Di jantung hutan Siberut, Mentawai, gema kehidupan primata terancam. Bayangkan saja, spesies-spesies yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan ekosistem Mentawai kini berjuang untuk bertahan hidup. Ini bukan sekadar cerita tentang hewan langka, ini tentang warisan budaya yang terancam punah. Ironisnya, ancaman itu datang dari modernisasi dan hilangnya kearifan lokal.
Mentawai, gugusan pulau di lepas pantai Sumatera, Indonesia, adalah rumah bagi enam spesies primata endemik. Lima di antaranya, seperti simakobu (pig-tailed langur), joja pagai (Mentawai langur), dan bokkoi siberut (Siberut macaque), secara tradisional menjadi buruan. Satu spesies yang selalu dihormati adalah bilou (Kloss's gibbon), karena dianggap sebagai pembawa pesan spiritual.
Namun, perubahan zaman telah mengikis tradisi berburu yang berkelanjutan. Deforestasi merajalela dan hilangnya praktik adat telah menyebabkan semua primata di pulau itu kini berstatus terancam punah atau sangat terancam punah. Ini bukan hanya tragedi ekologis, tetapi juga pukulan bagi identitas budaya Mentawai.
Melihat keadaan ini, muncul secercah harapan dari akar rumput. Malinggai Uma Tradisional Mentawai, sebuah organisasi yang dipimpin oleh masyarakat adat, berjuang untuk melindungi primata dengan menghidupkan kembali adat Mentawai. Mereka percaya bahwa konservasi harus sejalan dengan budaya.
Monyet Mentawai: Antara Mitos dan Kepunahan
Krisis yang menimpa primata Mentawai sangat memprihatinkan. Populasi simakobu diperkirakan telah menurun drastis, mencapai 80-90% dalam 36 tahun terakhir. Sementara bilou, satu-satunya kera di Mentawai, mengalami penurunan lebih dari 50% dalam 45 tahun. Ironisnya, bilou adalah salah satu jenis gibbon yang paling sedikit dipelajari di dunia. Ini seperti mencoba menyelamatkan lukisan Mona Lisa tanpa mengetahui apa itu kanvas.
Perburuan memainkan peran penting dalam penurunan ini. Sebuah studi memperkirakan bahwa ribuan primata diburu setiap tahun di Pulau Siberut saja. Dahulu, perburuan diatur oleh aturan adat yang ketat, berdasarkan kepercayaan animisme, yang membantu mencegah perburuan berlebihan. Tapi kini? Aturan itu semakin dilanggar.
Sayangnya, errosi budaya Mentawai dan nilai-nilai animisme melemahkan hukum adat yang mengatur perilaku berburu. Perburuan telah berevolusi dari kegiatan subsisten tradisional menjadi kegiatan oportunistik. Dulu berburu menggunakan panah beracun, sekarang pakai senapan angin. Progress? Mungkin. Smart progress? Belum tentu.
Hilangnya habitat juga menjadi ancaman utama. Izin penebangan hutan yang dikeluarkan pemerintah, seringkali tanpa persetujuan masyarakat adat, membuka lahan hutan yang luas untuk eksploitasi komersial. Ini seperti memberikan kunci brankas kepada perampok. Penebangan skala kecil, baik legal maupun ilegal, juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Ironi, kan?
Hutan Siberut: Saksi Bisu Konflik Kepentingan
Ketika tim Malinggai Uma Tradisional Mentawai berpatroli di hutan Siberut, mereka sering menemukan tumpukan kayu yang baru ditebang. Suara gergaji mesin adalah simfoni yang menyedihkan, melambangkan kehancuran habitat primata. Menurut mereka, penebangan ilegal skala kecil didorong oleh permintaan dari industri pariwisata selancar yang berkembang pesat di Mentawai.
"Resort-resort itu mengklaim tidak tahu dari mana kayu itu berasal," kata Dami, salah satu pendiri Malinggai Uma Tradisional Mentawai. "Tapi mereka tahu." Ini seperti pura-pura tidak tahu siapa yang menghabiskan snack di kulkas kantor. Everyone knows.
Namun, primata memiliki makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat Mentawai, terutama bilou. Hewan ini dianggap sebagai yang paling dekat dengan manusia dan secara sentral ditampilkan dalam mitos, cerita, dan seni. Sikerei, tabib tradisional, memanggil bilou dalam beberapa ritual, meniru panggilan dan gerakannya melalui lagu dan tarian. Bilou dikatakan sebagai "penjaga hutan", mengawasi kegiatan manusia di hutan dan memperingatkan manusia ketika ada sesuatu yang salah.
Konservasi dari Akar Rumput: Menyentuh Hati, Mengubah Pikiran
Malinggai Uma Tradisional Mentawai berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat. Mereka bermitra dengan dewan desa, memantau populasi primata, dan berbagi pengetahuan melalui pertemuan desa. Mereka juga bekerja dengan guru di sekolah-sekolah untuk mendidik anak-anak tentang konservasi hutan. Tujuannya bukan untuk menghilangkan perburuan, tetapi untuk mendorong metode tradisional: busur dan panah alih-alih senapan, dan perburuan seremonial di atas perburuan oportunistik.
"Penting untuk mengajarkan generasi muda tentang pentingnya primata dan melindungi hutan," kata Ismael, anggota tim. "Anak-anak saya sangat tertarik dengan konservasi." Ini seperti menanam benih harapan di hati generasi mendatang.
Masa Depan Primata Mentawai: Antara Harapan dan Tantangan
Malinggai Uma Tradisional Mentawai memiliki tujuan jangka panjang yang ambisius. Mereka berharap untuk menetapkan kawasan lindung di tanah klan dan membangun pusat rehabilitasi untuk primata lokal yang diselamatkan. Dengan pendanaan yang cukup, mereka ingin mempekerjakan pemburu sebagai penjaga hutan dan pendidik.
"Pemburu tahu yang paling banyak tentang primata," kata Dami. "Dan begitu mereka memiliki insentif, kita bisa mulai mengubah pola pikir mereka." Ini seperti mengubah gamer profesional menjadi game developer.
Namun, upaya konservasi ini masih bergantung pada dukungan komunitas dan dedikasi anggota tim. Mereka juga menghadapi tantangan besar: kemiskinan, tekanan ekonomi, dan resistensi dari beberapa anggota masyarakat.
Walaupun begitu, perjuangan Malinggai Uma Tradisional Mentawai memberikan pelajaran penting. Konservasi yang efektif harus dipimpin oleh masyarakat adat, mengintegrasikan nilai-nilai budaya, dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Masa depan primata Mentawai bergantung pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas, antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan monyet, ini tentang menyelamatkan jiwa Mentawai.