Dark Mode Light Mode

Kontroversi Primal Rage: Ibu Keluhkan Fatality Chaos, Best Buy dan Target Menarik Produk

Siapa bilang video game itu cuma buat anak kecil? Di era controller dan streaming, video game udah jadi bagian dari budaya pop, bahkan bisa memicu drama yang lebih seru dari sinetron. Bayangkan, gara-gara satu fatality, sebuah game ditarik dari rak toko! Inilah kisah Primal Rage, game fighting dinosaurus yang sempat bikin heboh dunia gaming di tahun 90-an.

Perlu diingat, industri game saat itu masih dalam masa pertumbuhan. Regulasi belum seketat sekarang, dan konten game seringkali jadi perdebatan panas di kalangan orang tua dan media. Primal Rage, dengan visualnya yang gore dan karakter-karakter dinosaurus yang sangar, jelas bukan untuk anak di bawah umur.

Kasus Primal Rage ini bukan sekadar soal game yang dianggap terlalu kasar. Ini adalah cerita tentang bagaimana persepsi, rating game, dan peran orang tua bertemu (atau lebih tepatnya, bertabrakan) dalam pusaran kontroversi. Ditambah lagi, internet belum semasif sekarang, jadi informasi menyebar dari mulut ke mulut, bahkan mungkin dilebih-lebihkan.

Kontroversi Primal Rage: Gara-Gara Kencing Asam

Inti dari masalah ini adalah sebuah fatality yang dilakukan oleh karakter Chaos, dinosaurus kera yang hobi pipis asam ke lawannya yang sudah kalah. Iya, benar, pipis asam. Kedengarannya konyol? Memang, tapi bagi sebagian orang tua, adegan ini dianggap terlalu vulgar dan tidak pantas untuk anak-anak.

Salah satu kasus yang paling terkenal adalah Ellie Rovella, seorang ibu di Arizona yang membelikan game Primal Rage untuk anaknya yang berusia 11 tahun. Meskipun game tersebut diberi rating T (Teen, 13+) oleh ESRB, Rovella tetap membelinya.

Setelah melihat fatality Chaos, Rovella merasa geram dan mengembalikan game tersebut. Tidak hanya itu, dia juga melakukan kampanye untuk menarik Primal Rage dari peredaran. Bayangkan, seorang ibu melawan perusahaan game raksasa!

Hasilnya? Cukup mengejutkan. Target menarik game tersebut dari 22 tokonya, sementara Best Buy bahkan menariknya dari 251 toko di seluruh Amerika Serikat. Ini adalah bukti betapa kuatnya suara konsumen, terutama jika mereka punya alasan yang kuat (dan sedikit lebay, mungkin).

ESRB: Penyelamat atau Sekadar Formalitas?

Yang menarik, meskipun Primal Rage sempat ditarik dari peredaran, game tersebut tetap mendapatkan rating T dari ESRB. Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem rating game. Apakah rating tersebut benar-benar mencerminkan konten game? Apakah orang tua benar-benar memperhatikan rating sebelum membelikan game untuk anak-anak mereka?

Mungkin, ESRB adalah pedoman, tapi tanggung jawab utama tetap ada di tangan orang tua. Mereka harus aktif mencari tahu tentang konten game yang dimainkan anak-anak mereka, bukan sekadar mengandalkan label rating.

Strategi PR yang Cerdas (atau Cuek)?

Time Warner Interactive, penerbit Primal Rage, ternyata tidak terlalu khawatir dengan kontroversi ini. Alasannya sederhana: pertama, mereka lebih memilih toko tidak menjual game daripada menghadapi protes atau boikot. Kedua, Primal Rage sudah melewati masa puncak penjualan, jadi penarikan game dari toko tidak akan berdampak signifikan pada pendapatan mereka.

Ini adalah strategi PR yang cukup cerdas (atau mungkin cuek). Mereka tidak berusaha membela diri atau meredakan kontroversi. Mereka hanya membiarkan masalah itu mereda dengan sendirinya. Mungkin, mereka tahu bahwa kontroversi justru akan membuat game tersebut semakin terkenal.

Volleyball Manusia: Ironi yang Terlupakan

Ironisnya, selain fatality pipis asam, Primal Rage juga punya fitur lain yang cukup kontroversial: pemain bisa bermain voli dengan manusia di tengah pertarungan. Tapi, fitur ini sepertinya luput dari perhatian Rovella dan media.

Mungkin, pipis asam lebih menjijikkan daripada melempar-lempar manusia? Atau mungkin, orang lebih fokus pada hal-hal yang dianggap “seksual” daripada “kekerasan”? Apapun alasannya, ironi ini menunjukkan betapa subjektifnya persepsi orang tentang konten game.

Legacy Primal Rage: Pelajaran untuk Industri Game

Kasus Primal Rage memberikan beberapa pelajaran penting untuk industri game. Pertama, konten game harus diatur dengan jelas dan transparan. Kedua, orang tua harus berperan aktif dalam mengawasi game yang dimainkan anak-anak mereka. Ketiga, perusahaan game harus lebih sensitif terhadap isu-isu sosial dan budaya.

Meskipun Primal Rage mungkin tidak sepopuler Mortal Kombat atau Street Fighter, game ini tetap punya tempat tersendiri dalam sejarah video game. Game ini adalah pengingat bahwa video game bukan sekadar hiburan, tapi juga refleksi dari nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat.

Kesimpulan: Jangan Remehkan Kekuatan Satu Fatality

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari kisah Primal Rage? Jangan remehkan kekuatan satu fatality! Sebuah adegan sederhana (atau menjijikkan) bisa memicu kontroversi yang besar dan bahkan mengubah lanskap industri game. Dan ingat, rating game itu penting, tapi yang lebih penting adalah peran aktif orang tua dalam mengawasi apa yang dimainkan anak-anak mereka. Siapa tahu, game favorit anakmu berikutnya bisa jadi sumber drama yang lebih seru dari Primal Rage!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Diduga Gelapkan Aset, Ridwan Kamil Alihkan Kepemilikan Kendaraan ke Ajudan untuk Cuci Uang

Next Post

Rahasia Glowing Selebriti Hollywood: Ramuan Ajaib Ala L.A. Healer, Favorit Lady Gaga