go independent. Dia juga udah delete akun media sosialnya karena capek sama fans yang nggak sabaran dan drama media konservatif.

  • Kemandirian artistik.
  • Pengaruh media sosial terhadap seniman.
  • Pentingnya keaslian dalam berkarya.

Ethel Cain: Lebih dari Sekadar Musik

Anhedönia bilang dia pengen punya kendali penuh atas segalanya. Dia pengen ninggalin warisan seni yang tulus dan menyentuh hati, bukan buat orang lain. Dia pengen ninggalin warisan seni yang otentik dan jujur. Musiknya memang bukan buat semua orang, tapi buat mereka yang berani menyelami kegelapan dan menemukan keindahan di dalamnya.

Mengapa Musik Ethel Cain Begitu Memikat?

Musik Ethel Cain menawarkan kombinasi unik antara melodi yang catchy dan lirik yang dark. Dia nggak takut buat ngomongin isu-isu sensitif, seperti trauma, kekerasan, dan eksploitasi. Musiknya juga relatable banget sama pengalaman anak muda zaman sekarang, yang sering merasa lost dan disillusioned.

Warisan Sejati: Seni yang Jujur dan Menyentuh

Anhedönia bukan cuma musisi, tapi juga storyteller yang handal. Dia menciptakan dunia fiksi yang kompleks dan menggugah pikiran. Dia nggak cuma menghibur, tapi juga mengajak kita buat berpikir dan merasakan. Di era musik yang serba instan dan formulaic, Anhedönia menawarkan sesuatu yang segar dan orisinal. Dia adalah seniman sejati yang berani menjadi dirinya sendiri. Keren!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Akhirnya Kita Bebas dari Belenggu Game AAA

Next Post

Indonesia Gagalkan Penyelundupan 22 Pekerja Migran Ilegal ke Malaysia, Nasib Mereka Terselamatkan