Bayangkan begini: dunia ini panggung PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), dan kontrasepsi adalah loot yang tercecer di mana-mana. Ada yang langsung diambil tanpa pikir panjang, ada yang diabaikan karena ribet, dan ada juga yang ditinggalkan begitu saja setelah dipakai sebentar. Kenapa? Karena, eh, ternyata kurang asoy. Nah, inilah masalah yang selama ini kurang disorot: kepuasan seksual dalam penggunaan kontrasepsi.
Selama ini, diskusi soal kontrasepsi lebih sering berkutat pada angka-angka, efektivitas, dan efek samping medis. Padahal, urusan ranjang itu kompleks. Bayangkan, sudah susah payah mencari pasangan, eh, ternyata alat kontrasepsinya bikin sesi “mabar” jadi lagging. Alhasil, banyak yang akhirnya uninstall kontrasepsi dan kembali ke “permainan” tanpa pengaman.
Sexual and Reproductive Health Matters (SRHM), The Pleasure Project, dan UN’s Special Programme in Human Reproduction (HRP) baru saja merilis hasil penelitian yang cukup menggemparkan. Mereka melakukan tinjauan sistematis tentang hubungan antara kepuasan seksual dan penggunaan kontrasepsi. Hasilnya? Ternyata, kepuasan seksual punya pengaruh besar terhadap keberlangsungan penggunaan kontrasepsi.
Penelitian ini, yang akan diterbitkan di SRHM Journal pada Hari Kontrasepsi Sedunia, 26 September 2025 (catat tanggalnya, siapa tahu ada diskon!), mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diabaikan. Misalnya, bagaimana sih kontrasepsi bisa memengaruhi kenikmatan bercinta? Apa saja faktor-faktor yang bikin orang berhenti pakai kontrasepsi karena urusan ranjangnya jadi kurang seru?
Kontrasepsi: Antara Efektivitas dan Kenikmatan yang Terlupakan
Kita sering lupa bahwa seks bukan cuma soal reproduksi. Ada dimensi kenikmatan, kepuasan, dan keintiman yang juga penting. Jika kontrasepsi malah menghalangi semua itu, ya wajar saja kalau banyak yang merasa kurang sreg. Ibaratnya, beli mobil mahal tapi ternyata rodanya kotak, kan bikin emosi jiwa.
Penelitian ini mencoba membuka mata para pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan, dan para ahli lainnya. Bahwa, desain program kontrasepsi seharusnya tidak hanya fokus pada pencegahan kehamilan, tapi juga memperhatikan kualitas hidup seksual penggunanya. Jangan sampai, demi mencegah “game over” kehamilan, kita malah mengorbankan kesenangan dalam “game” itu sendiri.
Acara peluncuran penelitian ini akan dimeriahkan oleh para ahli di bidangnya. Ada Sapna Desai (Editor in Chief, SRHM), Theresa Mae Caragan (Youth Advisor, Plan International), Dr. Lianne Gonsalves (Technical Officer, HRP dan WHO), Dr. Faysal El Kak (President, World Association of Sexual Health), Dr. Samukeliso Dube (Executive Director, FP2030), dan Anne Philpott (Founder, The Pleasure Project). Mereka akan membahas temuan penelitian ini dari berbagai perspektif.
Efek Samping Kontrasepsi: Bukan Cuma Mual dan Pusing
Selama ini, kita lebih sering mendengar tentang efek samping kontrasepsi seperti mual, pusing, atau perubahan berat badan. Padahal, ada efek samping lain yang tak kalah penting, yaitu penurunan libido, disfungsi ereksi, atau rasa sakit saat berhubungan seks. Efek-efek samping ini mungkin tidak mengancam jiwa, tapi bisa bikin hubungan jadi renggang dan kualitas hidup menurun.
Bayangkan, sudah capek kerja seharian, eh, giliran mau “healing” di ranjang malah zonk. Akibatnya, stres makin menumpuk, emosi jadi tidak stabil, dan akhirnya uninstall kontrasepsi. Ironis, kan? Padahal, niatnya baik, eh, malah jadi bumerang.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya komunikasi antara pasangan. Jangan sampai, masalah kepuasan seksual dipendam sendiri dan jadi bom waktu. Kalau ada yang kurang nyaman dengan kontrasepsi yang dipakai, bicarakan baik-baik dengan pasangan dan cari solusi bersama. Ingat, “co-op mode” itu lebih seru daripada main sendiri.
Solusi Kontrasepsi: Personalize Your Gameplay
Lantas, apa solusinya? Penelitian ini menyarankan agar program kontrasepsi lebih personal dan responsif terhadap kebutuhan individu. Jangan cuma menawarkan satu jenis kontrasepsi untuk semua orang. Berikan informasi yang lengkap tentang berbagai pilihan kontrasepsi, termasuk potensi efek sampingnya terhadap kepuasan seksual.
Selain itu, penting juga untuk melibatkan para ahli seksologi dan psikolog dalam merancang program kontrasepsi. Mereka bisa memberikan edukasi dan konseling tentang seksualitas yang sehat dan menyenangkan. Jangan sampai, urusan ranjang cuma jadi beban dan kewajiban. Seks itu seharusnya jadi sumber kebahagiaan dan keintiman.
Pikirkan seperti ini: setiap orang punya gaya bermain yang berbeda. Ada yang suka main solo, ada yang lebih suka mabar. Ada yang jago main sniper, ada yang lebih ahli dalam pertarungan jarak dekat. Begitu juga dengan kontrasepsi. Tidak ada satu jenis kontrasepsi yang cocok untuk semua orang. Penting untuk mencari kontrasepsi yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan masing-masing.
Masa Depan Kontrasepsi: Bukan Sekadar Mencegah Kehamilan
Penelitian ini membuka babak baru dalam diskusi tentang kontrasepsi. Bahwa, kontrasepsi bukan hanya soal mencegah kehamilan, tapi juga soal meningkatkan kualitas hidup seksual. Jika kontrasepsi bisa bikin hubungan jadi lebih harmonis dan menyenangkan, kenapa tidak?
Ke depan, kita berharap akan ada lebih banyak penelitian tentang hubungan antara kontrasepsi dan kepuasan seksual. Dengan begitu, kita bisa merancang program kontrasepsi yang lebih efektif, aman, dan menyenangkan. Jangan sampai, demi mencegah “game over” kehamilan, kita malah mengorbankan kesenangan dalam “game” itu sendiri. Bukankah lebih asyik kalau bisa menang dan tetap merasa puas?
Jadi, mari kita tinggalkan paradigma lama yang hanya fokus pada angka-angka dan efek samping medis. Saatnya untuk melihat kontrasepsi dari perspektif yang lebih holistik. Bahwa, seks itu bukan cuma soal reproduksi, tapi juga soal kebahagiaan dan keintiman. Dan kontrasepsi seharusnya menjadi alat untuk mencapai semua itu, bukan malah menghalanginya.