Dark Mode Light Mode

Kontroversi Kalender Hijriyah Global: Kritik Profesor Astronomi dan Tanggapan Muhammadiyah

Jangan panik dulu soal kalender! Kita semua tahu betapa pentingnya tanggalan, apalagi kalau menyangkut hari raya. Tapi, bagaimana kalau kalender yang kita pakai ternyata sedikit berbeda dengan kalender "global"? Nah, di situlah drama (kecil) dimulai. Mari kita bahas Kalender Hijriah Global, yang tampaknya menimbulkan sedikit kerutan di dahi beberapa ahli di Indonesia.

Kontroversi Kalender Hijriah Global: Kenapa Ribut?

Kalender Hijriah Global (KHG), yang juga dikenal sebagai Kalender Hijriah Tunggal Global, sebenarnya punya tujuan mulia: menyatukan umat Muslim di seluruh dunia dalam penentuan tanggal-tanggal penting. Bayangkan, nggak perlu lagi debat kusir soal kapan Lebaran atau puasa dimulai. Tapi, sepertinya perjalanan menuju kesatuan ini tidak semulus jalan tol.

Salah satu kritik utama datang dari Prof. Thomas Djamaluddin, seorang pakar astronomi dan astrofisika dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Beliau berpendapat bahwa KHG lebih condong pada perhitungan matematis semata dan mengabaikan rukyatul hilal, yaitu pengamatan hilal atau bulan sabit secara visual. Ini, menurutnya, justru berpotensi menimbulkan lebih banyak perbedaan. Jadi, bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah? Hmm, menarik…

Mabims vs. KHGT: Duel Dua Kriteria Penentuan Awal Bulan

Perbedaan pandangan ini muncul karena adanya perbedaan kriteria dalam penentuan awal bulan Hijriah. Pemerintah Indonesia, bersama dengan Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura (Mabims), menggunakan kriteria yang disepakati bersama. Sementara itu, KHG menggunakan kriteria yang berbeda, yang diklaim lebih "global."

Contohnya, dalam penentuan 1 Muharam 1447 Hijriah. Menurut KHGT, 1 Muharam jatuh pada 26 Juni 2025. Sementara itu, pemerintah Indonesia menetapkan 1 Muharam sebagai hari libur nasional pada 27 Juni 2025. Perbedaan ini terjadi karena pada saat matahari terbenam pada 25 Juni 2025, posisi hilal di kawasan Asia Tenggara belum memenuhi kriteria Mabims. Tapi, menurut kriteria KHGT, posisi bulan sudah memenuhi syarat karena ijtima' (konjungsi) terjadi sebelum fajar di Selandia Baru.

Perbedaan ini nggak cuma soal satu hari, lho. Potensi perbedaan juga bisa terjadi dalam penentuan awal Ramadan dan hari-hari penting lainnya. Bayangkan, satu keluarga ada yang mulai puasa duluan, ada yang belakangan. Bisa jadi bahan jokes saat buka puasa, sih, tapi tetap saja, kan?

Muhammadiyah Pasang Badan: Argumen Ilmiah di Balik Kalender Global

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam yang menggunakan Kalender Hijriah Global, tentu saja punya jawaban atas kritik ini. Mereka punya argumen ilmiah yang cukup kuat untuk mendukung penggunaan KHG. Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, seorang ahli astronomi dari Muhammadiyah, menjelaskan bahwa fase bulan, termasuk hilal, adalah fenomena global. Sementara itu, pengamatan hilal (rukyatul hilal) bersifat lokal.

Artinya, meskipun hilal tidak terlihat di suatu wilayah karena posisinya di bawah horizon, secara astronomis hilal tetap ada setelah ijtima'. Ijtima' menandai akhir siklus bulan dan awal keberadaan hilal, meskipun belum bisa dilihat dengan mata telanjang. Jadi, hilal yang masih di bawah horizon tetap dianggap sebagai hilal yang definitif dalam konteks global. Dengan kata lain, walaupun nggak kelihatan, tetep ada!

Logika Elongasi: Bulan Bergerak Terus, Kok!

