Dark Mode Light Mode

Manuver Pasifik Indonesia: Duit, Militer, dan Pembungkaman Papua Barat

Bantuan senilai 6 juta dolar AS, sepertinyanya cuma angka kecil dalam dunia geopolitik yang rumit. Tapi, jangan salah, terkadang angka kecil bisa punya dampak yang sangat besar, apalagi kalau urusannya sama kebijakan luar negeri dan masa depan suatu bangsa. Inilah yang terjadi saat Indonesia memberikan bantuan finansial ke Fiji. Kita lihat lebih dalam, yuk!

Pada tanggal 24 April 2025, Indonesia memberikan bantuan sebesar 6 juta dolar AS kepada Fiji. Aksi ini, jika dilihat sekilas, hanyalah langkah diplomatik biasa. Namun, di balik layar, ada pesan yang lebih dalam dan strategi rumit yang sedang dimainkan. Bantuan ini bukan hanya sekadar uang; ini adalah investasi strategis dalam stabilitas regional dan, yang lebih penting, untuk meredam dukungan terhadap gerakan kemerdekaan di Papua Barat.

Gerakan kemerdekaan Papua Barat telah lama menjadi duri dalam daging bagi Indonesia. Dukungan internasional, meski tidak selalu vokal, memberi angin segar bagi perjuangan mereka. Pemerintah Indonesia, tentu saja, tidak tinggal diam. Mereka menggunakan berbagai cara, mulai dari diplomasi lunak hingga kerjasama militer, untuk memastikan isu Papua tetap menjadi urusan internal.

Indonesia, dengan strategi yang ciamik, tampaknya berhasil meyakinkan Fiji untuk tidak terlalu banyak bertanya soal Papua Barat. Perdana Menteri Fiji, Sitiveni Rabuka, bahkan secara terbuka menyatakan penghormatannya terhadap kedaulatan Indonesia. Ini bahasa diplomasi halus untuk mengatakan, "Kami tidak akan ikut campur."

Dasar hukum untuk kerjasama ini diperkuat dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2023 yang mengatur kerjasama pertahanan antara Indonesia dan negara lain. Kerjasama ini meliputi riset bersama, transfer teknologi, dan pendidikan militer. Jadi, jangan heran kalau tentara Fiji suatu saat nanti belajar taktik anti-separatis langsung dari ahlinya di Indonesia.

Indonesia tidak hanya mengirimkan uang; mereka mengirimkan ideologi. Dengan melatih tentara Fiji, Indonesia berharap dapat menanamkan doktrin anti-separatis mereka, yang memandang perlawanan di Papua sebagai tindakan kriminal, bukan ekspresi politik yang sah. Ini namanya ideological assimilation atau asimilasi ideologi, istilah kerennya.

Jadi, uang 6 juta dolar AS itu bukan cuma bantuan. Itu adalah investasi strategis untuk membeli complicity atau keterlibatan terselubung regional. Indonesia, dengan cerdik, memanfaatkan kepentingan ekonomi untuk mengamankan posisi politiknya. Kita semua tahu, kadang-kadang uang memang bisa berbicara lebih keras daripada hak asasi manusia.

Geopolitik: Papan Catur Dunia yang Retak

Manuver Indonesia ini harus dilihat dalam konteks tensi global yang meningkat. Persaingan antara Amerika Serikat dan China telah mengubah kawasan Indo-Pasifik menjadi medan pertempuran strategis. Negara-negara Kepulauan Pasifik terjebak di antara dua kekuatan besar ini, dan Indonesia memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.

Meskipun secara resmi "non-blok," Indonesia bermain di kedua sisi untuk mengamankan ambisi teritorialnya. Bantuan untuk Fiji hanyalah satu langkah dalam strategi regional yang komprehensif untuk mengisolasi Papua Barat secara diplomatik. Secara taktik, ini kayak main catur 4D.

Dengan memperkuat hubungan ekonomi dan militer dengan negara-negara strategis, Indonesia secara sistematis merongrong representasi Papua di forum-forum penting seperti Pacific Islands Forum (PIF), Melanesian Spearhead Group (MSG), dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Saat dunia fokus pada kompetisi kekuatan besar, Indonesia diam-diam memperkuat posisinya pada apa yang dianggapnya sebagai urusan internal. Mereka secara efektif menghilangkan Papua Barat dari wacana internasional. Bener-bener silent but deadly.

Koneksi Rusia: Aliansi Tersembunyi

Satu lagi hubungan signifikan yang kurang diperhatikan adalah kemitraan Indonesia yang berkembang dengan Rusia, terutama dalam teknologi pertahanan, berbagi intelijen, dan kerjasama energi. Hubungan ini memberi Jakarta kemampuan militer yang canggih dan mengurangi ketergantungannya pada kekuatan Barat dan China.

