Bayangkan dunia tanpa suara. Sepi, hampa, dan pertandingan sepak bola jadi mirip film bisu Charlie Chaplin. Untungnya, ada radio dan para komentator ulung yang siap mengisi kekosongan itu dengan suara mereka yang khas. Mereka bukan sekadar penyiar, tapi juga seniman yang melukiskan kejadian di lapangan dengan kata-kata.
Kevin Harlan: Maestro Radio di Era Digital
Jauh sebelum streaming merajalela, radio adalah raja. Dan Kevin Harlan, dengan suara baritonnya yang memikat, adalah salah satu pewaris takhta itu. Meski wajahnya sering menghiasi layar kaca sebagai komentator NFL di CBS dan TNT, hati Harlan tetap tertambat pada radio. Baginya, radio adalah cinta pertama, tempat di mana ia bisa berkreasi sebebas-bebasnya.
Harlan mengaku terinspirasi oleh legenda-legenda radio seperti Jack Buck, Lindsay Nelson, Jim Simpson, Joe Tait, dan Jim Durham. Mereka adalah para pendongeng ulung yang mampu menghidupkan imajinasi pendengar hanya dengan suara. Harlan pun bercita-cita menjadi seperti mereka, melukiskan gambar di benak pendengar dengan kata-kata yang dipilih dengan cermat.
Dan Harlan berhasil mewujudkan mimpinya. Ia menjadi salah satu komentator radio paling dihormati di Amerika Serikat. Gaya komentarnya yang bersemangat dan deskriptif membuatnya digemari pendengar. Ia mampu membuat momen-momen penting dalam pertandingan terasa lebih dramatis dan mengesankan.
Radio: Panggung Imajinasi yang Tak Lekang Waktu
Di era visual seperti sekarang, radio mungkin dianggap ketinggalan zaman. Tapi bagi Harlan, radio tetap relevan karena menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh televisi: ruang bagi imajinasi. Televisi menyajikan gambar yang sudah jadi, sementara radio mengajak pendengar untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan gambaran di benak mereka sendiri.
“TV itu cuma kebetulan; radio adalah cinta pertamaku,” ujar Harlan. “Radio, bagiku, adalah bentuk penyiaran yang paling murni. Ini tentang suara, penyampaian, resonansi, intonasi, energi, penggunaan kata, detail deskriptif, dan keterampilan melaporkan. Semua hal yang harus dimiliki setiap penyiar – baik mereka melakukan berita atau olahraga.”
Para Pewaris Suara Emas Radio
Harlan bukan satu-satunya komentator yang masih setia dengan radio. Ada juga nama-nama seperti Kenny Albert, Ian Eagle, Jon Miller, Dave Pasch, Merrill Reese, Howie Rose, dan Dave Sims yang secara rutin mengisi siaran radio, baik di tingkat nasional maupun lokal. Mereka adalah para pewaris suara emas radio, yang terus menjaga tradisi bercerita lewat suara.
Kehadiran mereka membuktikan bahwa radio belum mati. Meski televisi menawarkan gambar yang lebih memukau, radio tetap memiliki daya tariknya sendiri. Radio adalah panggung imajinasi, tempat di mana pendengar bisa menciptakan dunia mereka sendiri hanya dengan mendengarkan suara.
Dari Analis Jadi Komentator: Fleksibilitas adalah Kunci
Dalam dunia televisi, peran komentator dan analis biasanya terpisah. Komentator bertugas menyampaikan “siapa” dan “apa”, sementara analis bertugas menjelaskan “bagaimana” dan “mengapa”. Tapi ada juga beberapa sosok yang mampu menjalankan kedua peran ini dengan baik.
Salah satunya adalah James Brown, legenda penyiaran dan pembawa acara “The NFL Today”. Brown memulai kariernya di CBS bukan sebagai pembawa acara atau komentator, tapi sebagai analis basket. Ia ingin memastikan bahwa ia memiliki kemampuan yang serbaguna.
“Verne Lundquist dan yang lainnya mengatakan hal yang sama kepadaku, ‘J.B., lakukan sebanyak mungkin olahraga yang berbeda untuk menunjukkan fleksibilitasmu. Itu akan memberikan umur panjang dan kesempatan untuk melakukan hal-hal lain seperti berita,'” kenang Brown.
Brown, yang pernah bermain basket untuk Atlanta Hawks, memulai kariernya di CBS pada tahun 1980-an bersama Lundquist dan mendiang Frank Glieber. Ia juga pernah menjadi reporter di pinggir lapangan dan komentator sebelum akhirnya menjadi pembawa acara NFL.
Pat Summerall dan Frank Gifford: Legenda yang Merambah Berbagai Peran
Sebelum berduet dengan John Madden, Pat Summerall mengawali kariernya sebagai analis NFL di radio dan televisi. Ia bekerja dengan komentator seperti Chris Schenkel, Ray Scott, dan Jack Buck. Setelah hampir 15 tahun menjadi komentator “Monday Night Football”, Frank Gifford dipindahkan ke kursi analis pada tahun 1986 untuk memberi tempat bagi Al Michaels.
Tim Brant juga pernah menjadi analis sepak bola kampus untuk CBS dan ABC, berbagi studio dengan legenda seperti Jim Nantz dan Keith Jackson. Selama berada di CBS (1987-90), ia juga menjadi komentator NFL, sering bekerja dengan mantan pelatih NFL Hank Stram dan Dan Jiggetts, bahkan pernah menjadi reporter di pinggir lapangan NBA – seperti halnya analis NFL Cris Collinsworth dan Phil Simms untuk NBC dan Charles Davis untuk TNT.
Masa Depan Radio: Tetap Relevan di Tengah Gempuran Visual
Di tengah gempuran visual, radio mungkin terlihat seperti dinosaurus yang terancam punah. Tapi radio memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh media lain: kemampuan untuk merangsang imajinasi pendengar. Dan selama manusia masih memiliki imajinasi, radio akan tetap relevan.
Para komentator radio yang hebat tahu bagaimana memanfaatkan kekuatan itu. Mereka adalah para seniman suara yang mampu melukiskan gambar di benak pendengar hanya dengan kata-kata. Mereka adalah para pewaris tradisi bercerita yang tak lekang waktu. Jadi, lain kali kamu menyalakan radio, jangan hanya mendengarkan suara, tapi biarkan imajinasimu ikut bermain.