Perubahan fase bulan berkorelasi dengan elongasi, yaitu jarak sudut antara Matahari dan Bulan. Setelah ijtima', elongasi terus bertambah seiring waktu. Jadi, hilal yang awalnya berada di bawah horizon di suatu wilayah akan terus tumbuh dan menjadi terlihat di wilayah lain. Dalam konteks global, jika kemungkinan melihat hilal terpenuhi di satu tempat, maka hilal dianggap ada secara global, meskipun di wilayah lain bulan masih di bawah horizon. Ini seperti prinsip “Kalau satu bisa, berarti semua juga bisa!” (dengan sedikit modifikasi astronomi, tentu saja).

Awal Hari di KHGT: Tengah Malam Itu Universal?

Konsep awal hari dalam KHGT mengacu pada pendapat Jamaluddin Abdur Razzaq dari Maroko, yang mengusulkan bahwa awal hari seharusnya dimulai pada pukul 00:00 secara global. Artinya, tengah malam di sekitar garis tanggal internasional. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita sepakat bahwa tengah malam itu universal?

Implikasi bagi Penentuan Hari Raya: Seragam atau Beragam?

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah penggunaan KHG akan membuat penentuan hari raya lebih seragam atau justru semakin beragam? Jawabannya, mungkin keduanya. KHG berpotensi menyatukan umat Muslim di seluruh dunia dalam satu kalender, tapi juga berisiko mengabaikan perbedaan geografis dan tradisi lokal dalam pengamatan hilal.

Konsistensi dalam Ibadah: Apa yang Lebih Penting?

Lalu, apa yang lebih penting: konsistensi global atau kesesuaian dengan tradisi lokal? Ini pertanyaan filosofis yang jawabannya mungkin berbeda-beda bagi setiap individu dan komunitas. Yang jelas, penting untuk memahami argumen dari kedua belah pihak sebelum membuat keputusan.

Fleksibilitas vs. Rigiditas: Mencari Titik Tengah

KHG, di satu sisi, menawarkan fleksibilitas karena memungkinkan kita untuk mengadopsi kalender yang seragam tanpa terikat pada pengamatan lokal. Di sisi lain, rigiditas KHG dalam mengabaikan perbedaan geografis dan tradisi lokal dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian orang. Mencari titik tengah antara fleksibilitas dan rigiditas adalah kunci untuk mencapai kesepakatan.

Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Lalu, kita sebagai generasi Z dan millennial, apa yang sebaiknya kita lakukan? Yang terpenting adalah tetap tenang dan stay informed. Jangan langsung percaya semua informasi yang beredar. Cari tahu lebih dalam, baca artikel dari berbagai sumber, dan dengarkan pendapat para ahli.

Belajar dari Perbedaan: Menuju Toleransi Kalender?

Perbedaan pendapat soal kalender ini sebenarnya bisa menjadi kesempatan untuk belajar tentang toleransi dan saling menghargai perbedaan. Ingat, tujuan kita semua sama: beribadah dengan sebaik-baiknya. Perbedaan kalender nggak seharusnya menjadi penghalang untuk mencapai tujuan tersebut.

Astrotourism sebagai Solusi Alternatif?

Selain perdebatan kalender, ada juga lho inisiatif menarik seperti astrotourism. Pemerintah Kabupaten Bandung bekerja sama dengan BRIN untuk mengembangkan wisata berbasis astronomi. Mungkin, dengan melihat langsung keindahan langit dan bintang-bintang, kita bisa lebih menghargai perbedaan perspektif dan menemukan kesamaan dalam keagungan alam semesta.

Kesimpulan: Santai Aja, yang Penting Akur

Intinya, perdebatan soal Kalender Hijriah Global ini masih akan terus bergulir. Yang penting, kita tetap santai dan berusaha untuk memahami perspektif orang lain. Toh, perbedaan itu indah, kan? Asal jangan sampai perbedaan kalender bikin kita nggak akur, ya!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

KREATOR Hampir Selesai Album Studio ke-16, FRÉDÉRIC LECLERCQ: 'Pasti Dahsyat'

Next Post

Kesempatan Terbatas: Assassin's Creed Shadows, Super Mario Odyssey, dan Diskon Heboh Lainnya