Halo Gen Z dan Millennials! Siap membahas isu krusial yang seringkali terlupakan di tengah gempuran informasi dan konten receh? Mari kita bedah pentingnya literasi, bukan cuma sekadar bisa baca tulis, tapi lebih dari itu. Anggap saja, kemampuan literasi yang mumpuni itu seperti upgrade otak, bikin kita lebih aware, kritis, dan pastinya, lebih keren.
Makan Kenyang, Otak Cerdas? Mengupas Tuntas Program Makan Bergizi Gratis
Pemerintahan Prabowo punya ambisi besar dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG), mengalokasikan dana Rp171 triliun di tahun 2025. Targetnya, 82,9 juta orang di seluruh Indonesia akan merasakan manfaatnya. Mantap! Lebih dari 1.000 unit pelayanan gizi sudah beroperasi. Tujuannya mulia, mendukung Trisula Pembangunan Nasional 2029: pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Memberi makan memang langkah awal yang bagus, tapi apakah cukup?
MBG diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan prestasi pendidikan. Logikanya, perut kenyang, otak pun fokus belajar. Namun, kenyataannya, literasi butuh lebih dari sekadar nutrisi. Literasi itu perlu pembiasaan membaca, menulis, dan berpikir kritis secara konsisten. Ibaratnya, install software ke otak kita biar bisa processing informasi dengan benar.
Masalahnya, budaya literasi di Indonesia masih kurang dihargai. Bukan kurangnya informasi, justru kebanjiran! Yang kurang adalah kedalaman berpikir dan kemampuan memilah mana informasi yang benar-benar penting. Kita, generasi now, berisiko terjebak dalam shallow reading alias membaca dangkal, tanpa pemahaman mendalam. Ini bahaya, terutama di negara seperti Indonesia di mana fondasi literasi masih perlu diperkuat.
UNESCO mendefinisikan literasi bukan hanya kemampuan membaca, tapi juga menerapkan kemampuan itu untuk tujuan individu dan komunitas. Tanpa fondasi literasi yang kuat, makanan bergizi hanyalah bahan bakar tanpa dampak signifikan pada hasil belajar. Ibarat mobil mewah tanpa sopir handal, percuma!
Fakta Pahit: Kualitas Pendidikan Kita Masih Memprihatinkan
Fakta berbicara: kualitas pendidikan di Indonesia masih mengkhawatirkan. Di Bali, contohnya, ada siswa SMP yang belum bisa membaca. Ironis, kan? Belum lagi video viral yang menunjukkan anak sekolah kesulitan menjawab pertanyaan pengetahuan umum sederhana. Ini bukan hanya soal kurikulum, akses pendidikan, atau nutrisi. Ada elemen penting yang hilang: berpikir kritis.
Skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia juga mencerminkan tantangan ini. Skor matematika, membaca, dan sains kita jauh di bawah rata-rata OECD. Indonesia juga menempati peringkat 60 dari 61 negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia. Ini alarm!
Literasi di Indonesia: Antara Progres dan Tantangan
Secara kuantitas, Indonesia sebenarnya menunjukkan progres. Menurut International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA), kita punya ribuan perpustakaan. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) juga meningkat. Hampir 150 juta orang Indonesia aktif menggunakan media sosial. Akses informasi seharusnya bukan masalah.
Pemerintah juga sudah menginisiasi Gerakan Indonesia Membaca (GIM). Namun, anggaran untuk program literasi ini jauh lebih kecil dibandingkan MBG. Bahkan, sebagian anggaran Perpustakaan Nasional dipangkas. Idealnya, program literasi harus seambisius MBG, baik dari segi pendanaan maupun urgensi nasional.
Bangun Budaya Literasi: Lebih dari Sekadar Akses Buku
Membangun budaya literasi membutuhkan kebijakan yang inklusif, pendanaan yang memadai, dan implementasi yang terukur. Butuh pemimpin yang berani menempatkan literasi sebagai fondasi kebijakan pendidikan, bukan sekadar aksesori untuk mendongkrak nilai ujian. Jika MBG adalah strategi untuk memberi makan tubuh, maka literasi memberi makan pikiran. Keduanya harus berjalan seiringan.
Sekolah harus mengadakan sesi membaca luas rutin di mana siswa bisa memilih buku yang mereka sukai. Ini akan menumbuhkan minat baca dan memperkuat pemahaman serta kemampuan berpikir kritis. Guru juga perlu pelatihan literasi yang inklusif dan praktis untuk mendukung kebutuhan belajar siswa yang beragam.
Perpustakaan harus menjadi pusat belajar, bukan hanya tempat meminjam buku atau mengakses Wi-Fi gratis. Perpustakaan harus menjadi pusat eksplorasi dan diskusi. Di daerah terpencil, perpustakaan keliling dan literatur digital dapat membantu menjembatani kesenjangan akses dan mendukung transisi menuju fasilitas yang lebih permanen.
Selain itu, penting untuk memfasilitasi keterlibatan anak-anak dalam diskusi yang apresiatif dan setara sejak usia dini, di lingkungan yang memfasilitasi pelatihan mereka dalam penalaran dan pembentukan opini. Aktivisme digital juga dapat memperkaya wacana publik. Semua strategi ini dapat diterapkan melalui kerja sama yang tulus antara para pemangku kepentingan: kementerian, sekolah, perpustakaan, LSM, gerakan sosial, influencer, sektor swasta, dan kita semua sebagai anggota masyarakat.
Memberi makan anak-anak tanpa mengajari mereka berpikir adalah ambisi yang setengah-setengah. Tanpa keterampilan literasi yang kuat, investasi dalam nutrisi kehilangan daya ungkitnya untuk mengubah generasi berikutnya menjadi pembelajar yang mandiri, kritis, dan produktif. Jika pemerintah Indonesia benar-benar ingin mewujudkan Trisula Pembangunan Nasional, maka inilah saatnya untuk mengakui bahwa literasi bukanlah sekadar hasil pendidikan pelengkap — ia adalah landasan pendidikan. Nutrisi memberi energi pada tubuh; literasi membangun kapasitas untuk membentuk masa depan. Jadi, mari kita budayakan literasi, agar Indonesia semakin cerdas dan maju!