Dark Mode Light Mode

Kim Carnes Tanggapi Kontroversi Cover ‘Bette Davis Eyes’ JoJo Siwa

Dunia musik memang penuh kejutan, drama, dan kadang, sedikit sindiran halus. Bayangkan saja, lagu yang sudah melegenda, di-cover oleh generasi baru, dan… reaksi sang penyanyi asli? It’s complicated, seperti status hubunganmu dengan mantan.

Musik adalah bahasa universal, tapi interpretasi bisa jadi sangat personal. Lagu yang sama bisa jadi soundtrack patah hati untuk seseorang, dan anthem semangat untuk yang lain. Cover lagu adalah salah satu cara musisi menunjukkan apresiasi, sekaligus memberi sentuhan personal pada karya orang lain. Tapi, bagaimana jika sang empunya lagu kurang terkesan?

Ketika Legenda Bertemu Generasi Z: Cover ‘Bette Davis Eyes’ JoJo Siwa

‘Bette Davis Eyes’, lagu yang dipopulerkan Kim Carnes pada tahun 1981, kembali viral di kalangan Gen Z berkat cover dari JoJo Siwa. Versi Siwa memang punya vibe yang berbeda, lebih enerjik dan pop-punk, khas gaya Siwa. Namun, reaksi Kim Carnes justru menuai perdebatan di kalangan penggemar.

Kim Carnes, melalui unggahan TikTok yang kini sudah dihapus, memberikan komentar yang cukup menusuk. Ia menulis, “Ada perbedaan antara menyanyikan sebuah lagu… dan menghayatinya….” Lanjutannya, “Aku selalu percaya otentisitas adalah yang membuat musik abadi. Aku selamanya berterima kasih menjadi suara di balik lagu ini… Bette Davis Eyes.” Ouch! Seolah menyiratkan bahwa versi Siwa kurang “menghayati” esensi lagu.

Reaksi Carnes ini tentu saja memicu berbagai opini. Ada yang setuju bahwa otentisitas adalah kunci, ada pula yang membela Siwa dan menyebut cover-nya sebagai interpretasi ulang yang segar. Ingat, music is subjective, kan? Yang penting, streaming-nya jalan terus!

Asal Usul ‘Bette Davis Eyes’: Lebih dari Sekadar Cover

Perlu diingat juga, guys, bahwa versi Kim Carnes pun sebenarnya adalah cover dari lagu yang ditulis oleh Jackie DeShannon dan Donna Weiss pada tahun 1974. Jadi, ironisnya, Carnes mengkritik cover Siwa, padahal versinya sendiri juga merupakan interpretasi ulang.

Lagu ini meraih sukses besar di tahun 1981, menduduki puncak Billboard Hot 100 selama sembilan minggu berturut-turut dan memenangkan Grammy Awards untuk Song of the Year dan Record of the Year pada tahun 1982. Kesuksesan ini membuktikan bahwa interpretasi Carnes pada lagu ini memang sangat berkesan.

Kebangkitan kembali lagu ‘Bette Davis Eyes’ di kalangan Gen Z, selain karena cover Siwa, juga dipengaruhi oleh musisi lain seperti Ethel Cain. Bahkan, Cain menyebut singlenya ‘Fuck Me Eyes’ sebagai “penghormatan” untuk lagu tersebut, dan menganggapnya sebagai salah satu lagu pop favoritnya sepanjang masa. Ini menunjukkan daya tarik lintas generasi dari lagu klasik ini.

Kontroversi JoJo Siwa: Lebih dari Sekadar Musik

Di luar urusan cover-meng-cover lagu, JoJo Siwa juga sempat menuai kontroversi terkait paket VIP konsernya. Ia menawarkan paket seharga $900 di mana penggemar bisa “membantu” menyiapkan pertunjukan. Seriously?

Banyak yang mengkritik Siwa karena dianggap meminta penggemar untuk “membayar untuk bekerja” di konsernya. Ada juga yang berkomentar sinis, “Kalau aku membantu menyiapkan, seharusnya aku masuk gratis!” Memang, kadang ide kreatif bisa jadi blunder kalau kurang dipikirkan matang-matang.

Selain itu, pada September lalu, komite Eurovision Polandia membantah klaim Siwa bahwa ia sedang “berdiskusi” untuk mewakili negara tersebut di ajang Eurovision 2025. Sepertinya, ambisi Siwa untuk go internasional mendapat sedikit hambatan.

Otentisitas vs. Interpretasi: Seni Itu Subjektif

Kasus ‘Bette Davis Eyes’ ini membuka diskusi menarik tentang otentisitas dalam musik dan seni. Apakah seorang musisi harus selalu setia pada esensi asli sebuah lagu, atau boleh bebas berkreasi dengan interpretasi versinya sendiri?

Jawabannya tentu saja subjektif. Tidak ada aturan baku dalam seni. Yang terpenting adalah karya tersebut tetap memiliki nilai artistik dan mampu menyampaikan pesan yang diinginkan.

Lagipula, musik adalah evolusi. Setiap generasi punya selera dan preferensi yang berbeda. Apa yang dianggap “keren” di era 80-an, mungkin terdengar “ketinggalan zaman” di era TikTok.

Jadi, apakah cover JoJo Siwa “layak”? Itu tergantung telinga dan preferensi masing-masing pendengar. Yang jelas, perdebatan ini membuktikan bahwa musik selalu punya daya tarik untuk diperbincangkan. Keep the music playing!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kapan kira-kira iPhone 17 akan diumumkan

Next Post

Wisatawan Disarankan Jaga Kesehatan Sebelum Liburan ke Bali