Dark Mode Light Mode

Masyarakat Sipil Gugat Manipulasi Sejarah, Petisi Tolak Agenda Pemerintah

Kita semua tahu sejarah itu penting, kan? Bayangkan saja, kita nggak tahu asal-usul rendang, bisa-bisa kita klaim itu makanan Italia! Tapi, apa jadinya kalau sejarah itu diubah-ubah sesuai selera penguasa? Hmm, agak bikin merinding juga, ya?

Sejarah, seharusnya, adalah cermin masa lalu. Cermin itu bisa buram, pecah, atau bahkan dipoles ulang. Tapi, siapa yang berhak memolesnya? Dan, untuk kepentingan siapa? Inilah yang menjadi perdebatan panas belakangan ini: upaya pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional. Sebuah inisiatif yang menuai pro dan kontra, bahkan petisi online!

Kenapa Sih Repot-Repot Nulis Ulang Sejarah?

Sebenarnya, ide menulis ulang sejarah ini bukan barang baru. Dulu juga pernah ada, dengan berbagai alasan. Biasanya, alasannya adalah untuk memperkuat identitas nasional, menanamkan nilai-nilai luhur bangsa, atau sekadar update data terbaru (maklum, arkeologi juga terus berkembang!). Tapi, di balik alasan-alasan mulia itu, terselip potensi bahaya yang mengintai.

Bayangkan saja, kalau sejarah ditulis hanya dari satu sudut pandang, bagaimana nasib suara-suara yang termarginalkan? Bagaimana kalau kebenaran yang pahit justru disembunyikan demi citra yang serba manis? Ini bukan cuma soal akademis, tapi juga soal keadilan dan keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu.

Para akademisi, aktivis, dan anggota Aliansi untuk Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) nggak main-main soal ini. Mereka khawatir kalau narasi tunggal yang dipaksakan negara justru akan menutupi pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka bersikeras bahwa sejarah harus ditulis secara transparan, adil, dan nggak boleh melupakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Mereka bahkan sudah menemui Komisi X DPR RI untuk menyampaikan aspirasi ini. Keren, kan?

"Sejarah Resmi": Antara Identitas dan Propaganda

Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Kebudayaan, membantah tudingan miring ini. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut kritik yang ada sebagai "omong kosong belaka". Beliau menegaskan bahwa masukan publik akan sangat dihargai setelah draf buku sejarah selesai. Rencananya, konsultasi publik akan diadakan dalam waktu dekat.

Namun, penggunaan istilah "sejarah resmi" inilah yang membuat banyak pihak waswas. Arkeolog Harry Truman Simanjuntak khawatir kalau istilah ini bisa mengancam integritas akademis dan independensi dalam membentuk narasi sejarah. Beliau berpendapat bahwa penulisan sejarah seharusnya diserahkan kepada badan-badan ilmiah profesional, seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan peran negara sebatas dukungan logistik.

Istilah "sejarah resmi" memang punya konotasi yang kurang enak didengar. Terkesan seperti ada agenda tersembunyi, ada upaya untuk memanipulasi fakta demi kepentingan tertentu. Padahal, sejarah itu seharusnya open source, bisa diakses dan diperdebatkan oleh siapa saja. Nggak boleh ada sensor, nggak boleh ada distorsi.

Siapa yang Berhak Bercerita? (Dan Siapa yang Berhak Mendengar?)

Pertanyaan ini adalah inti dari perdebatan ini. Apakah negara berhak memaksakan narasi sejarahnya kepada seluruh rakyat? Atau, apakah sejarah seharusnya menjadi arena pertempuran ide, tempat berbagai sudut pandang saling beradu dan melahirkan pemahaman yang lebih komprehensif?

AKSI sendiri menawarkan solusi yang cukup menarik: penulisan sejarah yang transparan dan adil, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Mereka bahkan meluncurkan petisi online untuk mengajak masyarakat ikut serta dalam gerakan ini. Nama-nama besar seperti mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid pun ikut mendukung inisiatif ini.

Penting untuk diingat, sejarah bukan hanya sekadar kumpulan fakta dan tanggal. Sejarah adalah cerita tentang manusia, tentang perjuangan, tentang harapan, dan tentang kegagalan. Sejarah adalah identitas kita, akar kita, dan bekal kita untuk menatap masa depan. Jadi, jangan sampai sejarah kita dibajak oleh kepentingan sesaat.

Menulis Ulang Sejarah: Peluang atau Ancaman?

Penulisan ulang sejarah bisa menjadi peluang emas untuk merefleksikan masa lalu secara jujur dan terbuka. Tapi, kalau dilakukan dengan motif tersembunyi dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai, ini bisa menjadi ancaman serius bagi kebebasan berpikir dan berpendapat.

Kita, sebagai generasi Z dan milenial yang kritis dan melek informasi, punya peran penting dalam mengawal proses ini. Jangan apatis, jangan cuek. Cari tahu, diskusikan, dan suarakan pendapat kita. Ingat, sejarah itu milik kita semua.

Mari kita pastikan bahwa sejarah Indonesia ditulis dengan tinta kebenaran, bukan dengan cat propaganda. Mari kita jaga agar cermin masa lalu kita tetap bening, sehingga kita bisa melihat diri kita sendiri dengan jujur dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

Yang Perlu Diingat: Sejarah Itu Dinamis!

Sejarah itu nggak statis. Dia terus berkembang seiring dengan penemuan-penemuan baru dan interpretasi yang berbeda. Jadi, jangan terpaku pada satu versi sejarah saja. Buka pikiran, dengarkan berbagai perspektif, dan bentuk pemahamanmu sendiri.

Singkatnya, mari kita berpartisipasi aktif dalam proses penulisan sejarah. Kita berhak tahu masa lalu kita, kita berhak mengkritisi narasi yang ada, dan kita berhak ikut menentukan bagaimana sejarah akan diceritakan kepada generasi mendatang. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

NOWZ: Era Baru K-Pop Menggebrak Indonesia

Next Post

Street Fighter X Tekken Bebas Games for Windows Live di Steam