Dark Mode Light Mode

Kisah Ketahanan dan Kelangsungan Hidup Lintas Zaman dan Batas: Implikasi bagi Indonesia

Seberapa sering kamu merasa cerita kita, cerita kamu, nggak cukup terwakili? Tenang, kamu nggak sendirian. Ada banyak suara yang layak didengar, dan Dena Igusti adalah salah satunya. Seorang seniman queer Muslim keturunan Indonesia, lahir dan besar di Elmhurst, Queens, New York, yang karyanya bikin kita mikir, ketawa (sedikit), dan yang paling penting, merasa dilihat.

Mengenal Dena Igusti: Suara dari Queens untuk Dunia

Dena Igusti bukan sekadar penulis atau penyair. Mereka adalah seorang storyteller sejati. Karyanya, mulai dari puisi hingga drama, mencerminkan perjalanan identitas, ketahanan, dan penemuan diri. Bayangkan tumbuh besar di antara dua budaya, dua identitas, dua dunia – itulah yang menjadi bahan bakar kreativitasnya.

Drama “What You Are To Me”: Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Drama terbaru Dena, What You Are to Me, yang merupakan bagian dari National Queer Theater’s Criminal Queerness Festival, adalah bukti nyata keberanian mereka. Drama ini menceritakan kisah Sarii, seorang penyanyi yang bercita-cita menjadi bintang pop lesbian di Jakarta, Indonesia. Hidupnya berubah ketika bertemu seorang jurnalis mahasiswa dan keduanya menjadi bagian penting dari gerakan zine dan skena lesbian underground.

Namun, kerusuhan 1998 memaksa Sarii pindah ke Amerika. Tekanan ekonomi dan keluarga memaksanya menikahi teman keluarga. Bertahun-tahun kemudian, putrinya, yang juga seorang queer diaspora Indonesia, menemukan arsip tentang gerakan zine dan masa lalu ibunya. Sebuah cerita tentang identitas, sejarah, dan rahasia keluarga terungkap.

Mengapa Cerita Ini Penting?

Dena Igusti nggak cuma pengen menghibur, tapi juga mengarsipkan sejarah komunitas Indonesia-Amerika, terutama di Elmhurst, Queens. Mereka ingin menunjukkan bagaimana pengalaman komunitas ini selaras dengan sejarah queer Indonesia diaspora. Lebih dari itu, ini adalah cerita Amerika – tentang nilai-nilai universal yang dialami semua komunitas di Amerika.

Ketika Seni Menghadapi Sensor

Dena dengan cerdas menyelipkan kritik terhadap otoritarianisme dan sensor dalam karyanya. Pertanyaannya, apakah ini disengaja? Jawabannya kompleks. Dena mulai menulis What You Are to Me sekitar tahun 2020. Saat drama ini diproduksi, banyak yang bertanya bagaimana mereka tahu tentang sensor yang akan terjadi.

Ternyata, materi sumber sudah ada sejak draf pertama. Bukan niatnya untuk memberikan peringatan, tapi materinya adalah respons langsung terhadap tindakan sensor yang klasik. Situasi di AS saat ini, dengan pemotongan dana untuk program seni, dan di Indonesia, dengan upaya untuk menulis ulang sejarah, membuat drama ini semakin relevan. Bayangkan, drama ini jadi semacam ramalan, tapi nggak sengaja!

Transformasi dari Pre-Med ke Dunia Sastra

Dena memulai kariernya di jalur yang “aman” – pre-med/biologi. Tapi, takdir berkata lain. Pengalaman di acara open mic mengubah segalanya. Mereka menemukan bahwa menulis puisi bukan cuma tugas akademis, tapi cara untuk mengekspresikan diri.

Bergabung dengan tim poetry slam mengajarkan Dena tentang pentingnya performa, suara, emosi, dan kolaborasi. Pengalaman ini membentuk karier sastra mereka, membuat mereka terbuka terhadap feedback dan menghargai proses editing. Dena membuktikan bahwa perubahan haluan itu mungkin, dan bahkan bisa sangat sukses.

Queer, Muslim, Indonesia: Identitas yang Merayakan Keberagaman

Dena Igusti adalah representasi dari keberagaman identitas. Sebagai queer, Muslim, dan keturunan Indonesia, mereka membawa perspektif unik ke dalam karya-karyanya. Mereka menjelajahi kompleksitas identitas ini dengan jujur dan berani. Pengalaman pribadi dan wawancara dengan perempuan queer Indonesia yang terkena dampak kediktatoran Suharto menjadi inspirasi bagi karakter-karakternya.

Dena sangat berhati-hati dalam menyajikan cerita-cerita ini, mempertimbangkan keamanan diri sendiri dan keluarganya, serta komunitas Muslim Indonesia yang harus menghadapi pengawasan dari dua sistem pemerintahan.

Arsip Komunitas: Menjaga Cerita Tetap Hidup

Dena Igusti punya misi yang jelas: untuk terus menceritakan dan berbagi kisah komunitasnya. Mereka ingin merayakan keajaiban dan rasa ingin tahu, mengabadikan kenangan orang-orang terkasih. Dena nggak mau dikategorikan dalam genre tertentu. Mereka ingin memiliki tanggung jawab untuk mengarsipkan perjalanan komunitasnya dan mentransfer keabadian ini dalam seni.

Misalnya, menulis drama atau puisi yang membahas kerusuhan 1998 di Indonesia, sekaligus mengkritik sensor dan keterlibatan pemerintah Barat. Meskipun ada upaya untuk menyensor karyanya, Dena percaya bahwa karya seni dapat hidup di tempat lain, melampaui batas negara.

Seni Melawan Sensor: Kekuatan Cerita

Festival National Queer Theater Criminal Queerness Pride 2025 adalah contoh nyata bagaimana seni dapat melawan sensor. Festival ini menceritakan kisah orang-orang yang disensor, ditahan, atau bahkan dibunuh oleh negara asal mereka. Namun, kisah mereka tetap hidup melalui seni.

Warga New York sekarang tahu tentang kisah-kisah ini karena mereka ada dalam seni, melampaui batas negara. Bagi Dena Igusti, mampu melakukan itu sebagai seorang penulis dan seniman adalah suatu kehormatan dan tanggung jawab yang besar. Intinya, seni itu nggak bisa dibungkam, guys!

Pesan untuk Generasi Z dan Milenial

Kisah Dena Igusti adalah inspirasi bagi kita semua. Jangan takut untuk mengeksplorasi identitasmu, menceritakan kisahmu, dan menggunakan seni sebagai alat untuk perubahan. Siapa tahu, ceritamu bisa menginspirasi dunia! Ingat, suara kita penting, dan kita punya kekuatan untuk membuat perbedaan. Jadi, teruslah berkarya, teruslah bercerita, dan jangan pernah menyerah pada impianmu.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Radiohead: Era Baru Gemilang Menjelajah Indonesia

Next Post

Pengembang Dispatch Bahas ESPN, COVID, dan Telltale Games: Dampaknya Bagi Industri