Dark Mode Light Mode

Kondisi Pendukung Peningkatan Pendanaan Pengelolaan Sampah Padat: Studi Kasus di Indonesia dan Brasil

Dunia ini sedang hot banget, bukan cuma karena cuaca yang kadang bikin males keluar rumah, tapi juga karena gas metana yang bikin pemanasan global makin menjadi-jadi. Sadar nggak sadar, tumpukan sampah organik yang kita buang setiap hari itu berkontribusi signifikan terhadap masalah ini. Tapi, tenang, bukan berarti kita nggak bisa ngapa-ngapain!

Sampah Organik: Biang Kerok Pemanasan Global yang Sering Diabaikan

Hampir separuh (45%!) pemanasan global saat ini disebabkan oleh emisi metana yang dihasilkan manusia, dan sekitar 20% dari angka itu berasal dari sampah, baik padat maupun cair. Ironisnya, dana yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah organik justru minim banget. Kebanyakan duitnya malah lari ke proyek-proyek besar seperti insinerator yang waste-to-energy (sampah jadi energi). Padahal, solusi yang lebih sederhana dan dekat dengan masyarakat justru seringkali terlewatkan.

Fokus Dana yang Salah Arah: Insinerator vs. Solusi Lokal

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2021/22, sekitar 94% (USD 4,08 miliar) dana untuk mengurangi metana di sektor sampah dialokasikan untuk insinerator. Sementara itu, hanya 1% (USD 20 juta) yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah organik. Lebih parah lagi, proyek-proyek besar ini seringkali mengabaikan peran serta masyarakat lokal, khususnya di negara-negara berkembang. Padahal, merekalah yang paling terkena dampak dari pengelolaan sampah yang buruk dan justru seringkali terlibat langsung dalam aksi mitigasi iklim.

Studi Kasus Indonesia dan Brazil: Siapa yang Lebih Efisien?

Untuk melihat gambaran yang lebih jelas, Climate Policy Initiative (CPI) bekerja sama dengan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) melakukan analisis keuangan terhadap berbagai model bisnis pengelolaan sampah di Indonesia dan Brazil. Hasilnya cukup mengejutkan.

Anggaran Terbatas dan Fokus pada Proyek Skala Besar

Alokasi anggaran publik untuk pengelolaan sampah di Indonesia dan Brazil terbilang rendah dan cenderung dialokasikan untuk proyek-proyek skala besar. Brazil sedikit lebih baik dengan alokasi antara 1,9% hingga 5,1% dari anggaran masing-masing kota, sementara Indonesia hanya 0,3% hingga 2,4%. Angka ini tentu saja jauh dari kata ideal jika kita ingin serius mengatasi masalah sampah.

Model Desentralisasi: Lebih Murah, Lebih Efektif?

Salah satu temuan penting dari studi ini adalah bahwa operator pengelolaan sampah dengan model desentralisasi (seperti kelompok masyarakat di Indonesia, koperasi pemulung, dan kompos rumah tangga di Brazil) menunjukkan potensi efisiensi biaya yang lebih besar. Mereka ini, dengan segala keterbatasan yang ada, justru mampu memberikan solusi yang cost-effective.

Biaya Pengelolaan Sampah (LCOW): Siapa Juaranya?

Dalam hal Levelized Cost of Waste Management (LCOW), kelompok masyarakat di Indonesia memiliki angka USD 28-63/ton, lebih kompetitif dibandingkan operator swasta (USD 11-92/ton) dan pemerintah (USD 49-59/ton). Di Brazil, kompos rumah tangga bahkan mencatatkan LCOW terendah, yaitu USD 1,69-19,12/ton, disusul koperasi pemulung (USD 17,63-20,90/ton), operator pemerintah (USD 22,96-46,36/ton), dan operator swasta (USD 74,65-324,10/ton). Intinya, solusi lokal nggak kalah, bahkan bisa lebih unggul!

Keunggulan Model Desentralisasi: Modal Kecil, Dampak Besar

Model desentralisasi mampu mencapai efisiensi biaya karena beberapa keunggulan, terutama dalam hal capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex). Capex untuk aset tetap (misalnya, pembelian lahan) menjadi penghalang utama bagi pemain industri besar, tetapi tidak terlalu berpengaruh bagi model desentralisasi seperti kompos rumah tangga.