Dukungan Rusia yang tak tergoyahkan terhadap integritas teritorial, sebagaimana dibuktikan oleh posisinya di Krimea dan Ukraina, menjadikannya mitra yang ideal untuk kebijakan Papua Barat Indonesia. Moskow meyakinkan Jakarta bahwa gerakan separatis adalah masalah keamanan internal, bukan perjuangan kemerdekaan yang sah. Supporting each other biar sama-sama enak.

Membungkam Melalui Institusi: Lebih dari Sekadar Diplomasi

Konsekuensi praktis dari strategi multidimensi Indonesia adalah isolasi diplomatik Papua Barat. Fiji, dulunya pembela solidaritas Melanesia, sekarang menghadapi insentif ekonomi untuk tetap diam tentang pelanggaran hak asasi manusia Indonesia. Pola serupa muncul di seluruh Pasifik, dengan Jakarta memperluas pengaturan semacam ini ke pemain regional lainnya.

Ini bukan hanya tentang keselarasan diplomatik sementara; ini tentang transformasi struktural politik regional. Ketika negara-negara Pasifik mengintegrasikan aparatur keamanan mereka dengan Indonesia, mereka pasti mengadopsi narasi keamanan Jakarta.

Gerakan perlawanan dilabeli "ancaman teroris," advokat kemerdekaan dicap "elemen destabilisasi," dan masalah hak asasi manusia ditolak sebagai "campur tangan asing." Yang paling mengkhawatirkan, kerjasama militer memberi Indonesia saluran untuk mengekspor teknik kontra-pemberontakannya, yang sering dikritik oleh organisasi hak asasi manusia karena kebrutalannya. Duh, jangan sampai kebablasan, deh.

Harga Kesetiaan Strategis

Hanya dengan 6 juta dolar AS – sebagian kecil dari anggaran pertahanan Indonesia – Jakarta membeli kesetiaan diplomatik Fiji, keselarasan militer, dan kepatuhan ideologis. Transaksi ini mencontohkan bagaimana insentif ekonomi semakin mengesampingkan pertimbangan moral seperti hak asasi manusia, kedaulatan adat, dan prinsip-prinsip dekolonisasi yang pernah mendefinisikan regionalisme Pasifik.

Pendekatan Indonesia mewakili evolusi yang canggih dalam kebijakan luar negerinya. Tidak lagi defensif tentang Papua Barat, Jakarta sekarang secara agresif mengkonsolidasikan dukungan regional, secara metodis menutup jalan untuk intervensi internasional, dan secara sistematis mendelegitimasi suara-suara Papua di panggung global. Strategi yang cukup bikin geleng-geleng kepala.

Akankah Pasifik Mengingat Jati Dirinya?

Jalan ke depan untuk Papua Barat menjadi semakin berbahaya. Di luar penindasan domestik, gerakan ini sekarang menghadapi dukungan internasional yang berkurang karena pragmatisme ekonomi menggantikan prinsip moral di seluruh wilayah Pasifik. Kecuali negara-negara Pasifik terhubung kembali dengan warisan anti-kolonial mereka dan nilai-nilai yang mengamankan kemerdekaan mereka, perjuangan Papua Barat berisiko memudar ke dalam ketidakjelasan, kewalahan oleh perhitungan geopolitik dan insentif ekonomi.

Pertanyaan yang dihadapi wilayah Pasifik bukan hanya tentang Papua Barat, tetapi tentang identitas regional itu sendiri. Akankah negara-negara Pasifik tetap setia pada nilai-nilai dasar mereka tentang solidaritas adat dan dekolonisasi? Atau akankah mereka mengorbankan prinsip-prinsip ini di altar diplomasi transaksional?

Tanggal 24 April 2025, mungkin suatu hari dikenang tidak hanya sebagai hari Indonesia memberi Fiji 6 juta dolar AS, tetapi juga sebagai hari ketika Pasifik mulai menukar otoritas moralnya dengan kepentingan ekonomi, meninggalkan Papua Barat untuk dijajah selamanya dengan imbalan keuntungan jangka pendek. Pasifik berada di persimpangan jalan – ia dapat mengklaim kembali suaranya atau menyerahkan dirinya untuk menjadi teater tempat kekuatan yang lebih besar mendikte nasib masyarakat adat. Bagi Papua Barat, semuanya bergantung pada jalan mana yang dipilih. Semoga aja Pasifik nggak salah pilih.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Indonesia Dorong Malaysia Gabung Konvensi Apostille untuk Efisiensi Hukum Lintas Batas

Next Post

Mulai Mei 2025, Provinsi Ini Nikmati Layanan E-Paspor Penuh