Siapa bilang politik membosankan? Bayangkan, pidato seorang presiden bisa mengubah lanskap kerjasama antar negara. Bukan cuma basa-basi diplomatik, tapi beneran menghasilkan kereta cepat yang bisa memangkas waktu tempuh Jakarta-Bandung. Tapi, mari kita bahas lebih dalam, bukan sekadar soal kereta dan pidato.
Dari Pidato ke Kereta Cepat: Kisah Cinta Indonesia-Tiongkok
Pada tanggal 3 Oktober 2013, momen bersejarah terjadi di gedung parlemen Indonesia. Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menyampaikan pidato di hadapan anggota DPR, MPR, dan DPD. Pidato ini bukan sekadar acara seremonial, tapi sebuah game changer yang membuka jalan bagi kerjasama yang lebih erat antara Indonesia dan Tiongkok. Bahkan, saking spesialnya, Presiden Xi adalah presiden asing pertama yang berpidato di parlemen Indonesia.
Momen ini menjadi penting karena di sinilah ide tentang Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (bagian dari Belt and Road Initiative/BRI) pertama kali diumumkan di depan publik Indonesia. Pemilihan Indonesia sebagai tempat pengumuman ini tentu bukan tanpa alasan. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki posisi strategis dalam jalur maritim global.
Pidato tersebut menekankan pentingnya kerjasama maritim antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Tujuannya adalah untuk membangun kemitraan maritim yang kuat, saling menguntungkan, dan berkelanjutan. Bayangkan, dari ide di atas kertas, menjadi realitas yang bisa kita rasakan hari ini.
Marzuki Alie, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI, menyebut bahwa pidato Presiden Xi menekankan BRI sebagai bagian dari perdamaian, kerjasama, keterbukaan, inklusivitas, saling belajar, dan saling menguntungkan. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur, tapi juga fondasi bagi hubungan yang lebih dalam dan kokoh.
Selain menyampaikan ide-ide besar, Presiden Xi juga menyentuh hati para hadirin dengan menyebutkan lagu Indonesia yang populer, "Hening", yang diciptakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah terinspirasi oleh keindahan Sungai Lijiang di Tiongkok. Sentuhan personal seperti ini menunjukkan bahwa kerjasama tidak hanya soal angka dan proyek, tapi juga soal membangun hubungan antar manusia.
Efek dari pidato ini terasa langsung. Investasi Tiongkok di Indonesia meningkat signifikan setelah tahun 2013. Tiongkok kini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi terbesar kedua setelah Singapura (di luar Hong Kong dan Taiwan). Ini membuktikan bahwa ide yang disampaikan dalam pidato tersebut bukan sekadar janji manis, tapi komitmen nyata untuk berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Lebih dari Infrastruktur: Dampak BRI untuk Anak Muda Indonesia
Salah satu poin penting yang ditekankan dalam pidato Presiden Xi adalah pentingnya pertukaran pemuda antara Indonesia dan Tiongkok. Tujuannya jelas: membangun pemahaman yang lebih baik antara generasi muda kedua negara. Tahun lalu, lebih dari 15.000 pemuda Indonesia belajar di universitas-universitas di Tiongkok.
Pertukaran ini tidak hanya memberikan kesempatan bagi anak muda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tetapi juga membuka wawasan mereka tentang budaya, teknologi, dan inovasi di Tiongkok. Sebaliknya, mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia juga mendapatkan pengalaman berharga tentang keragaman budaya dan potensi Indonesia.
M. Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengapresiasi upaya Tiongkok dalam mendukung pertukaran pemuda antara kedua negara. Ia juga memuji perusahaan-perusahaan Tiongkok yang aktif menjalin kerjasama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk membangun kapasitas pemuda dan mencari bakat-bakat terbaik.
Intan Aghiani, seorang staf administrasi di Sekolah Terpadu Pahoa, berpendapat bahwa Indonesia perlu belajar dari sistem pendidikan dan praktik di Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa BRI tidak hanya soal pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga investasi dalam sumber daya manusia yang merupakan kunci bagi masa depan Indonesia.
BRI dan Indonesia's Global Maritime Fulcrum: Synergy yang Saling Menguntungkan
Sinergi antara BRI dan inisiatif Global Maritime Fulcrum (Poros Maritim Dunia) yang digagas oleh Presiden Joko Widodo telah menghasilkan kerjasama yang nyata di berbagai sektor. Proyek-proyek BRI, seperti pembangunan koridor ekonomi di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali, berkontribusi pada peningkatan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tersebut.
Salah satu contoh paling ikonik dari kerjasama ini adalah pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini menggunakan standar dan teknologi Tiongkok, menunjukkan bahwa Indonesia terbuka untuk belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi global. Kereta cepat ini bukan hanya memangkas waktu tempuh, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru di sepanjang jalur kereta.
Marzuki Alie menambahkan bahwa BRI menawarkan kesempatan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi global tanpa didominasi oleh segelintir negara. Ini sejalan dengan semangat kemandirian dan kedaulatan ekonomi yang diusung oleh Indonesia.
Masa Depan Kerjasama Indonesia-Tiongkok: Green Energy dan Digitalisasi
Kerjasama Indonesia-Tiongkok di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan Presiden Prabowo Subianto diharapkan terus berkembang, dengan fokus pada penguatan infrastruktur, pengembangan energi hijau, serta teknologi dan ekonomi digital.
Tiongkok, sebagai pemimpin global dalam teknologi digital seperti 5G, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), dan e-commerce, dapat berkontribusi signifikan pada percepatan transformasi digital Indonesia. Kerjasama ini dapat mencakup pengembangan smart cities, sistem pembayaran digital, dan ekosistem ekonomi berbasis teknologi yang mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
I Putu Winastra, ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali, berharap jumlah wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Bali dan pulau-pulau lain di Indonesia terus meningkat. Ia juga mendorong penambahan penerbangan langsung antara Indonesia dan Tiongkok.
Singkatnya, hubungan Indonesia-Tiongkok bukan hanya soal kepentingan ekonomi, tapi juga tentang membangun jembatan persahabatan yang kokoh, saling menghormati, dan saling menguntungkan. Inilah yang membuat kerjasama ini sustainable dan relevan untuk masa depan.