Tenaga Kerja: Aset Berharga di Sektor Pengelolaan Sampah

Opex menjadi cost driver utama bagi semua kelompok di kedua negara, kecuali untuk kompos rumah tangga di Brazil. Menariknya, biaya tenaga kerja merupakan pengeluaran operasional terbesar (74% hingga 98% di Indonesia dan 48% hingga 90% di Brazil). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pengelolaan sampah sangat labor-intensive dan berpotensi besar untuk menciptakan lapangan kerja. Jadi, nggak cuma soal lingkungan, tapi juga soal ekonomi!

Manfaat Tambahan: Lebih dari Sekadar Mengurangi Sampah

Model bisnis yang dioperasikan oleh pemerintah dan masyarakat memiliki manfaat tambahan (co-benefits) yang signifikan. Manfaat ini meliputi penciptaan lapangan kerja, penyediaan pangan dari pertanian yang menggunakan hasil samping pengelolaan sampah, serta peningkatan kualitas udara dan air karena berkurangnya emisi metana dan CO2 dari pengolahan dan pengangkutan sampah.

Tantangan Pendanaan: Ketergantungan pada Aset Jangka Pendek

Kelompok masyarakat memiliki struktur modal yang paling kompleks, terdiri dari pendanaan dari entitas swasta (49%), pemerintah (48%), serta hibah dari corporate social responsibility (CSR) dan sumber filantropi (3%). Namun, pendanaan operasional mereka sepenuhnya berasal dari pendapatan operasional. Hal ini bisa menciptakan tekanan finansial, terutama karena volume pengolahan sampah yang kecil dan ketergantungan tinggi pada tenaga kerja meningkatkan biaya operasional per ton. Ketergantungan pada aset jangka pendek juga meningkatkan kebutuhan kelompok masyarakat akan arus modal berulang, sehingga menekan mekanisme pendanaan mereka. Perlu solusi yang lebih berkelanjutan!

Rekomendasi Aksi: Saatnya Bergerak!

Berdasarkan temuan-temuan di atas, ada beberapa langkah yang direkomendasikan untuk meningkatkan pendanaan bagi pengelolaan sampah organik di Indonesia dan Brazil:

  1. Rancang pendekatan holistik untuk pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah nggak boleh dipandang sebagai isu yang terpisah. Harus dihubungkan dengan sektor-sektor penting lainnya seperti kesehatan, lingkungan, dan mitigasi perubahan iklim.

  2. Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan pekerja informal. Karena sektor publik maupun swasta nggak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan pengelolaan sampah sendirian, pemerintah harus memimpin, mengoordinasi, dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pekerja informal dan kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah.

  3. Buat indikator yang terukur dan transparan untuk mengevaluasi implementasi intervensi pengelolaan sampah. Proyek publik maupun swasta harus memiliki sistem pemantauan dan evaluasi dengan indikator yang terukur, termasuk untuk menghitung penghematan anggaran dari pengelolaan sampah organik di hulu.

  4. Ciptakan status hukum/kepastian bagi pemangku kepentingan informal di sektor pengelolaan sampah. Penting untuk membuat kontrak hukum antara semua operator pengelolaan sampah, termasuk penyedia layanan informal, dengan pemerintah atau entitas lain yang menerima layanan, untuk memastikan arus kas dan akses yang sama terhadap pembiayaan proyek dari bank atau lembaga keuangan swasta lainnya.

Investasi pada Solusi Lokal: Masa Depan Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang dan alokasi dana untuk pengelolaan sampah. Investasi pada solusi lokal yang melibatkan masyarakat dan pekerja informal bukan hanya lebih efisien secara biaya, tapi juga memberikan manfaat sosial dan lingkungan yang lebih besar. Bayangkan, lingkungan bersih, lapangan kerja tercipta, dan masyarakat sejahtera. Siapa yang nggak mau?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Saoirse Ronan Bintangi Video 'Psycho Killer' Talking Heads: Simbolisme Tersembunyi?

Next Post

Tantangan Mingguan Gran Turismo 7: Lampu Lalu Lintas - GTPlanet, Berpacu dengan Waktu