Siapa Sangka, Cover Lagu Bisa Jadi Drama?
Musik memang universal, tapi selera? Jangan ditanya. Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan cover lagu ikonis era 80-an, “Bette Davis Eyes,” yang dinyanyikan ulang oleh JoJo Siwa. Sayangnya, reaksi publik nggak sepositif yang diharapkan. Bahkan, ada yang bilang kalau ini “pelecehan” terhadap lagu klasik. Hmm, lebay nggak, sih?
Mengapa “Bette Davis Eyes” Begitu Ikonis?
“Bette Davis Eyes” bukan sekadar lagu jadul. Dirilis tahun 1981, lagu ini langsung meroket dan menjadi anthem bagi banyak orang. Kombinasi antara lirik yang catchy, melodi yang adiktif, dan vokal Kim Carnes yang serak-serak basah, bikin lagu ini punya daya tarik yang sulit ditolak. Nggak heran kalau lagu ini masih sering diputar sampai sekarang. Lagu ini juga jadi queer anthem, sebuah fakta menarik mengingat kontroversi cover yang kita bahas.
Lagu ini bukan cuma sukses secara komersial, tapi juga dapat pengakuan dari kritikus musik. “Bette Davis Eyes” berhasil meraih penghargaan Grammy Award untuk Record of the Year dan Song of the Year. Jadi, wajar aja kalau banyak orang punya ekspektasi tinggi terhadap cover lagu ini. Bayangin aja, kayak nyoba masak rendang resep nenek, pasti deg-degan, kan?
JoJo Siwa dan “Bette Davis Eyes”: Sebuah Eksperimen yang Kontroversial
JoJo Siwa, dengan gaya enerjik dan image-nya yang colorful, mencoba menghadirkan versi “Bette Davis Eyes” yang lebih modern. Tapi, autotune yang berlebihan dan aransemen yang terlalu berbeda dari versi aslinya, justru membuat banyak penggemar kecewa. Sebagian besar komentar pedas datang karena mereka merasa lagu ini kehilangan esensinya.
Banyak yang bilang kalau cover JoJo Siwa ini terlalu “maksa” dan kehilangan sentuhan magis dari versi aslinya. Beberapa kritikus bahkan menyebutnya sebagai “bencana audio.” Tapi, ada juga yang membela JoJo dan mengatakan bahwa dia hanya mencoba memberikan interpretasi yang berbeda dan segar. Ya, namanya juga seni, kan? Selalu ada pro dan kontra.
Reaksi negatif terhadap cover ini nggak cuma datang dari penggemar biasa, tapi juga dari kalangan musisi dan kritikus musik. Banyak yang menyayangkan keputusan JoJo untuk menggunakan autotune secara berlebihan, karena dianggap merusak kualitas vokalnya. Mereka berpendapat bahwa autotune seharusnya digunakan untuk memperbaiki kekurangan, bukan untuk mengubah suara secara drastis. Ini nih pentingnya sound engineering.
Ketika Sang Legenda Ikut Bersuara: Kim Carnes “Menyindir” JoJo Siwa?
Yang lebih menarik, Kim Carnes, penyanyi asli “Bette Davis Eyes”, seolah ikut nimbrung dalam drama ini. Meskipun nggak secara langsung menyebut nama JoJo Siwa, beberapa tweet-nya dianggap sebagai sindiran halus terhadap cover yang kontroversial itu. Netizen dengan sigap menerjemahkan setiap kata dan emoji yang digunakan Kim Carnes sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap cover JoJo Siwa.
Salah satu tweet Kim Carnes yang paling banyak dibahas adalah ketika dia menulis, “Sometimes a song is a moment in time.” Banyak yang menganggap tweet ini sebagai sindiran terhadap JoJo Siwa, karena seolah mengatakan bahwa “Bette Davis Eyes” seharusnya tetap dikenang sebagai lagu klasik yang nggak perlu diubah-ubah. Drama banget, kan?
Meskipun Kim Carnes nggak secara eksplisit mengkritik JoJo Siwa, tapi timing dan konteks dari tweet-nya membuat banyak orang yakin bahwa dia memang nggak terlalu suka dengan cover tersebut. Bahkan, ada yang bilang kalau Kim Carnes cuma pengen mengingatkan JoJo Siwa untuk lebih berhati-hati dalam menginterpretasikan lagu klasik. Intinya, jaga warisan budaya musik, lah!
Autotune: Teman atau Musuh Musik?
Kontroversi seputar cover “Bette Davis Eyes” ini kembali memicu perdebatan tentang penggunaan autotune dalam musik. Sebagian orang berpendapat bahwa autotune adalah alat yang berguna untuk memperbaiki vokal dan menciptakan efek suara yang unik. Tapi, sebagian lainnya menganggap autotune sebagai “dosa besar” yang merusak keaslian dan kejujuran dalam musik.
Penggunaan autotune memang bisa memberikan sentuhan modern pada sebuah lagu, tapi kalau digunakan secara berlebihan, justru bisa menghilangkan karakter vokal penyanyi. Bayangin aja kayak foto yang diedit terlalu banyak, jadi kelihatan nggak natural. Padahal, keunikan dan karakter vokal itulah yang seringkali membuat sebuah lagu jadi istimewa.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa selera musik itu subjektif. Apa yang menurut kita jelek, mungkin menurut orang lain bagus. Yang penting, setiap musisi punya kebebasan untuk berekspresi dan menciptakan karya sesuai dengan visi mereka. Jadi, jangan terlalu judgemental, ya? Mungkin JoJo Siwa punya alasan tersendiri mengapa dia memilih menggunakan autotune dalam cover “Bette Davis Eyes.”
Pelajaran dari “Drama Cover Lagu”: Hargai Warisan Musik, Tapi Jangan Takut Berkreasi
Kontroversi seputar cover “Bette Davis Eyes” ini memberikan kita beberapa pelajaran penting. Pertama, penting untuk menghargai warisan musik dan menjaga keaslian lagu-lagu klasik. Kedua, kita juga nggak boleh takut untuk berkreasi dan memberikan sentuhan modern pada lagu-lagu tersebut. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan antara menghormati masa lalu dan merangkul masa depan.
Yang jelas, cover JoJo Siwa ini berhasil membuat “Bette Davis Eyes” kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan generasi muda. Mungkin ini juga salah satu tujuan JoJo Siwa: mengenalkan lagu klasik ini kepada audiens yang lebih luas. Meskipun caranya kontroversial, tapi hasilnya cukup efektif, kan?
Jadi, gimana menurut kamu? Apakah cover JoJo Siwa ini pantas dicibir? Atau justru layak diapresiasi karena berani tampil beda? Apapun pendapatmu, yang penting kita tetap menikmati musik dan menghargai setiap karya seni. Siapa tahu, cover yang kita anggap jelek hari ini, justru jadi lagu favorit kita di masa depan. Who knows?
Ingat, selera itu personal. Jangan sampai drama cover lagu merusak playlist kamu!