Eh, pernah nggak sih kepikiran, kenapa sih kita suka banget kepo sama urusan orang lain? Tapi, giliran urusan sendiri, eh, malah bingung mau mulai dari mana. Nah, ini mirip sama nasib jurnalis yang satu ini.
Ketika Pena Lebih Tajam dari Pedang (Eh, Nggak Juga Sih)
Bayangin, kamu nulis artikel yang menurutmu kritis dan membangun, eh, malah dapat "hadiah" berupa teror dan intimidasi. Inilah yang dialami oleh YF, seorang kolumnis di detik.com, setelah menerbitkan artikelnya yang berjudul "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?". Artikel ini, yang mengangkat isu penempatan jenderal militer di posisi sipil, sayangnya berujung pada penghapusan artikel tersebut demi keamanan sang penulis. Ironis, kan?
Artikel yang diterbitkan pada Kamis pagi, 22 Mei 2025, itu sontak ditarik oleh detik.com dengan alasan keamanan penulis. Detik.com menjelaskan bahwa penghapusan dilakukan atas permintaan penulis sendiri, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Mereka juga mengklarifikasi pernyataan sebelumnya yang menyebutkan adanya rekomendasi dari Dewan Pers. “Kami mohon maaf atas kekeliruan ini,” tulis detik.com di situs web mereka.
Menurut informasi yang beredar, setelah artikelnya diterbitkan, YF mengalami dua insiden terpisah dengan pengendara motor yang mencurigakan. Kejadian pertama terjadi saat mengantar anaknya ke sekolah, di mana ia diserempet dan didorong oleh dua orang yang mengenakan helm full-face. Siangnya, kejadian serupa terulang dengan pelaku dan sepeda motor yang berbeda, yang lagi-lagi menyebabkan YF terjatuh. Duh, kayak adegan di film action, tapi ini bukan skenario.
Merasa takut dan terancam, YF kemudian meminta agar artikelnya dihapus. Awalnya, permintaan ini ditolak karena prosedur standar penghapusan artikel opini memerlukan rekomendasi dari Dewan Pers. Detik.com menyarankan YF untuk mengajukan pengaduan ke Dewan Pers terlebih dahulu, yang kemudian ia lakukan. Namun, hingga saat ini, belum ada surat atau rekomendasi resmi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
AJI Angkat Bicara: Ini Bukan Sinetron, Ini Represi!
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan tegas mengutuk intimidasi terhadap kolumnis detik.com tersebut. Erick Tanjung, Koordinator Advokasi AJI Indonesia, menyatakan bahwa insiden ini merupakan bentuk intimidasi yang nyata dan upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ia menekankan bahwa artikel tersebut menawarkan perspektif kritis terhadap keterlibatan militer dalam kehidupan sipil.
"AJI menganggap tindakan intimidasi dan penghapusan artikel sebagai pola represi yang mengingatkan pada praktik otoriter masa lalu, dan merupakan ancaman langsung terhadap demokrasi dan hak-hak konstitusional," ujarnya. AJI dengan keras mengecam segala bentuk pembungkaman, baik terhadap warga sipil maupun jurnalis.
Kebebasan Pers: Antara Ideal dan Realita
Kasus YF ini membuka mata kita tentang kebebasan pers dan berekspresi di era digital. Kita seringkali mengagung-agungkan kebebasan, tapi ketika kebebasan itu menyentuh power yang punya kuasa, eh, mendadak jadi ciut. Ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan besar dalam mewujudkan kebebasan pers yang sesungguhnya di Indonesia.
Padahal, di era information overload seperti sekarang, peran media dan jurnalis sangat penting sebagai watchdog atau pengawas kekuasaan. Mereka bertugas untuk mengungkap fakta, mengkritisi kebijakan, dan memberikan suara bagi mereka yang kurang didengar. Tapi, bagaimana kalau jurnalisnya sendiri justru diintimidasi dan dibungkam? Kan nggak lucu.
So, What's Next?
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini? Pertama, kebebasan berekspresi itu penting, tapi bukan tanpa batas. Kita harus bijak dalam menggunakan kebebasan tersebut dan bertanggung jawab atas apa yang kita tulis atau katakan. Kedua, perlindungan terhadap jurnalis harus ditingkatkan. Negara harus hadir untuk melindungi mereka dari ancaman dan intimidasi. Ketiga, kita sebagai masyarakat juga punya peran penting. Kita harus berani membela kebebasan pers dan berekspresi, serta melawan segala bentuk pembungkaman.
AJI mendesak negara, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk turun tangan dan mengatasi masalah ini. Organisasi tersebut menyerukan kepada negara untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan menghentikan tindakan represif yang melanggar konstitusi.
Mungkin kita nggak bisa mengubah dunia dalam semalam. Tapi, dengan berani berbicara dan melawan ketidakadilan, kita bisa membuat perbedaan. Ingat, diam itu emas, tapi kadang juga bisa jadi tanda kita setuju dengan ketidakbenaran.
Intinya, kasus YF ini adalah wake-up call bagi kita semua. Bahwa kebebasan itu harus diperjuangkan, dijaga, dan dibela. Jangan sampai kita kembali ke zaman di mana suara-suara kritis dibungkam dan kebenaran disembunyikan.