Dark Mode Light Mode

Laura Jane Grace: Album Adventure Club, Sebuah Petualangan yang Mengecewakan

Siapa bilang hidup itu harus melulu soal drama dan air mata? Laura Jane Grace, the one and only, kembali hadir dengan album barunya, Adventure Club, yang seolah ingin bilang, “Hei, mari kita sedikit bersenang-senang di tengah kekacauan ini!” Setelah malang melintang di dunia musik anarcho-punk bersama Against Me! dan bersolo karir, Grace dikenal dengan lirik-liriknya yang tajam, menyuarakan protes sosial sekaligus curhatan personal. Tapi kali ini, ada yang beda.

Grace, yang dikenal dengan gaya penulisan lagu yang jujur dan seringkali pahit, tampaknya sedang mencoba untuk melihat sisi terang dari kehidupan. Bukan berarti trauma dan perjuangan hidupnya hilang begitu saja, tapi kali ini, ia memilih untuk tidak menjadikan hal tersebut sebagai pusat perhatian. Adventure Club adalah ajakan untuk menikmati hidup, bahkan di saat-saat sulit sekalipun. Kira-kira seperti, “Ya sudahlah ya, yang penting joged dulu!”

Trauma? Nggak Harus Melulu Jadi Bahan Bakar!

Album ini masih mengangkat tema-tema yang familiar dalam karya Grace: amarah, sakit hati, protes, dan cinta. Tapi, alih-alih larut dalam keputusasaan, Adventure Club justru bermain-main dengan narasi trauma transgender. Grace seolah ingin membuktikan bahwa seniman transgender tidak harus selalu berkarya tentang pengalaman traumatis mereka. Ia mencoba menyeimbangkan kegelapan dengan melodi gitar surf-rock yang ceria dan vokal yang berlapis-lapis. Dan yang lebih menarik lagi, ia menemukan humor di tengah situasi yang terasa seperti kiamat.

Grace tidak ingin terjebak dalam hiruk pikuk pemberitaan dan kebijakan yang kontroversial. Ia lebih memilih untuk memberikan refleksi yang cerdas dan penuh observasi. Ini bukan berarti ia lari dari masalah, tapi lebih kepada cara dia menghadapinya: dengan sedikit sinisme dan banyak humor. Karena, jujur saja, kadang kita butuh ketawa biar nggak gila.

Trauma Tropes: Band Baru, Semangat Baru

Di Adventure Club, Grace didukung oleh band barunya, Trauma Tropes. Kehadiran mereka memberikan sentuhan ringan dan menyenangkan di balik kepemimpinan Grace yang tetap kuat. Vokal Grace terdengar lebih kaya dan penuh energi, berpadu dengan harmonisasi vokal dari istrinya, Paris Campbell Grace. Musiknya pun terasa lebih lincah dan ringan.

Contohnya dalam lagu “Your God (God’s Dick),” sebuah sindiran terhadap agama yang menggelikan. Liriknya yang penuh dengan cock-and-balls jokes (maaf ya, tapi emang gitu adanya!) menjadi lebih berkesan berkat chorus Trauma Tropes yang terdengar seperti paduan suara gereja. Sentuhan humor ini membuat lagu tersebut tidak hanya terdengar kasar, tapi juga cerdas dan menggelitik. Ini menunjukkan bahwa Grace dan Trauma Tropes tahu betul bagaimana cara menyampaikan pesan tanpa harus terdengar menggurui.

Nggak Selalu Sempurna, Tapi Tetap Menggembirakan

Meskipun begitu, kolaborasi ini tidak selalu menghasilkan keseimbangan yang sempurna. Efek ceria yang dihadirkan Trauma Tropes terasa kurang terasa dalam lagu “Free Cigarettes,” sebuah lagu akustik yang terdengar tipis jika dibandingkan dengan lagu-lagu lainnya yang lebih full-throated. Selain itu, energi clubhouse terasa terlalu kuat dalam lagu “Espresso Freddie.” Lagu yang ditulis bersama bassist Jacopo “Jack” Fokas tentang kecintaan mereka pada kopi es Yunani ini terasa seperti lelucon internal yang kurang relevan dengan tema album secara keseluruhan.

Namun, kekurangan-kekurangan ini tidak mengurangi kenikmatan Adventure Club secara keseluruhan. Justru, ketidaksempurnaan ini membuat album ini terasa lebih manusiawi dan relatable. Kita semua pasti pernah mengalami momen-momen awkward dan nggak nyambung, kan?

Gitar Jagged, Lirik Melankolis: Kombinasi Maut!

Momen-momen terbaik dalam Adventure Club muncul ketika riff gitar yang tajam berpadu dengan lirik melankolis Grace. Dalam lagu “Poison in Me,” Grace bernyanyi, “Let’s get drunk and drown our problems/I’m not sure I can live without them” di atas beat yang menghentak. Bersama dengan lagu “New Years Day” yang bernuansa slacker-rock, kedua lagu ini mengeksplorasi dua sisi dari alkohol: malam sebelum dan pagi setelah. Grace berjuang dengan dirinya sendiri untuk tenggelam dan muncul kembali.

Kedua lagu ini menggambarkan dengan jujur bagaimana kita seringkali menggunakan alkohol sebagai pelarian dari masalah, tapi pada akhirnya justru terjebak dalam lingkaran setan. Grace tidak menghakimi, ia hanya menggambarkan realita yang dialami banyak orang. Ini adalah contoh bagaimana Grace mampu menggabungkan lirik yang personal dengan tema yang universal.

Queer dan Trans: Lebih dari Sekadar Trauma

Ketika menyentuh isu queer dan trans, Grace menghindari tema disforia dan penindasan. Ia lebih memilih untuk menyoroti dinamika interpersonal dan komunitas. Terlepas dari judulnya, lagu “Fuck You Harry Potter” sebenarnya bukan tentang kampanye anti-trans J. K. Rowling. Lagu ini terinspirasi oleh seorang pria Inggris mabuk yang bersikeras bahwa Grace mengingatkannya pada Eddie Redmayne. Sebuah komentar yang mungkin terasa menyakitkan atau merendahkan, tergantung bagaimana seseorang menerimanya.

Sementara itu, “Wearing Black” adalah perjalanan pusing melalui Chicago Pride. Grace menyebut nama Jojo Siwa sebelum menyatakan, “My Pride’s a riot/It’s not a parade.” Ia menyembunyikan anarki tongue-in-cheek di balik ritme barisan yang ceria. Lagu ini adalah perayaan identitas queer yang unik dan beragam. Grace ingin menunjukkan bahwa Pride tidak harus selalu tentang parade yang megah, tapi juga tentang pemberontakan dan ekspresi diri.

Lebih dari Sekadar Album, Ini adalah Statement

Adventure Club bukan hanya sekadar album musik. Ini adalah statement dari Laura Jane Grace. Ia ingin menunjukkan bahwa kita bisa menghadapi tantangan hidup dengan humor dan optimisme. Ia ingin menginspirasi kita untuk merayakan identitas kita, apa pun itu. Ia ingin mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian.

Jadi, tunggu apa lagi? Pasang headphone-mu, putar Adventure Club, dan bersiaplah untuk berdansa di tengah kekacauan! Siapa tahu, kamu bisa menemukan sedikit kebahagiaan di sana. Karena, pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk terlalu serius.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Gixel Raih €5 Juta: Terobosan Layar Optik Dorong AI dan Kacamata AR di Indonesia

Next Post

Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Program MBG Taskin BGN