Dark Mode Light Mode

Konflik dengan Tiongkok: Akses Selat Indonesia Terancam

Oke, ini dia artikelnya:

Dari Guam ke Darwin: Apakah Kita Lupa Indonesia?

Bayangkan ini: armada kapal perang canggih dan jet tempur siluman siap beraksi di Indo-Pasifik. Tapi, tunggu dulu! Bagaimana mereka bisa sampai ke sana secepat kilat jika harus melewati labirin birokrasi dan negosiasi yang rumit? Ironisnya, di tengah investasi miliaran dolar untuk infrastruktur militer, satu hal krusial sering terlupakan: akses yang terjamin melalui Indonesia.

Posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menjadikannya jalur vital untuk setiap operasi militer di kawasan. Tanpa akses yang lancar melalui perairan dan wilayah udaranya, seluruh strategi pertahanan kita bisa terancam lumpuh. Kita sudah fokus pada hardware dan pangkalan militer di depan, tapi apakah kita sudah memberikan perhatian yang cukup pada tantangan aksesibilitas regional?

Dalam situasi krisis, bukan hanya jumlah bomber atau submarine yang menentukan, melainkan apakah Indonesia mengizinkan akses dan berpihak pada operasi sekutu. Akses yang terhambat melalui Asia Tenggara, khususnya Indonesia, bisa membatalkan semua investasi besar yang telah kita lakukan. Pangkalan di Guam atau Australia utara tidak bisa menutupi celah dalam mobilitas pasukan melalui Selat Sunda, Lombok, dan Makassar.

Kemitraan AS-Australia, yang selama ini mengandalkan Australia untuk beroperasi di wilayah dekatnya dan AS untuk proyeksi kekuatan di tempat yang lebih jauh, kini menghadapi tantangan baru. Semakin banyak aset militer AS ditempatkan di Australia melalui penempatan rotasi, infrastruktur kapal selam, dan pusat logistik, operasi sekutu akan semakin bergantung pada transit melalui Asia Tenggara. AUKUS, misalnya, memperdalam integrasi militer, tapi belum menyentuh isu jalur transit melalui Indonesia.

Hukum internasional memang menjamin hak kapal dan pesawat asing untuk transit melalui alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan innocent passage melalui perairan teritorialnya, bahkan di masa perang. Tapi, kenyataannya, Jakarta telah memberi sinyal untuk mengatur transit militer lebih ketat dari yang diatur UNCLOS. Peraturan tahun 2018 mewajibkan pesawat asing untuk memberitahu otoritas Indonesia sebelum melintas.

Dilema Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Setelah pengumuman kemitraan keamanan AUKUS, seorang anggota parlemen Indonesia menegaskan bahwa ALKI tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan perang atau persiapan perang. Ini adalah kode keras bahwa Indonesia tidak akan otomatis mendukung operasi militer Barat. Indonesia punya hak untuk menjaga kedaulatannya, kan?

Perencanaan strategis kita belum sepenuhnya menyadari kebutuhan mendesak untuk menjamin akses melalui Asia Tenggara. Tidak ada kerangka kerja bersama antara AS dan Australia, atau antara sekutu dan mitra utama di Asia Tenggara, yang memetakan peran, batasan, dan jaminan akses dalam situasi konflik. Kebijakan luar negeri non-blok Indonesia membuat ekspektasi kerja sama pasif menjadi sangat berisiko. Jakarta tidak akan otomatis mendukung operasi Barat dan mungkin menolak terlibat.

Menganggap Indonesia akan bekerja sama tanpa membangun fondasi diplomasi yang kuat adalah kesalahan fatal dalam perencanaan pertahanan kita. Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto terus memprioritaskan strategic autonomy, menyeimbangkan hubungan dengan AS, Tiongkok, dan negara lain, sambil menghindari aliansi formal.

Pertemuan Prabowo dengan Vladimir Putin untuk membahas penguatan hubungan bilateral dan penandatanganan deklarasi kemitraan strategis, serta minat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, menggarisbawahi komitmen Jakarta untuk diversifikasi kemitraan internasionalnya. Ini bukan berarti Indonesia anti-Barat, hanya saja mereka punya agenda sendiri.

Uji Ketahanan Strategi: Skenario Akses Ditolak

Australia dan sekutunya harus mempertimbangkan untuk menguji ketahanan strategi mereka melalui skenario akses yang ditolak melalui Indonesia, seperti blokade ALKI atau pembatasan penerbangan. Tanpa perencanaan seperti itu, pertahanan kita akan lebih didasarkan pada asumsi daripada realisme operasional. Bayangkan, seluruh rencana kita berantakan hanya karena satu negara memutuskan untuk tidak kooperatif. Ups.

Bahkan jika penutupan ALKI secara formal melanggar hukum internasional, sekutu tidak bisa mengandalkan Jakarta untuk mematuhi UNCLOS jika merasa tertekan atau kedaulatannya terancam. Kesejajaran politik sama pentingnya dengan hak hukum. Kita perlu merayu Indonesia, bukan hanya mengandalkan hukum.

Membangun Kepercayaan Strategis: Kunci Akses Berkelanjutan

Jika pertahanan ingin kredibel, itu harus tampak koheren tidak hanya untuk musuh, tetapi juga untuk mitra. Respon yang terfragmentasi atau tidak terkoordinasi meningkatkan risiko salah perhitungan. Tanpa kesejajaran regional yang jelas, sinyal tekad sekutu akan kurang berpengaruh. Indonesia adalah simpul geopolitik utama di Asia Tenggara.

Koordinasi yang tenang dengan Jakarta akan secara signifikan meningkatkan legitimasi dan jangkauan operasional strategi sekutu. Indonesia bukan hanya sekadar peta di atas meja, mereka adalah pemain utama dengan kepentingan dan aspirasi sendiri.

Pertahanan di Indo-Pasifik tidak hanya dibangun di atas pangkalan dan hardware. Ini akan dibentuk oleh akses. Sementara inisiatif di Guam dan Darwin memperkuat kehadiran sekutu, nilai strategis penuh mereka bergantung pada memungkinkan akses regional, khususnya melalui Indonesia. Pengaruh nyata akan bergantung pada pembangunan kepercayaan strategis melalui dialog pertahanan dan keterlibatan tingkat tinggi yang berkelanjutan yang menghormati otonomi Indonesia sambil menawarkan insentif nyata untuk kerja sama.

Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan blok BRICS menandakan pivot strategis menuju penguatan hubungan dengan negara-negara berkembang. Ini menggarisbawahi keinginan Jakarta untuk memainkan peran yang lebih menonjol dalam urusan global, secara independen dari kerangka kerja yang dipimpin Barat.

Posisi depan tidak berarti banyak tanpa rute yang layak melalui Indonesia. Sudah waktunya bagi strategi sekutu untuk memperlakukan akses Asia Tenggara bukan sebagai kenyamanan, tetapi sebagai persyaratan inti untuk stabilitas regional. Kita perlu membangun jembatan, bukan hanya membangun benteng.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Pasar Kreasi Pemain Mecha Break Terancam Karena Satu Kekurangan Fatal

Next Post

Harga Pixel 10 Pro Agresif Google: Ancaman bagi Kompetitor