Pernah nggak sih lo dengerin musik yang bikin lo garuk-garuk kepala karena bingung ini genre apaan sih? Nah, kira-kira gitu deh kesan pertama denger album baru dari Machina Kore, Ghosts of Everest. Dijanjiin “Groovy Power Metal” tapi kok rasanya… beda. Beda gimana? Mari kita bedah satu per satu, siapa tahu lo nemuin hidden gem di tumpukan rilisan musik yang bejibun itu.
Musik metal emang kayak makanan – selera orang beda-beda. Ada yang sukanya pure power metal yang ngebut abis, ada yang lebih demen groove metal yang bikin badan pengen goyang. Nah, Machina Kore ini mencoba menggabungkan keduanya, tapi hasilnya… yah, lumayan bikin mikir. Mereka janjiin power metal yang catchy tapi malah dapet groove yang lebih dominan. Bukan berarti jelek, lho! Cuma ya, agak melenceng dari ekspektasi awal.
Ghosts of Everest secara tematis ngomongin tentang suka duka kehidupan, tentang ketahanan mental, dan tentang gimana caranya bangkit dari keterpurukan. Berat? Ya lumayan lah, namanya juga hidup. Tapi yang menarik, Machina Kore mencoba menyampaikan pesan-pesan ini lewat musik yang… unorthodox. Kita bahas lebih lanjut, yuk.
Machina Kore: Bukan Power Metal Biasa
Salah satu hal yang bikin Ghosts of Everest ini menarik adalah sound gitar dan bass-nya yang meaty. Lebih cocok dibilang mendekati death metal atau sludge metal daripada power metal. Bayangin deh, power metal tapi dengan sound yang heavy dan crunchy. Agak aneh, tapi surprisingly cocok.
Struktur lagu dan aransemennya sendiri lebih condong ke riffy power metal ala Nevermore, dengan sedikit sentuhan Sevendust dan Nonpoint. Jadi, bayangin aja power metal dikawinin sama alternative metal. Hasilnya? Ya itu tadi, bikin garuk-garuk kepala.
Nuansa grandeur ala Borealis juga terasa di beberapa lagu, yang bikin rata-rata durasi lagu di album ini jadi lumayan panjang, sekitar 5-7 menit. Chorusnya juga berputar-putar, nggak langsung to the point. Secara keseluruhan, pengalaman dengerin Ghosts of Everest ini unusual, tapi ada kok nilai plusnya.
Momen Keemasan di Tengah Gurun
Ghosts of Everest punya beberapa momen yang bener-bener shining. Tiga lagu pertama setelah intro (“Silver”) adalah contoh terbaik dari sound Machina Kore ketika mereka lagi on fire. Groove yang asik, riff yang mengguncang, dan chorus yang lumayan catchy bikin lagu-lagu ini langsung nancep di kepala.
Lagu “Goliath” dan “Death Mask” jadi highlight di tengah album. Energinya dapet banget, groove-nya bikin pengen moshing di ruang tamu, dan ada perubahan gaya dan struktur yang dinamis. Semuanya menyatu dengan baik, bikin transisi antar lagu terasa mulus.
Lagu penutup, “Ghosts of Everest”, juga patut diacungi jempol. Penggunaan melodi yang cerdas dan vokal yang paling stand out di album ini bikin lagu ini jadi penutup yang powerful dan bikin kita pengen dengerin album ini lagi dari awal.
Sayangnya… Masih Kurang Greget
Nah, ini dia bagian yang agak tricky. Di antara momen-momen keemasan itu, ada beberapa bagian yang terasa meandering alias muter-muter nggak jelas. Banyak lagu yang dibuka dengan jamming repetitif selama minimal satu setengah menit. Awalnya sih oke, buat bangun momentum, tapi lama-lama kok malah bikin bosen.
Masalah ini juga muncul di lagu “Alpha Luna” dan “Breathe”. Ada beberapa ide yang lumayan bagus, tapi sayangnya dirusak oleh komposisi yang nggak jelas arahnya. Solo gitar sesekali sih lumayan membantu, begitu juga dengan drumming yang cerdas (ini yang bikin “Death Mask” jadi stand out). Tapi ya, nggak cukup buat nyelametin enam menit lebih materi yang kurang inspiratif.
Potensi yang Belum Tergali Maksimal
Vokal bergaya post-grunge yang lumayan kompeten juga kadang kurang cocok dengan sound musiknya. Tapi ya, vokal ini juga kadang bikin kita jadi nostalgic sama era 90-an. So, it’s a mixed bag.
Machina Kore punya potensi yang besar. Mereka cuma perlu fokus di writing dan editing. Lagu-lagu mereka perlu dipadatkan, disederhanakan, dan difokuskan. Semua elemen yang dibutuhkan sebenarnya sudah ada, dari sound sampai riffcraft sampai perpaduan gaya yang nggak biasa. Mereka cuma belum bisa menyatukannya jadi satu kesatuan yang lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya.
Perlu Poles Lebih Lanjut
Persepsi adalah kunci. Dengan sedikit waktu dan ketekunan, Machina Kore bisa membawa kita ke puncak gunung Everest (secara musikal, tentunya) di album berikutnya. Album ini adalah bukti bahwa mereka punya skill, tapi masih butuh polesan lebih lanjut. Jadi, pantengin terus karya-karya mereka, siapa tahu lo nemuin sesuatu yang bener-bener mind-blowing! Intinya, jangan langsung nge-judge dari kesan pertama. Siapa tahu, Ghosts of Everest ini malah jadi guilty pleasure lo.