Popular Now

Jugband Blues: Ayah Penulis Surat Kabar Terkejut Jadi Bagian dari ‘Sonic Mayhem’ Pink Floyd

Pandemi Agreement WHO: Apa Artinya Bagi Generasi Muda Indonesia?

Taylor Swift Dominasi SiriusXM: Hadirkan “Taylor’s Channel 13” Jelang Album Baru

Kiamat: Mengapa Kita Merasa Akhir Zaman Sudah Dekat, Meski Rapture Gagal?

Kiamat? Ah, basi! Dulu diramal 2012, ternyata Bumi masih muter aja. Tapi, kok ya, perasaan ini kayak lagi nyetir mobil di jalan tol yang bannya kempes. Nggak enak, gelisah, tapi nggak tahu mau berhenti di mana. Apa jangan-jangan, kiamatnya bukan soal langit runtuh, tapi soal harga kopi yang makin nggak masuk akal?

Dari obrolan warung kopi sampai postingan influencer di Instagram, semua kayak lagi nyanyiin lagu yang sama: dunia ini lagi nggak baik-baik aja. Agama, perubahan iklim, sampai persiapan menghadapi hari akhir – semuanya bikin kepala mumet kayak lagi main game RPG yang quest-nya nggak kelar-kelar. Dulu, mungkin cuma segelintir orang yang percaya kiamat, sekarang kayaknya semua orang punya alarm kiamat sendiri-sendiri.

Tapi, kenapa sih kita jadi segitunya mikirin akhir dunia? Apa karena sinetron azab terlalu seru? Atau jangan-jangan, kita semua cuma lagi cari alasan buat nggak bayar cicilan?

Dalam sebuah episode, Brittany Luse mengajak culture writer Joshua Rivera dan national writer untuk Religion News Service Bob Smietana buat ngobrolin soal ini. Mereka nyoba ngupas tuntas, kenapa sih ide soal “rapture” (pengangkatan orang beriman ke surga) ini begitu menarik, nggak cuma buat umat Kristen, tapi juga buat yang lain. Dan yang lebih penting, gimana kepercayaan soal akhir zaman ini bisa nyebar dan nempel di kepala kita semua.

Kenapa Kiamat Lebih Laris dari Gorengan di Bulan Puasa?

Coba deh perhatiin, film-film blockbuster Hollywood, novel-novel best seller, sampai game online, banyak banget yang temanya soal kiamat atau post-apocalyptic. Zombie, virus mematikan, perang nuklir, atau bencana alam dahsyat – semua kayak jadi menu wajib. Kayak ada semacam obsesi kolektif sama kehancuran. Apa karena kita udah bosen sama cerita cinta segitiga?

Mungkin juga karena kita ngerasa nggak punya kendali atas banyak hal. Harga kebutuhan pokok naik terus, politik makin nggak jelas, cuaca ekstrem makin sering terjadi. Daripada pusing mikirin solusi, mendingan bayangin aja sekalian dunia hancur. Kan, nggak perlu lagi bayar pajak.

Atau, jangan-jangan, kita semua cuma lagi cari sensasi. Hidup ini kan kadang-kadang membosankan. Kerjaannya gitu-gitu aja, macet tiap hari, pacar juga gitu-gitu aja. Nah, dengan bayangin kiamat, kita bisa ngerasain adrenalin kayak lagi main roller coaster. Lumayan buat ngilangin stres.

Tapi, di balik semua itu, ada juga sih alasan yang lebih serius. Banyak orang yang ngerasa sistem yang ada sekarang udah nggak bener. Ketimpangan sosial makin lebar, kerusakan lingkungan makin parah, korupsi makin merajalela. Jadi, ide soal kiamat ini bisa jadi semacam harapan, bahwa suatu saat nanti semuanya bakal berubah, entah gimana caranya.

“Rapture”: Ketika Iman Jadi Tiket VIP ke Surga

Nah, soal “rapture” ini, menarik juga buat dibahas. Buat sebagian umat Kristen, “rapture” adalah momen ketika orang-orang beriman diangkat ke surga sebelum masa kesengsaraan besar terjadi di Bumi. Kayak dapat tiket VIP gitu deh. Yang nggak punya tiket, ya, silakan merasakan azab dunia.

Tapi, kenapa sih ide ini begitu populer? Mungkin karena menjanjikan kepastian. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini, “rapture” menawarkan harapan bahwa ada rencana yang lebih besar, bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi yang akan menyelamatkan kita dari semua kekacauan ini. Kayak main game yang udah ada cheat-nya gitu deh.

Selain itu, “rapture” juga bisa jadi semacam pelarian. Daripada berusaha memperbaiki dunia yang rusak ini, mendingan fokus aja sama diri sendiri, biar nanti bisa dapat tiket ke surga. Kayak prinsip “yang penting gue selamat” gitu deh.

Tapi, yang menarik, ide soal akhir zaman ini nggak cuma laku di kalangan umat Kristen aja. Banyak juga orang yang nggak percaya agama, tapi tetep aja mikirin soal kiamat. Mungkin karena mereka ngerasa ada yang salah dengan dunia ini, dan butuh perubahan yang radikal. Atau, jangan-jangan, mereka cuma pengen ikutan tren aja.

Dari Ramalan Kiamat Sampai Podcast: Akhir Zaman di Era Digital

Dulu, ramalan kiamat cuma bisa kita denger dari mulut ke mulut atau dari buku-buku kuno. Sekarang, dengan adanya internet dan media sosial, informasi soal kiamat ini bisa nyebar dengan kecepatan cahaya. Teori konspirasi, video YouTube, artikel-artikel provokatif – semuanya bikin kita makin yakin bahwa dunia ini emang udah mau kiamat.

Podcast seperti yang dibawakan Brittany Luse ini jadi salah satu cara buat ngobrolin soal kiamat dengan cara yang lebih santai dan relatable. Nggak perlu dengerin khotbah panjang lebar atau baca buku tebal-tebal. Cukup dengerin obrolan asyik sambil nyantai di rumah.

Tapi, hati-hati juga. Jangan sampai kita jadi terlalu paranoid dan percaya sama semua informasi yang kita denger. Kiamat emang seru buat dibahas, tapi jangan sampai bikin kita lupa buat menikmati hidup dan melakukan hal-hal yang positif.

Jadi, kiamat atau nggak, yang penting kita tetep jadi manusia yang baik, bayar pajak tepat waktu, dan jangan lupa ngopi. Siapa tahu, dengan begitu, kita bisa bikin dunia ini jadi lebih baik, atau setidaknya, lebih layak buat ditinggali.

Previous Post

C. Viper Street Fighter 6 Siap Debut! Gameplay Trailer & Outfit Baru Terungkap

Next Post

Fantasy Life i: DLC Gratis “The Sinister Broker Bazario’s Schemes” Siap Rilis!

Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *